Home » News » Tes Kehamilan Pada Siswi: Antisipasi atau Pelanggaran Privasi?

Tes Kehamilan Pada Siswi: Antisipasi atau Pelanggaran Privasi?

Ais Fahira

News

Tes Kehamilan Pada Siswi Antisipasi atau Pelanggaran Privasi

Bincangperempuan.com- Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan oleh video yang menunjukkan siswi SMA sedang menjalani tes kehamilan di sekolah. Dalam video tersebut, para siswi terlihat mengantre untuk melakukan tes urine menggunakan test pack, lalu menyerahkan hasilnya kepada pihak sekolah.

Belakangan diketahui bahwa kejadian tersebut terjadi di SMA Sultan Baruna di Cianjur, Jawa Barat. Ramainya perbincangan di media sosial membuat pihak sekolah akhirnya angkat bicara untuk menjelaskan alasan di balik kebijakan ini.

Pencegahan Pergaulan Bebas atau Kontrol terhadap Perempuan?

Melansir dari Detik, Kepala Sekolah SMA Sultan Baruna, Sarman, mengungkapkan bahwa kebijakan tes kehamilan ini telah dijalankan selama dua tahun. Biasanya, tes dilakukan setelah libur semester atau saat awal tahun ajaran baru.

“Pernah ada orang tua siswa yang datang ke sekolah dan memberitahukan bahwa anaknya hamil, lalu memilih untuk tidak melanjutkan sekolah. Karena itu, kami menjalankan program ini untuk memastikan para siswi terhindar dari pergaulan bebas,” ujar Sarman pada Rabu (22/01/2025).

Ia juga menegaskan bahwa hasil tes diumumkan secara tertutup untuk menjaga privasi siswa.

Namun, alih-alih dianggap sebagai langkah pencegahan, kebijakan ini justru menuai kritik. Banyak pihak menilai tes kehamilan bukan hanya tidak efektif, tetapi juga melanggar hak privasi dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan.

Baca juga: Mengapa Pendidikan Seks Inklusif Itu Penting?

Perempuan Kembali Menanggung Beban

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut mengkritik kebijakan ini. Komisioner KPAI, Ai Maryati, menegaskan bahwa program ini bersifat diskriminatif karena menjadikan perempuan sebagai objek pengawasan moralitas.

“Kami prihatin dengan tindakan ini karena menempatkan anak perempuan sebagai objek seksual. Kebijakan seperti ini mengabaikan pentingnya edukasi seks yang komprehensif,” ujar Ai Maryati, dikutip dari Detik.

Jika tujuan sekolah adalah mengantisipasi “pergaulan bebas”, maka solusi yang lebih masuk akal adalah memberikan edukasi seksual yang komprehensif bagi seluruh siswa—baik laki-laki maupun perempuan. Sebab, tanggung jawab atas kehamilan dan aktivitas seksual seharusnya tidak hanya dibebankan kepada perempuan.

Pertanyaan ini relevan karena dalam banyak kasus, kebijakan yang menyangkut moralitas seksual kerap hanya ditujukan kepada perempuan, sementara laki-laki nyaris tidak tersentuh aturan serupa. Hal ini menunjukkan bahwa pergaulan bebas masih dipandang melalui kacamata yang patriarkal—di mana perempuan harus menjaga “kesucian”, sementara laki-laki lebih bebas dari stigma sosial yang sama.

Kasus ini mencerminkan bagaimana tubuh perempuan masih menjadi objek kontrol sosial dan negara. Perempuan diperlakukan seolah-olah mereka adalah pihak yang harus selalu dikendalikan, sementara laki-laki tidak mendapat perlakuan serupa.

Tes Kehamilan: Bukti Gagalnya Edukasi Seks

Kritik terhadap kebijakan ini juga datang dari kalangan medis. Republika mengutip pendapat Dokter Kasim, yang menilai bahwa tes kehamilan bukanlah langkah yang logis untuk mencegah seks pranikah atau kehamilan di luar nikah.

“Jika tujuannya adalah mencegah kehamilan dan seks di luar nikah, maka tes kehamilan sama sekali tidak masuk akal. Hasil negatif hanya menunjukkan bahwa siswi tersebut tidak hamil saat itu, bukan berarti ia tidak pernah melakukan hubungan seksual,” jelasnya.

Lebih jauh, kebijakan ini juga bisa menimbulkan dilema moral yang lebih besar. Jika hasil tes kehamilan menunjukkan bahwa seorang siswi sudah hamil, lalu apa yang akan dilakukan sekolah?

Menurutnya daripada menerapkan kebijakan yang bersifat represif dan menghukum perempuan, langkah yang lebih bijak adalah memastikan seluruh siswa mendapatkan edukasi seksual yang benar dan komprehensif.

Edukasi seksual bukan hanya soal mengenali anatomi tubuh atau menghindari kehamilan. Lebih dari itu, edukasi ini juga harus membahas konsep persetujuan (consent), risiko penyakit menular seksual, hingga tanggung jawab bersama dalam hubungan seksual.

Baca juga: Kenapa Laki-laki Bangga Punya Banyak Pasangan, Tapi Perempuan Tidak?

Edukasi Seksual Sebagai Kontrol Sosial

Di banyak negara, pendekatan edukasi seksual berbasis hak (comprehensive sexuality education) terbukti lebih efektif dalam menurunkan angka kehamilan remaja. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa pendanaan untuk pendidikan seks komprehensif berhasil mengurangi tingkat kelahiran remaja di tingkat regional lebih dari 3%.

Negara-negara di Eropa, seperti Italia, Jerman, dan Swiss, memiliki tingkat kehamilan remaja yang rendah—kurang dari 4 kelahiran per 1.000 remaja perempuan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh penerapan pendidikan seks yang komprehensif di sekolah-sekolah mereka. Di sana, seksualitas bukan sekadar hal yang tabu, tetapi dipahami sebagai bagian dari kehidupan yang harus diajarkan dengan bertanggung jawab.

Sementara itu, di Indonesia, meskipun program pendidikan seksual dan reproduksi remaja telah diterapkan, efektivitasnya masih beragam. Banyak program yang tidak disampaikan secara komprehensif di institusi pendidikan formal. Akibatnya, alih-alih membekali siswa dengan pemahaman yang benar, seksualitas justru menjadi topik yang dihindari atau disalahpahami.

Oleh karena itu lembaga pendidikan, tugasnya bukanlah menghukum atau mengawasi tubuh siswinya, melainkan mendidik mereka agar memahami tubuh mereka sendiri, menghargai batasan diri dan orang lain, serta mampu membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Tes kehamilan pada siswi SMA bukan hanya tidak efektif, tetapi juga melanggar hak privasi dan memperkuat stigma terhadap perempuan. Jika benar ingin mencegah seks pranikah dan kehamilan remaja, solusinya bukan dengan menghakimi, melainkan dengan memberikan edukasi seksual yang benar.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Kamu Tidak Egois, Hanya Karena Mengatakan Tidak!

Kamu Tidak Egois, Hanya Karena Mengatakan Tidak!

AJI Yogyakarta & Surakarta Kecam Pelecehan Seksual Suporter Sepak Bola terhadap Jurnalis Liputan6.com

Memberdayakan Anak Berarti Melindungi Mereka Sendiri (1)

Memberdayakan Anak Berarti Melindungi Mereka Sendiri

Leave a Comment