Bincangperempuan.com– Enam dari sepuluh kehamilan yang tidak direncanakan berakhir dengan aborsi yang diinduksi. Sayangnya, sekitar 45% dari aborsi ini dilakukan secara tidak aman. Masalah ini menjadi perhatian serius di berbagai belahan dunia.
Kehamilan remaja menjadi salah satu isu krusial di Asia Tenggara. Hal ini tidak hanya membahayakan kesehatan ibu remaja tetapi juga membatasi akses mereka terhadap pendidikan dan peluang ekonomi.
“Di India, tingkat prevalensi kontrasepsi modern hanya 56,5% untuk perempuan usia 15-49 tahun. Selain itu, perkawinan anak masih terjadi, dengan 1,5 juta anak perempuan di bawah usia 18 tahun menikah setiap tahunnya. Kondisi ini meningkatkan risiko HIV dan kekerasan berbasis gender,” jelas Pooja Mishra, National Coordinator, Youth Lead Voices; and General Secretary, National Coalition of People Living with HIV in India (NCPI Plus).
Pooja menambahkan bahwa stigma sosial dan ketakutan akan penghakiman dari penyedia layanan kesehatan membuat banyak remaja, terutama mereka yang hidup dengan HIV, enggan mencari layanan kespro. Hal ini diperparah oleh terbatasnya fasilitas layanan ramah remaja di daerah pedesaan.
Baca juga: Layanan Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan dan Kekerasan Seksual Lainnya
Ketimpangan Akses Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi di Asia Pasifik
Sesi SHE & Rights yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi internasional seperti NCPI Plus, IPPF, dan WGNRR ini mengangkat berbagai isu, termasuk ketimpangan akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi (kespro) di Asia Pasifik.
“Ketidaksetaraan, stigma, dan ketidakadilan masih menjadi ancaman besar bagi kesehatan perempuan dan anak perempuan di kawasan ini. Banyak anak perempuan bahkan tidak dapat bersekolah karena kurangnya fasilitas kebersihan menstruasi yang layak. Di beberapa negara, seperti Filipina, aborsi masih sangat dibatasi,” ujar Lady Nancy Lisondra, outh and Advocacy Advisor at International Planned Parenthood Federation- IPPF (East and South-East Asia and Oceania Region
Lady Nancy juga menyoroti bahwa banyak anak muda menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pendidikan seksualitas yang komprehensif dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi. Di banyak negara, biaya layanan kespro masih tinggi, cakupan asuransi kesehatan terbatas, dan persetujuan orang tua sering menjadi hambatan.
Pendidikan Seksualitas yang Komprehensif: Kebutuhan Mendesak
Di Filipina, kurangnya pendidikan seksualitas yang komprehensif menjadi penghalang besar bagi kaum muda untuk membuat keputusan yang tepat terkait kesehatan reproduksi. Gressa Mae G. Pepito, Wakil Presiden Organisasi Keluarga Berencana Filipina (FPOP), menyebutkan bahwa banyak anak muda terjebak dalam informasi yang salah karena hanya mengandalkan media sosial atau teman sebaya.
“Kurangnya pendidikan seksualitas yang komprehensif telah menyebabkan peningkatan kehamilan remaja dan perilaku berisiko lainnya. Ini bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak,” tegas Gressa. RUU Pencegahan Kehamilan Remaja (APP) di Filipina berupaya memperkuat pendidikan seksualitas dan menyediakan layanan kesehatan ramah remaja. Namun, RUU ini masih menghadapi tantangan dalam proses legislasinya.
Baca juga: Deklarasi Konsensus Jenewa, Ancaman Bagi Kesetaraan Gender
Stigma dan Tantangan Layanan Kespro
Maria Iqbal Shah dari Y-PEER Asia Pasifik mengungkapkan bahwa stigma budaya dan agama di Pakistan menghambat akses layanan kespro.
“Pernikahan anak yang lazim di Pakistan meningkatkan risiko kehamilan dini, kematian ibu, dan masalah kesehatan mental. Perempuan dan anak perempuan juga menghadapi kekerasan berbasis gender yang sering kali berakar pada budaya patriarki,” jelas Maria.
Ia menekankan bahwa layanan kespro harus memenuhi standar AAAQ WHO (Acceptable, Available, Accessible, Quality). Sayangnya, stigma dan tabu budaya sering kali membuat layanan ini sulit dijangkau oleh mereka yang paling membutuhkan.
Menguatkan Jembatan Permintaan dan Penawaran
Manoj Pardeshi dari NCPI Plus menyoroti pentingnya memperkuat jembatan antara permintaan dan penawaran layanan kespro.
“Semua alat pencegahan tersedia, tetapi belum menjangkau semua orang yang membutuhkan. Perusahaan sosial kami, TAAL+, berfokus pada menyediakan layanan kesehatan yang ramah remaja, bebas stigma, dan terjangkau. Kami memastikan akses ke obat-obatan, PrEP, dan tes HIV mandiri bagi komunitas yang membutuhkan,” jelasnya.
Tantangan dalam menyediakan layanan kespro dan hak aborsi aman membutuhkan komitmen bersama dari pemerintah, organisasi internasional, dan masyarakat. Pendidikan seksualitas yang komprehensif, layanan yang bebas stigma, serta kebijakan yang mendukung adalah langkah penting untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan setara bagi perempuan dan anak muda.
Pada Maret 2025, pemerintah dari seluruh dunia akan bertemu dalam sesi ke-69 UN Commission on Status of Women (CSW) untuk meninjau kemajuan Deklarasi Beijing yang telah berjalan selama 30 tahun.
“Deklarasi dan Platform Aksi Beijing menyoroti dampak aborsi tidak aman terhadap kehidupan perempuan dan pentingnya memperluas layanan keluarga berencana untuk mengurangi aborsi tidak aman. Pemerintah harus menepati janji mereka untuk mencapai kesetaraan gender dan hak asasi manusia,” pungkas Shobha Shukla, Koordinator Inisiatif SHE & Rights (Kesehatan Seksual dengan Kesetaraan dan Hak).