Home » Tokoh » Sefrida Gora, Perempuan Penyelamat Hutan di Sulawesi Tengah

Sefrida Gora, Perempuan Penyelamat Hutan di Sulawesi Tengah

Bincang Perempuan

Tokoh

Sefrida Gora, Menyelamatkan Hutan Harapan itu Masih Ada

Bincangperempuan.com- Nama saya Sefrida Gora. Saya lahir di Desa Malitu pada tahun 1978. Saat ini, saya berusia 44 tahun. Saya telah menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari Desa Sangginora pada tahun 2002 lalu. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai tiga orang anak. Anak pertama laki-laki. Ia telah menamatkan pendidikannya di salah satu Universitas di Palu dengan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia. Anak kedua saya sedang menempuh perkuliahan di Universitas Kristen Tentena. Sedangkan anak yang paling bungsu baru masuk bangku Sekolah Menengah Atas.

Saat ini, saya berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan petani. Selain itu, saya juga dipercaya untuk menjadi Bendahara PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) dan Kader Posyandu Lansia di Desa Malitu. Walau hanya bermodalkan ijazah SMU, saya tetap menjalankan tanggung jawab itu dengan baik dan benar.

Desa Malitu letaknya dikelilingi oleh hutan yang memiliki banyak potensi dan dapat diolah untuk kelangsungan hidup masyarakat. Setelah kurang lebih empat puluh tahun tinggal di Desa Malitu, saya dan warga lain merasa aman dan nyaman tanpa ada masalah yang berarti. Namun, situasi itu seketika berubah saat terjadi banjir besar di tahun 2008 silam. Banjir yang datang secara tiba-tiba menyapu kebun-kebun warga yang ada di pinggiran sungai. Banyak pula hewan ternak milik masyarakat yang ikut terbawa banjir yang mengakibatkan kerugian besar bagi mereka.

Tahun 2011, kejadian serupa kembali terulang. Kali ini, banjir datang dan merendam sebagian rumah warga yang ada di desa. Mereka yang rumahnya terendam memilih mengungsi ke daerah yang lebih tinggi agar terhindar dari luapan banjir kala itu. Banjir di Desa Malitu sudah menjadi kejadian yang terus berulang. Setiap terjadi hujan deras dengan durasi waktu yang lama, pasti sungai yang ada di Desa Malitu meluap, seperti banjir di tahun 2022 lalu yang membuat akses jalan dari desa menuju kota terputus. Akibatnya, masyarakat kesulitan dalam beraktivitas.

Bagi saya yang tinggal di sini, banjir yang terjadi disebabkan oleh kondisi hutan yang mengalami kerusakan berat. Bayangkan saja, hutan yang dulu hijau kini berganti menjadi hamparan tanah berwarna cokelat akibat penebangan pohon secara besar-besaran. Hal itu semakin diperparah dengan kehadiran satu perusahaan kayu di desa kami yang melakukan aktivitas penebangan tanpa ada kontrol ketat dari pihak berwajib. Akibatnya, setiap kali hujan, masyarakat harus waspada karena ancaman banjir bisa datang kapan saja.

Baca juga: Yulia Suparti: Dari Sampah Ingin Menyelamatkan Dunia

Tahun 2008, sesaat setelah terjadi banjir, Sikola Mombine masuk ke Desa Malitu. Kami berkenalan dengan salah seorang staf lapangan di Sikola Mombine kala itu, yakni Ibu Husnah Hamid. Pada awalnya, saya tidak begitu tertarik dengan kegiatan Sikola Mombine di desa kami. Sebagian ibu-ibu menjelaskan bahwa tidak ada manfaat yang didapat bersama Sikola Mombine. Mereka diundang dalam pertemuan tanpa ada tindakan nyata yang harus dilakukan. Barulah di tahun 2021, saya mulai ikut dalam kegiatan Sikola Mombine ketika diundang mengikuti pertemuan dan pelatihan yang dibuat oleh organisasi ini di desa kami. Oleh Sikola Mombine, kami dilatih untuk berbicara di depan umum, menyampaikan aspirasi, serta meningkatkan ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang ada di desa.

Keyakinan saya pada organisasi ini semakin kuat ketika mereka menjelaskan program Perhutsos yang sedang digagas dan hendak didorong di desa kami. Program ini bagaikan angin segar untuk saya yang selama ini risau atas kondisi hutan di Desa Malitu. Apalagi, dampak buruk dari kerusakan hutan telah membuat desa kami rentan terhadap bencana banjir.

Oleh karena itu, dengan dukungan Pemerintah Desa Malitu, saya terlibat total bersama Sikola Mombine untuk mendorong program Perhutsos melalui skema Hutan Desa di Desa Malitu. Menurut kami, skema ini penting agar kelestarian hutan bisa terjaga serta masyarakat bisa memanfaatkan hasil hutan dengan mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan.

Sebelum mengajukan pengusulan skema Hutan Desa di Desa Malitu, kami membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) sebagai syarat pengajuan dokumen Perhutsos di desa kami. Pada kesempatan itu, saya diberikan kepercayaan oleh teman-teman lain untuk menjadi Bendahara dalam lembaga ini. Pada bulan Juni 2022, kami dan beberapa perempuan desa diundang untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan perempuan yang diadakan oleh Sikola Mombine di Palu. Di sana, kami dilatih untuk meningkatkan kapasitas perempuan dalam proses kerja sama, pembangunan desa, serta pengelolaan hutan.

