Home » News » Wadon Wadas (Masih) Melawan, Perjuangan Perempuan Menjaga Kelestarian Alam

Wadon Wadas (Masih) Melawan, Perjuangan Perempuan Menjaga Kelestarian Alam

Dian Amalia Ariani

News

“Aku pilih tanah,” jawab Susi.

Bincangperempuan.com- Tidak sedikit pun keraguan terdengar dari suara Susi saat mengatakan bahwa ia masih teguh dengan pilihannya untuk mempertahankan tanah di Wadas. Susi, anggota Wadon Wadas, gerakan perempuan Wadas yang tidak setuju ‘tanah surga’ Wadas dijadikan tambang batu. Kendati ada sejumlah masyarakat yang awalnya menolak tambang kemudian berduyun-duyun menukar tanahnya dengan uang ganti rugi, ia dan puluhan warga lainnya tetap konsisten mempertahankan alas (alam) Wadas sebagai bagian dari upaya mempertahankan diri mereka, sejarah mereka, budaya mereka, dan masa depan anak-cucu mereka.

“Walau dibeli milyaran, ya tetap nggak imbang. Tanah itu nggak ternilai, uang lama-kelamaan akan habis. Dengan tanah, kita bisa selamanya hidup dan mendapatkan uang dan pangan untuk hidup, juga bisa diturunkan ke anak cucu yang mau hidup di Wadas,” tutur Susi saat diwawancara Bincang Perempuan pada Rabu (21/06/2023). 

Sudah hampir satu dekade bukit Manoreh di Desa Wadas menjadi tanah sengketa. Terletak di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Susi merunut sejarah konflik di Wadas yang telah berlangsung sejak tahun 2013. Saat itu, sayup-sayup warga Wadas mendengar tentang pembangunan Bendungan di daerah Purworejo dan Wonosobo, dan Desa Wadas akan menjadi salah satu desa yang terdampak dari pembangunan tersebut. 

Pancaran mata tak boleh disalahkan, karena kabar yang didengar terbukti benar adanya. Beberapa waktu kemudian, terdapat perusahaan swasta yang melakukan pengeboran di dua lokasi dengan kedalaman 75 dan 50 meter di Desa Wadas. Pengeboran tanah ini memiliki tujuan untuk menjadi bahan uji di Balai Besar Wilayah Sungai-Serayu-Opak (BBWS-SO), unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat yang bertugas mengelola sumber daya air, termasuk bendungan dan daerah irigasi di WS Serayu-Bogowonto dan WS Progo-Opak-Serang.

“Konfliknya sudah mulai tahun 2013, di tahun-tahun itu, sudah ada kegiatan pengeboran di beberapa titik di Desa Wadas,” ucap Susi.

Susi menerangkan bahwa rupanya pengeboran tersebut merupakan bagian dari proyek penambangan batu andesit untuk material Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener di Desa Wadas. Bendungan yang digadang-gadang akan menjadi salah satu bendungan tertinggi se-Asia Tenggara. Kendati demikian, sepanjang tahun warga Desa Wadas, termasuk Susi, mengaku tidak dilibatkan secara aktif dalam perizinan proyek tambang batu tersebut.

Tahun 2018, tanpa sepengetahuan warga Wadas, pemerintah menerbitkan izin lingkungan dan mengumumkan adanya proyek Bendungan secara luas. Dalam izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, terdapat wilayah Desa Wadas yang diumumkan menjadi lokasi pembebasan lahan untuk menunjang pembangunan Bendungan Bener. Oleh karena itu, pada 8 Maret 2018 warga Wadas membentuk sebuah paguyuban bernama Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPA DEWA). GEMPA DEWA ini yang kemudian melahirkan Wadon Wadas (Perempuan Wadas) dan Kamu Dewa (Kawula Muda Desa Wadas) sebagai bagian dari penolakan signifikan terhadap tambang quarry yang hendak beroperasi di Desa Wadas.

Selain Susi, Bincang Perempuan juga berkesempatan mewawancarai Sana, seorang aktivis perempuan dari Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih Yogyakarta yang sekian lama bergerak bersama warga Wadas. Ia menyampaikan bahwa masyarakat desa Wadas yang kontra, bukan terhadap pembangunan bendungan, melainkan penambangan material batu andesit di area lahan pertanian warga.

Menurut Sana, penolakan warga sendiri bukan tanpa dasar, tanah Wadas merupakan lahan yang subur yang dapat ditanami berbagai tumbuhan seperti kemukus, kencur, kacang, karet, kopi, vanili, dan durian. Sebagian besar warga Wadas adalah petani, hidup dan makan dari yang mereka tanam sendiri.

“Kontur tanah Wadas itu perbukitan, naik-turun, lereng-lereng dan subur. Jadi, tanahnya bak tanah surga, tanaman apapun dapat tumbuh subur di sana, dengan tiga puluh mata air yang terus mengalir dan menghidupi desa Wadas,” ujar Sana saat diwawancarai Bincang Perempuan pada hari Rabu (21/06/2023).

