Home » News » Reza Anugrah Berani Bicara Kesetaraan di TikTok: “Laki-laki Juga Korban Patriarki”

Reza Anugrah Berani Bicara Kesetaraan di TikTok: “Laki-laki Juga Korban Patriarki”

Ais Fahira

News, Tokoh

Reza Anugrah Berani Bicara Kesetaraan Gender Lewat TikTok

Bincangperempuan.com“Laki-laki itu harus menjadi mitra dalam perjuangan kesetaraan,” tegas Reza Anugrah, content creator TikTok yang kini tengah menempuh studi S2 di Kajian Gender Universitas Indonesia. Baginya, kesetaraan gender bukan sekadar isu perempuan. Ini adalah perjuangan bersama, termasuk laki-laki yang juga terdampak patriarki.

Di tengah arus TikTok yang penuh dengan brainrot, dan konten receh, muncul akun dengan konten yang tak biasa. Reza, lewat akun pribadinya, mengajak warganet membicarakan dampak patriarki dan ketimpangan gender bagi laki-laki hingga maskulinitas toksik. Isu-isu yang kerap dianggap “berat” ini justru ia bawa ke ruang paling receh—dan itulah strateginya. Baginya, kesetaraan gender bukan sekadar isu perempuan—ini perjuangan kolektif yang melibatkan laki-laki sebagai bagian dari masalah sekaligus solusi.

Dari Relawan ke Content Creator: Semua Berawal dari Hati Nurani

Perjalanan Reza tidak dimulai dari layar kamera. Tahun 2022, ia mulai merekam aktivitasnya sebagai relawan di bidang sosial. Salah satunya saat mendampingi anak-anak korban kekerasan.

“Awalnya aku hanya membagikan  dokumentasi kegiatan sosial, ya semacam a day in my life” ceritanya. “Ternyata hal kecil kayak itu bisa berdampak ke orang lain. Jadi orang-orang sadar, ternyata banyak anak-anak yang underprivileged dan nggak punya akses ke perlindungan yang layak.”

Dari pengalaman itu, teman-teman terdekatnya menyarankan agar Reza lebih konsisten membuat konten. Tapi mengapa harus isu kesetaraan gender?

Reza lalu menceritakan akar yang jauh lebih dalam. Ia pernah menyaksikan kekerasan dan tekanan sosial yang bahkan terjadi dalam ruang yang dianggap aman—yakni rumah. 

“Jadi di rumah itu aku menyaksikan kekerasan, waktu itu aku masih kecil dan belum sadar kalau ternyata aku itu korban juga. Waktu itu tidak ada yang mendampingi, Sampai akhirnya aku paham kalau aku korban itu dari belajar isu gender, terus tertarik bergerak di isu tersebut,,” terangnya.

Pengalaman yang membekas itulah yang  menggerakan hati nuraninya agar tak ada lagi  yang mengalami nasib yang sama sepertinya. Reza akhirnya memutuskan aktif menjadi relawan pendamping korban kekerasan berbasis gender.

“Saat gempa Palu tahun 2018, aku ikut turun sebagai relawan di bidang pencegahan kekerasan. Nggak nyangka, di tengah bencana pun masih ada kekerasan terhadap perempuan,” kisahnya. Nada suaranya bercampur antara heran dan iba. Pengalaman-pengalaman tersebut yang menguatkannya untuk bergerak di isu kesetaraan gender.  

Baca juga: Fatmayana, Perempuan Pelopor Pendidikan di Bengkulu Utara

Memilih Jalur Akademik dan Aktivisme

Tak sekadar menjadi aktivis atau konten kreator, Reza memilih untuk memperdalam pemahamannya melalui jalur akademik. Ia melanjutkan studi di Kajian Gender UI dan bergabung dalam berbagai inisiatif kampanye, salah satunya melalui platform Perempuan Threads, sebuah ruang kolektif untuk isu kesetaraan.

“Jadi studi yang aku ambil ini sebagai bentuk dedikasiku agar punya landasan yang kuat, dan nggak menyesatkan,” ujarnya.

Di TikTok, ia mencoba membuka ruang diskusi yang sehat meski penuh tantangan. Ia sadar betul bahwa algoritma TikTok tidak selalu bersahabat dengan konten edukatif.

“Stigmanya TikTok itu tempat konten receh banyak brainrot. Tapi kenapa nggak coba bawa diskusi penting ke sana? Kayak di X (dulu Twitter), orang bisa debat panjang. Di TikTok pun seharusnya bisa, walau komentarnya sering ngajak gender war,” katanya.

Laki-laki Juga Korban Patriarki

Menurut Reza, penting untuk menyadari bahwa laki-laki bukan hanya pelaku dalam sistem patriarki, tapi juga korban. Tekanan untuk selalu kuat, tidak boleh menangis, harus jadi kepala keluarga—semua itu bentuk kekerasan struktural yang jarang dibahas.

