Home » Kesehatan » Kehamilan Tak Diinginkan dalam Pernikahan

Kehamilan Tak Diinginkan dalam Pernikahan

Delima Purnamasari

Kesehatan

Kehamilan Tak Diinginkan dalam Pernikahan

Bincangperempuan.com- Aspek yang dipertimbangan oleh pasangan ketika ingin menikah kerapkali hanya soal cinta dan nafkah material. Di sisi lain, persiapan dalam hal kesehatan reproduksi, seksualitas, dan pengetahuan atas tubuh kerap dilupakan. Pada akhirnya kehamilan yang tak diinginkan terus terjadi, bahkan dalam hubungan pernikahan itu sendiri. Fenomena semacam ini turut menunjukan lemahnya otonomi perempuan atas tubuhnya.

Kehamilan yang tidak dinginkan berarti salah satu atau kedua pihak tidak menginginkan terjadinya kehamilan. Hal ini dapat terjadi pada mereka yang telah menikah karena berbagai alasan. Mulai dari pengetahuan yang tidak memadai, suami yang tidak mau menggunakan kondom, alasan kesehatan, perkosaan, ekonomi yang tak mencukupi, anak yang sudah terlalu banyak, belum merencanakan kehamilan, hingga kegagalan KB. 

Setiap istri tentu memiliki tanggapan berbeda atas fenomena kehamilan yang tak diinginkan ini. Namun, banyak yang mengalami gejolak penolakan ketika pertama kali mengetahui dirinya tengah mengandung. 

Adanya potensi kekerasan

Kehamilan yang tak diinginkan berpotensi menunjukan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Dalam tatatan rumah tangga tersebut, istri belum bebas menentukan kehamilan. Baik itu soal jarak usia antar-anak, waktu hamil, jumlah anak yang direncanakan, bahkan keinginan untuk memiliki anak itu sendiri. Perempuan belum bebas menentukan ingin berhubungan seksual atau tidak. Termasuk dalam penggunaan alat kontrasepsi. 

Tubuh istri dianggap sebagai hak suami. Karena itu, pihak perempuan kerap menerima kekerasan berupa persetubuhan paksa dengan cara tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan. Hal ini disebut dengan marital rape. Nilai patriarki yang mengakar menghasilkan pemikiran bahwa pemerkosaan tidak mungkin terjadi dalam pernikahan. Seakan-akan istri telah memberikan kontrak seumur hidup untuk melayani suaminya. Padahal, segala aktivitas seksual yang dilakukan tanpa consent tergolong sebagai pelecehan dan kekerasan seksual. Kedua hal tersebut menimbulkan luka fisik maupun batin.  

Baca juga: Tubuh Perempuan saat Masa Menopause

Ketika pemerkosaan itu berujung pada kehamilan, istri mesti memendam trauma sambil kelelahan dalam melalui proses biologis hamil dan melahirkan. Mereka rentan mengalami ketidakadilan hanya karena jadi perempuan. Persoalan kesehatan reproduksi ini memang selalu beririsan dengan ketidakadilan gender. 

Ada sekitar 40 kehamilan tak diinginkan yang terjadi pada perempuan berusia 15-49 tahun di Indonesia. Data tersebut diperoleh dari rentang tahun 2015 hingga 2019. Rata-rata kasus setiap tahunnya mencapai 7,9 juta. Di sisi lain, sebanyak 82% kehamilan yang tidak diinginkan di negara berkembang terjadi lantaran belum terpenuhinya alat kontrasepsi.

Tingginya angka aborsi tidak aman

Kehamilan yang tidak diinginkan tak jarang mengantarkan pasangan untuk melakukan aborsi. Adanya stigma dan pembatasan yang ketat terhadap aborsi pada akhirnya membuat mereka mencari bantuan melalui tenaga non-medis. Dua hal yang paling umum dilakukan adalah meminum ramuan dan melakukan pemijatan. 

