Home » News » Sambut IWD 2025, Aliansi Perempuan Indonesia Soroti Isu PRT hingga Perampasan Ruang Hidup

Sambut IWD 2025, Aliansi Perempuan Indonesia Soroti Isu PRT hingga Perampasan Ruang Hidup

Ais Fahira

News

Aliansi Perempuan Indonesia Soroti Isu PRT hingga Perampasan Ruang Hidup

Bincangperempuan.com- Aliansi Perempuan Indonesia menggelar diskusi publik bertajuk “Perempuan: Dimiskinkan, Dibunuh, Dikriminalkan—Perempuan Melawan dan Menggugat Negara” dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional (IWD) 2025. Diskusi yang berlangsung secara daring melalui Zoom pada 5 Maret 2025 ini diikuti oleh sekitar 90 peserta dan menghadirkan berbagai narasumber dari latar belakang berbeda. Dengan dimoderatori oleh Mega Puspitasari dari Koalisi Perempuan Indonesia, diskusi ini menyoroti isu-isu utama yang dihadapi perempuan, termasuk hak disabilitas, pekerja migran, pendidikan, hingga perampasan ruang hidup.

Perempuan dengan Disabilitas: Hak yang Masih Dikesampingkan

Fatum Ade dari Perhimpunan Jiwa Sehat menyoroti kondisi perempuan dengan disabilitas mental yang masih mengalami pengabaian hak asasi. Mereka kerap diasingkan, bahkan dalam kondisi yang tidak layak.

“Perempuan dengan disabilitas mental sering kali dikurung dan dirawat secara paksa. Bahkan dalam kasus kekerasan seksual, keputusan hukum lebih sering diwakilkan kepada pihak lain. Mereka kehilangan otoritas atas tubuh mereka sendiri,” ungkap Dedhe.

Ia menekankan pentingnya kebijakan yang memberikan hak penuh bagi perempuan dengan disabilitas untuk menentukan pilihan mereka sendiri, terutama dalam aspek kesehatan mental dan perlindungan hukum.

Baca juga: IWD 2025: Accelerate Action

Pekerja Migran Perempuan: Terasing dan Minim Perlindungan

Ren dari Kabar Bumi mengungkapkan bahwa pekerja migran perempuan masih belum mendapatkan perlindungan optimal dari negara, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor domestik.

“Alih-alih melindungi pekerja migran, negara justru menyerahkan tanggung jawab ini kepada pihak swasta yang rawan eksploitasi,” ujarnya.

Ren menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) sangat mendesak agar hak-hak pekerja migran perempuan terlindungi tanpa bergantung pada mekanisme swasta yang minim akuntabilitas.

Ketimpangan Gender dalam Pendidikan dan Ancaman Komersialisasi

Sarah dari Perempuan Mahardhika Jakarta menyoroti maraknya kekerasan seksual di perguruan tinggi. Sepanjang 2023, tercatat 620 kasus kekerasan seksual di kampus.

“Ini hanya angka yang terlapor, jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar,” jelasnya.

Selain itu, ia juga menyoroti dampak kebijakan otonomi kampus yang menyebabkan komersialisasi pendidikan tinggi.

“PTN-BH menyebabkan biaya kuliah semakin mahal, sementara anggaran pendidikan justru dipangkas, mempersempit akses bagi perempuan dari keluarga miskin,” tambahnya.

Perempuan di Transportasi Online: Antara Pelecehan dan Hak yang Terabaikan

Renny dari Serikat Demokrasi Pengemudi Ojol Indonesia (SDPI) mengungkapkan bahwa perempuan pengemudi ojek online sering mengalami diskriminasi dan pelecehan.

“Dalam serikat ojol, isu perempuan jarang dibahas. Kami menghadapi risiko lebih tinggi, tetapi suara kami kerap diabaikan,” katanya.

Ia juga menyoroti ketidakadilan dalam hak kerja, termasuk absennya cuti hamil dan cuti haid bagi pengemudi perempuan.

Pekerja Rumah Tangga: 21 Tahun Menanti Perlindungan Hukum

Jumisih dari JALA PRT mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang telah tertunda selama lebih dari dua dekade.

“PRT adalah pekerja yang seharusnya memiliki hak yang sama seperti profesi lain. RUU PPRT harus segera disahkan agar ada kejelasan dalam kontrak kerja dan perlindungan bagi mereka,” ujarnya.

Perempuan Papua: Kehilangan Ruang Hidup akibat Perampasan Lahan

Lia Yewen dari Yayasan PUSAKA mengungkapkan bahwa perempuan Papua kehilangan sumber kehidupan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit.

“Perempuan Papua hidup dari kebun dan hutan. Ketika lahan mereka digusur, mereka kehilangan akses pangan dan ekonomi mandiri,” jelasnya.

Lingkungan Hidup dan Gender: Perempuan di Garis Depan Perlawanan

Andriyeni dari Solidaritas Perempuan menyoroti dampak Undang-Undang Cipta Kerja yang memperburuk perampasan tanah dan degradasi lingkungan.

“Perempuan sering menjadi korban utama dalam konflik lingkungan. Mereka harus mendapat dukungan lebih luas dalam perjuangan menjaga ekologi,” tegasnya.

LGBTQ+: Hak yang Masih Tertindas

Echa Wa Ode dari Arus Pelangi membahas diskriminasi yang masih dihadapi komunitas LGBTQ+ di Indonesia.

“Dari 2019 hingga 2022, tercatat 186 kasus diskriminasi terhadap komunitas LGBTQ+, terutama transpuan,” ungkapnya.

Selain hambatan sosial, komunitas LGBTQ+ juga menghadapi diskriminasi dalam dunia kerja, termasuk persyaratan gender biner yang tidak inklusif.

PHK Massal dan Kriminalisasi Perempuan Pekerja

Ajeng dari Perempuan Mahardhika menyoroti lonjakan PHK massal yang menimpa pekerja perempuan di sektor garmen akibat UU Cipta Kerja.

“Perusahaan semakin leluasa menerapkan sistem kontrak dan outsourcing, menyebabkan hak-hak pekerja perempuan diabaikan,” pungkasnya.

Baca juga: Glow Together, Grow Together di Bincang Perempuan Circle

Kesimpulan: Perjuangan Perempuan Tidak Boleh Berhenti

Diskusi ini menegaskan bahwa perjuangan perempuan di Indonesia masih jauh dari selesai. Dari hak disabilitas hingga keadilan ekonomi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

“Tiada kata untuk ketidakadilan selain lawan!” tegas Renny di akhir diskusi, mencerminkan semangat perjuangan yang terus membara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Love Bombing Ketika Cinta Dijadikan Alat Manipulasi

Love Bombing: Ketika Cinta Dijadikan Alat Manipulasi

Kesetaraan Gender

Apa Itu Kesetaraan Gender?

Media berperan mengedukasi masyarakat agar adil gender

Media Berperan Mengedukasi Masyarakat agar Adil Gender

Leave a Comment