“Padahal banyak laki-laki yang juga menderita karena standar sosial yang toksik. Tapi karena laki-laki jarang diajak diskusi, ya mereka nggak sadar sedang dikekang,” ujarnya.

Namun, ia tidak menampik bahwa sebagian besar pelaku kekerasan adalah laki-laki. Seperti yang diungkapkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tahun 2022 mencatat bahwa 89,7% pelaku kekerasan adalah laki-laki. Oleh karena itu menurut Reza, perjuangan kesetaraan juga harus melibatkan laki-laki sebagai bagian dari solusi.

“Kan nggak dapat dipungkiri, kebanyakan pelaku kekerasan adalah laki-laki. Mereka nggak sadar mereka bisa jadi pelaku itu karena patriarki,” katanya.

Baca juga: Sintia, Blusukan Untuk Tingkatkan Budaya Membaca

Tahu Batasan, Tahu Peran

Meski aktif bersuara, Reza juga sadar akan batasan sebagai laki-laki dalam berbicara soal tubuh dan pengalaman perempuan. Oleh karena itu, Reza lebih banyak menyoroti pengalamannya sebagai laki-laki dan bahwa ketimpangan gender serta patriarki berdampak ke laki-laki juga.

“Jadi kalau sampai bicara soal ketubuhan perempuan, itu bukan ranahku. Tentu yang berhak bicara ya mereka, perempuan ini,” tegasnya.

Walau demikian, bukan berarti laki-laki tak perlu paham dengan cara kerja tubuh perempuan. 

“Pengalaman tubuh perempuan memang topik yang pembicaranya harus perempuan, Tapi itu bukan berarti bikin aku nggak ngerti. Misalnya kalau lagi sama temen-temen cewek, mereka sedang menstruasi, aku tentu berusaha memahami apa yang mereka butuhkan. Kan itu biasanya sakit, kan? Kira-kira apa yang bisa aku bantu untuk mereka,” ujarnya.

Dia juga berhati-hati dan selektif, apalagi jika ada undangan acara soal isu perempuan. “Kalau ada workshop soal tubuh perempuan, ya itu lebih tepat untuk perempuan. Kenapa harus ke aku? Makanya kita harus bisa membedakan mana agenda yang untuk perempuan atau sekadar mengkapitalisasi penderitaan perempuan. Jangan sampai kita terkecoh dengan agenda yang justru hanya menampilkan penderitaan perempuan tanpa solusi. Kita juga harus kritis dan hati-hati dalam mengikuti agenda kesetaraan,” tegasnya dengan nada serius.

Suara di Tengah FYP yang Bising

Harapannya, ia ingin lebih banyak membuka diskusi isu ini bahkan di platform TikTok yang sering di-underestimate tidak dapat memicu perdebatan yang sehat.

“Harapannya sih kita bisa ciptakan ruang sosial media yang bebas dari kekerasan berbasis gender di ruang digital. Dan ayo, siapa aja bawa diskusi ini ke TikTok juga. Karena kalau semua orang mikir ini tempat nggak bisa buat edukasi, siapa yang mau kasih tahu orang-orang yang belum ngerti?”

Reza percaya bahwa edukasi tidak harus selalu formal dan serius. Justru ketika disampaikan dalam format yang ringan dan relate dengan kehidupan sehari-hari, pesan kesetaraan bisa lebih mudah diterima.

Dalam setiap kontennya, Reza mencoba menyampaikan bahwa  memperjuangkan kesetaraan gender bukan hanya tugas perempuan. Laki-laki pun punya peran—bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai mitra sebab laki-laki juga korban dari konstruksi patriarki.

“Laki-laki itu mitra dalam memperjuangkan kesetaraan gender, bukan sekadar ally! Karena  laki-laki juga korban. Kan kalau ally, itu hanya mendukung bukan sebagai bagian dari korban. Ini cara pandang yang salah dan denial, padahal laki-laki itu juga korban patriarki!” paparnya dengan tegas.

Perjuangan ini dimulai dari kesadaran bahwa patriarki tak hanya merugikan satu gender, tapi menciptakan luka struktural bagi semua. Dan selama luka itu dibiarkan, kekerasan akan terus mengakar. Reza mungkin cuma satu dari sekian banyak content creator, tapi keberaniannya bicara di ruang  yang sering dianggap receh seperti TikTok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Kenapa Angka Kelahiran Menurun Belakangan Ini

Kenapa Angka Kelahiran Menurun Belakangan Ini?

Stop Normalisasi Kemiskinan! Tren Rp5 Ribu di Tangan Istri yang Tepat

Stop Normalisasi Kemiskinan! Tren Rp5 Ribu di Tangan Istri yang Tepat

Tren Tube Girl

Pro dan Kontra, Fenomena Tube Girl 

Leave a Comment