Setelah mengikuti kegiatan yang dilakukan selama tiga hari itu, kami langsung menuju ke Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah untuk menyerahkan dokumen usulan Hutan Desa melalui skema Perhutsos di Desa Malitu. Harapannya, usulan yang kami serahkan bisa disetujui sehingga jaminan keamanan pengelolaan hutan di desa kami bisa lebih kuat.

Sembari menunggu keputusan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saya dan beberapa perempuan Desa Malitu kembali ke desa dan beraktivitas seperti biasa. Terkadang, kami melakukan koordinasi di waktu-waktu tertentu untuk membicarakan hal-hal penting yang perlu dilakukan, termasuk memberikan penyadaran bagi masyarakat umum akan pentingnya menjaga kelestarian hutan.

Saya mengakui, menyadarkan orang untuk merawat hutan itu sangat sulit. Pernah suatu ketika, saya hadir dalam musyawarah dusun untuk membicarakan usulan dusun kami yang hendak dimasukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa selama satu tahun. Saat itu, saya mengusulkan agar ada upaya antisipasi banjir dengan melakukan pelarangan penebangan pohon di Desa Malitu.

Tapi, sayang sekali, aspirasi saya sebagai perempuan mendapatkan penolakan dari beberapa orang yang hadir saat itu. Saya mendapatkan cemoohan dan perlakuan tendensius dari peserta musyawarah lain. Menurut mereka, menebang pohon sudah menjadi kebiasaan masyarakat sejak lama karena dari sanalah mereka bisa mendapatkan uang. Dari sana, saya mencoba bertahan dengan alasan saya yang cukup rasional untuk melarang penebangan pohon.

Namun, tetap saja pandangan saya ditolak. Usulan yang telah saya susun sedemikian rupa untuk menjaga kelangsungan hidup di desa kami akhirnya tidak dimasukkan menjadi usulan dusun. Setelah musyawarah dusun itu selesai, saya terpilih untuk mengikuti musyawarah desa mewakili dusun kami untuk menjelaskan usulan-usulan yang telah kami bahas sebelumnya.

Tidak menyerah dengan misi saya sebelumnya, saat musyawarah desa berlangsung, usulan saya yang sebelumnya ditolak dalam rapat dusun kembali saya suarakan. Hal ini agar menjadi perhatian serius Pemerintah Desa Malitu karena kondisi hutan semakin parah. Pada musyawarah desa, saya sampaikan bahwa banjir parah sudah tiga kali terjadi dan telah mengakibatkan banyak kerugian. Mestinya, Kepala Desa Malitu mengeluarkan suatu aturan khusus tentang pelarangan penebangan pohon agar mencegah kerusakan di hulu sungai.

Kepala desa yang saat itu mendengar usulan saya akhirnya sepakat untuk membuat aturan soal aktivitas masyarakat di dalam hutan. Saya merasa bersyukur sebab apa yang saya perjuangkan selama ini akhirnya dijawab oleh Pemerintah Desa Malitu dengan mengeluarkan aturan pelarangan penebangan pohon di Hutan Desa Malitu.

Baca juga: Kawin Tangkap, Diskriminasi Gender Atas Nama Tradisi 

Kegembiraan saya semakin bertambah saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pengelolaan Hutan Desa di Malitu pada bulan Desember 2022. Ini adalah buah manis dari komitmen untuk menjaga dan memelihara hutan yang ada di Desa Malitu. Atas capaian itu, saya dan teman-teman yang tergabung dalam LPHD di Desa Malitu semakin bersemangat untuk memberikan penyadaran kepada perempuan-perempuan lain, termasuk para petani yang ada di desa.

Kami juga membuat pertemuan-pertemuan dusun untuk menggali potensi apa yang bisa dimanfaatkan di hutan tanpa harus merusak hutan itu sendiri. Kami membentuk KUPS di Desa Malitu dan mengajak perempuan desa lainnya untuk bergabung dalam KUPS ini sebagai wadah penyadaran bagi mereka.

Selain melakukan penyadaran, kami juga melakukan aktivitas yang berkaitan dengan proses pelestarian alam di sini. Kami akan mengajak masyarakat melakukan penanaman pohon bersama-sama kami di pinggir sungai Malitu yang mana bibit pohon itu kami dapat dari bantuan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) yang ada di wilayah kami.

Saya memiliki cita-cita besar untuk menjadikan Desa Malitu sebagai desa percontohan yang dapat bangkit dari keterpurukan. Desa lestari yang hutannya bisa diwariskan bagi generasi yang akan datang. Semoga cita-cita itu bisa tercapai. (**)

**) Tulisan ini direpublikasi dari Kisah perempuan pengelola perhutanan sosial di Sulawesi Tengah : Mengabdikan Perjuangan, Menggapai Kesetaraan yang diterbitkan Yayasan Sikola Mombine dan didukung The Asia Foundation.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Mengukir Sejarah: Perempuan di Pucuk Pimpinan Redaksi

Briptu Renita Rismayanti, Polwan Cerdas yang Membawa Perdamaian

Frida Kahlo

Frida Kahlo dan Feminitas

Leave a Comment