Menurut data Guttmacher Institut, ada 37 aborsi yang terjadi untuk setiap 1000 perempuan berusia 15-49 tahun. Sebanyak 2/3 perempuan yang melakukannya di rumah sakit dan klinik sudah menikah. Di samping itu, 58% perempuan berusia lebih dari 30 tahun dan hampir separuhnya sudah memiliki paling sedikit dua anak. Hampir semua perempuan yang melakukan upaya aborsi di klinik, juga telah melakukan usaha mandiri untuk menggugurkan kandungannya. Mulai dari memakai obat yang dapat dibeli tanpa resep hingga mengonsumsi jamu-jamu untuk melancarkan menstruasi. 

Hanya 38% perempuan yang menggunakan prosedur aborsi aman. Sedangkan 25% sisanya, menggunakan pengobatan oral dan melalui pemijatan, sebanyak 13% melalui suntikan, 13% lainnya dengan cara memasukan benda asing dalam vagina atau rahim, dan 4% sisanya melalui metode akupuntur. 

Menurut WHO, angka kematian ibu di Indonesia karena aborsi mencapai 16%. Lebih banyak yang terjadi adalah komplikasi, seperti pendarahan berat, infeksi dan keracunan, serta kerusakan alat kemaluan atau rahim.

Guttmacher Institut turut memberikan kisah perempuan yang menggunakan jasa aborsi tidak aman. “Perut saya dipijat. Awalnya tidak terlalu kuat lalu menjadi sangat keras dan sakit sekali. Kedua kaki saya ditekuk, dukun tersebut memasukan jari-jarinya lalu mengorek seluruh bagian dalam vagina saya. Ketika tangannya keluar, saya merasakan ada sesuatu yang keluar dari vagina. Saya merasa lemas sekali. Satu jam kemudian, saya meminum ramuan lalu kembali dipijat. Saya berteriak karena terasa sakit yang begitu mendalam. Hingga 10 menit kemudian, dukun berhenti memijat. Lagi-lagi saya merasa ada yang keluar dari vagina saya.”

Disebutkan bahwa pemilihan prosedur aborsi tidak aman disebabkan juga oleh faktor biaya. Dukun tradisional hanya mematok Rp7.000-Rp350.000. Untuk bidan tarifnya Rp35.000-Rp526.000 dan untuk dokter di rumah sakit sebesar RP420.000-Rp876.000. Dokter di klinik swasta jauh lebih mahal lagi, yakni sekitar Rp700.000-Rp1,8 juta.

Kualitas keluarga di masa depan

Kehamilan yang tak diinginkan berpotensi memberi dampak pada kualitas keluarga di masa depan. Anak yang lahir dari kemampuan ekonomi yang pas-pasan akhirnya memiliki akses yang rendah terhadap makanan bergizi, fasilitas kesehatan, pendidikan, hingga hunian yang layak. Kesempatan mereka untuk mencapai potensi yang maksimal menjadi terhambat. 

Baca juga : Sadari Kanker Payudara Sejak Dini

Alat kontrasepsi mestinya tidak hanya dipandang sebagai pembatas jumlah anak, tetapi sebagai media yang meningkatkan kualitas keluarga. Penggunaannya menjadikan keluarga dapat menentukan kesiapan fisik, ekonomi, dan emosional untuk memiliki anak. Di samping itu, pemerintah mesti meningkatkan pengadaan alat kontrasepsi karena ketersediaannya masih pada angka 65% dari total kebutuhan. 

Perempuan semestinya juga berhak atas tubuhnya sendiri. Mereka memiliki hak untuk menentukan pilihan dalam kehidupannya, termasuk keputusan untuk hamil atau tidak. Status ekonomi, pemberdayaan, dan jaminan kesehatan reproduksi adalah hal yang mutlak.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Vasektomi Membantu Meringankan Beban Reproduksi Perempuan

Vasektomi, Membantu Meringankan Beban Reproduksi Perempuan

Apa Itu Premenstrual Syndrome? Bagaimana Gejalanya?

Female Genital Mutilation

Pemerintah Indonesia Hapus Praktik Sunat Perempuan

Leave a Comment