Bincangperempuan.com- B’Pers, pernahkah kamu membayangkan hidup tanpa harus terjebak dalam rutinitas kerja 9-to-5? Hidup dengan lebih banyak waktu luang, tanpa tekanan untuk terus produktif demi mengejar kesuksesan versi masyarakat? Jika iya, kamu mungkin tertarik dengan konsep soft life.
Di TikTok, istilah soft life semakin populer, terutama di kalangan anak muda yang mulai mempertanyakan apakah hidup harus selalu tentang kerja keras tanpa henti. Mereka menampilkan gaya hidup yang lebih santai, menolak budaya hustle yang melelahkan, dan lebih memilih keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Di Indonesia sendiri, fenomena ini bisa kita lihat dalam film dokumenter Terpejam untuk Melihat, yang menyoroti orang-orang yang memilih jalan hidup alternatif. Salah satunya lelaki bernama Maharlikha yang meninggalkan kehidupan di kota untuk tinggal di pedalaman hutan. Salah satu narasumber yang hidup di pedalaman dalam film ini berkata, “Sugeh opo-opo kari opek,” yang berarti, “Kita kaya, apa pun tinggal petik dari kebun sendiri.” Ungkapan ini mencerminkan bagaimana orang-orang dalam film tersebut hidup dengan cukup, tanpa harus terjebak dalam siklus kerja yang melelahkan.
Tetapi, sebenarnya soft life itu apa? Apakah sama dengan konsep slow living?
Baca juga: #KaburAjaDulu: Tagar yang Ramai di Media Sosial, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Soft Life vs. Slow Living: Apa Bedanya?
Soft life merujuk pada gaya hidup yang menekankan kenyamanan, relaksasi, dan menghindari tekanan atau tantangan yang tidak perlu. Konsep ini sering dikaitkan dengan kemewahan dan kebebasan finansial, tetapi juga dapat diartikan sebagai hidup yang lebih sederhana dan bebas dari stres berlebihan.
Sementara itu, slow living lebih berfokus pada kesadaran dalam menjalani hidup. Konsep ini menekankan untuk hidup lebih lambat, menikmati setiap momen, dan tidak terburu-buru dalam segala hal. Jika soft life adalah tentang menghindari tekanan dan memilih kenyamanan, maka slow living lebih kepada bagaimana kita memperlambat ritme hidup agar lebih bermakna.
Meskipun berbeda, keduanya memiliki benang merah yang sama: menolak budaya kerja yang mengharuskan seseorang selalu sibuk dan produktif.
Mengapa Banyak Orang Mulai Beralih ke Soft Life?
Generasi milenial dan Gen Z tumbuh dalam budaya kerja keras (hustle culture), di mana kesuksesan sering diukur dari seberapa sibuk dan produktif seseorang. Konsep “rise and grind” yang dulu diagungkan kini mulai dipertanyakan. Banyak yang menyadari bahwa bekerja tanpa henti tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan hidup.
Sebuah survei dari KeyBank menunjukkan bahwa mayoritas orang Amerika mulai meninggalkan budaya kerja keras dan lebih memilih gaya hidup soft life, terutama akibat meningkatnya biaya hidup. Sebanyak 72% responden kini mendefinisikan kesuksesan berdasarkan kebahagiaan, kepuasan, dan keseimbangan hidup—bukan sekadar kekayaan materi. Sementara itu, 54% responden percaya bahwa budaya hustle justru berisiko menyebabkan kelelahan mental (burnout).
Di media sosial, terutama TikTok, gerakan #softlife semakin mendapat perhatian. Jutaan orang berbagi pengalaman mereka dalam menetapkan batasan yang sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta mengutamakan kesejahteraan mental. Tren ini menjadi pengingat bahwa standar sukses telah berubah—tidak lagi tentang mengorbankan diri demi pencapaian materi, tetapi lebih pada hidup yang lebih tenang dan bermakna.
Baca juga: Benarkah Laki-Laki Hidup Lebih Singkat? Ini Penjelasannya!
Bagaimana Mempraktikkan Soft Life?
Banyak yang salah paham dengan konsep soft life, menganggapnya sebagai gaya hidup mewah tanpa usaha atau bentuk pelarian dari tanggung jawab. Padahal, inti dari soft life adalah memahami batas diri dan membuat pilihan hidup yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Mereka yang menerapkan soft life biasanya melakukan beberapa hal berikut:
- Menetapkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi agar tidak terus-menerus terbebani urusan kantor.
- Mengutamakan kesehatan mental dengan menghindari tekanan untuk selalu produktif.
- Memilih pekerjaan yang selaras dengan nilai dan kebutuhan pribadi, bukan hanya demi status atau gaji besar.
- Mengurangi paparan tekanan sosial untuk terus mengejar standar kesuksesan yang tidak sesuai dengan diri sendiri.
Soft life bukan berarti menolak kerja keras, tetapi lebih pada bekerja dengan cara yang tidak menguras energi secara berlebihan. Selain itu juga memastikan bahwa usaha yang dilakukan tetap membawa kebahagiaan.
Siapa yang Bisa Memulai Gaya Hidup Soft Life?
Secara teori, siapa pun bisa menerapkan soft life, tetapi dalam praktiknya, ada faktor-faktor yang membatasi. Salah satu tantangan utama adalah ketimpangan ekonomi dan kelas sosial.
Bagi mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi mapan, menjalani soft life mungkin lebih mudah karena memiliki sumber daya yang cukup untuk hidup nyaman tanpa harus bekerja terlalu keras. Namun, bagi mereka yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, konsep ini bisa terasa jauh dari realitas.
Meski begitu, prinsip soft life tetap bisa diterapkan tanpa harus keluar dari pekerjaan atau memiliki kekayaan melimpah. Berikut ini, beberapa cara yang bisa dilakukan antara lain:
- Mengurangi jam kerja lembur jika memungkinkan, agar tubuh dan pikiran tetap seimbang.
- Menjaga kualitas istirahat dengan tidur yang cukup dan menghindari beban kerja berlebihan.
- Menghindari lingkungan kerja yang toxic, terutama yang terus-menerus menuntut produktivitas tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pegawai.
- Mempraktikkan hidup sederhana, tidak terjebak dalam tekanan sosial untuk selalu konsumtif atau mengejar tren demi pengakuan.
Dampak Soft Life pada Kesejahteraan Mental
Mengadopsi soft life tidak hanya mengubah cara bekerja, tetapi juga berpengaruh pada kesehatan mental dan fisik. Merangkum dari Forbes, gaya hidup ini membantu seseorang untuk lebih sadar akan waktu dan energi yang dimilikinya, serta membuat keputusan yang lebih selaras dengan nilai pribadi.
Beberapa manfaat utama dari soft life meliputi:
- Mengurangi stres dan kecemasan akibat tekanan untuk terus produktif.
- Meningkatkan kualitas hidup dengan lebih banyak waktu untuk diri sendiri dan aktivitas yang membawa kebahagiaan.
- Menjalin hubungan sosial yang lebih sehat, karena seseorang tidak lagi merasa harus selalu “sibuk” untuk dianggap sukses.
Konsep ini juga menjadi respons terhadap hustle culture yang sering membuat individu mengorbankan kesejahteraan demi pencapaian eksternal. Dengan soft life, seseorang tidak lagi sekadar hidup untuk bekerja, tetapi benar-benar menikmati hidup dengan lebih sadar dan penuh makna.
Revolusi Sosial atau Privilege?
Gaya hidup soft life menantang norma bahwa kesuksesan harus diperjuangkan dengan kerja keras yang tak kenal lelah. Gaya hidup ini menawarkan pandangan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan mental lebih penting, daripada sekadar pencapaian materi.
Namun, di sisi lain, soft life juga bisa dianggap sebagai privilege—sesuatu yang tidak bisa dijalani semua orang. Ada banyak faktor sosial dan ekonomi yang membuat tidak semua orang bisa serta-merta meninggalkan kerja keras demi hidup lebih santai.
Jadi, apakah soft life adalah revolusi sosial atau hanya tren yang eksklusif bagi segelintir orang? Jawabannya mungkin tergantung dari perspektif masing-masing. Tetapi satu hal yang pasti, semakin banyak orang menyadari bahwa hidup tidak melulu soal bekerja keras tanpa batas. Dan itu, adalah awal dari perubahan besar dalam mendefinisikan kembali arti kesuksesan.
Referensi:
- Dictionary.com. (n.d.). Soft life. https://www.dictionary.com/e/slang/soft-life/#
- Forbes. (2024, June 28). Why the soft life trend is crushing hustle culture, by a psychologist. https://www.forbes.com/sites/traversmark/2024/06/28/why-the-soft-life-trend-is-crushing-hustle-culture-by-a-psychologist/#