Secara turun-temurun, mayoritas warga desa Wadas hidup menjalankan pertanian multikultur di lahan-lahan subur milik mereka. Susi mengatakan hal ini memungkinkan warga Wadas terpenuhi secara pangan serta mendapatkan kecukupan materi dari penghasilan tinggi panen berbagai macam tanaman secara bergantian sepanjang tahun.

Dilansir dari Project Multatuli, Mbah Marsono, salah seorang warga Wadas bisa mendapatkan penghasilan Rp10 juta dari satu pohon besar durian. Beberapa warga lainnya menyadap pohon aren sebagai bahan gula dengan harga jual Rp25.000-Rp30.000 per kilogram. Per tahunnya, petani petani dapat mengantongi Rp241 juta, kayu sengon Rp2 miliar, kemukus Rp1,35 milyar, vanili Rp266 juta, dan durian Rp1,24 miliar. Para ibu-ibu Wadas memproduksi 10-20 besek dari anyaman bambu bisa memberikan penghasilan hingga Rp1 juta per bulan. Bagi warga Wadas, hasil pertanian ini dapat menopang kehidupan petani dengan dua anak yang sekolah atau kuliah.

Siklus kehidupan yang tentram itu terusik kala aparat mulai melakukan intimidasi secara berkala terhadap warga Wadas yang menolak tambang. September 2019, rilis LBH Yogyakarta menyatakan terdapat belasan warga Wadas yang ditangkap tanpa prosedur yang sah. November 2020, GEMPA DEWA melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan sejumlah pihak yang terlibat dalam pembangunan tambang batu andesit kepada Ombudsman RI, seperti Gubernur Jawa Tengah dan BBWS-SO.

Tahun 2021, tanpa ancang-ancang, sejumlah aparat mengklaim melakukan sosialisasi sambil memasang patok-patok trase dan bidang tanah. Merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, belasan warga Wadas menolak dan terlibat bentrok dengan aparat.

Sana mengatakan, saat warga pro-tambang bersama tim pengukur tanah mengukur lahan di Bukit Wadas, polisi-polisi bertameng membuat barikade di halaman masjid, mengurung warga anti-tambang. 

Belum habis dengan rentetan kekerasan aparat dan prosedur perizinan lingkungan yang tidak transparan, tahun berikutnya lebih buruk lagi. Tahun 2022 merupakan puncak dari rangkaian kecacatan prosedur proyek tambang batu andesit yang juga disertai pelanggaran HAM. Selasa pagi, 8 Februari 2022, terjadi pengerahan ratusan aparat bersenjata lengkap ke Desa Wadas, menyusul kemudian terdapat 50 personel berpakaian sipil memenuhi sepanjang jalan utama Wadas dan merusak spanduk-spanduk penolakan tambang andesit.

Tidak pandang bulu, laki-laki perempuan, dewasa dan anak-anak menjadi korban represi aparat keamanan yang menyerang Wadas. Listrik mati, jaringan internet juga terganggu. Terdapat sekitar 40 orang yang ditangkap kepolisian, termasuk anak-anak di Desa Wadas. Akibatnya, warga Wadas mendapati luka fisik dan psikis berkepanjangan. 

“Saya juga dipukul. Anak-anak trauma karena kejadian (represif–read) tersebut, mereka selalu cemas melihat polisi, mereka memandang aparat sebagai penjahat yang melakukan tindakan kekerasan. Selain penyerangan besar itu, kadang aparat juga menyiksa warga yang dipanggil satu per satu, ditonjok dan ditampar,” tutur Susi. 

Menambah kecemasan warga, kadang aparat keamanan yang dikerahkan tidak hanya yang berseragam dinas, akan tetapi juga orang-orang yang berpenampilan seperti preman. 

Seperti hujan deras yang tak kunjung reda, sudah terancam kehilangan mata pencaharian mereka serta kekerasan aparat yang silih berganti, warga Wadas juga menghadapi risiko hilangnya sumber mata air dan bencana alam. Berdasarkan Pasal 42 Huruf c Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo Tahun 2011-2031 disebutkan bahwa Kecamatan Bener merupakan kawasan lindung, salah satu kawasan rawan bencana karena kontur tanahnya yang curam.

Oleh karena itu, pemberian izin lingkungan terhadap penambangan batu andesit di Desa Wadas sebenarnya terang bermasalah secara hukum. Ancaman kerusakan lingkungan tidak hanya mengancam keseimbangan alam, tapi juga mengancam keselamatan hidup warga yang tinggal di Wadas. 

Bagaimana Situasi Terkini di Desa Wadas?

Kendati proses penyelesaian sengketa belum mencapai titik terang, Susi menerangkan bahwa saat ini sudah dibangun akses jalan yang menghubungkan lokasi tambang batu andesit di Wadas dan lokasi Bendungan Bener di Desa Bener yang berjarak sekitar 12 km. Menurut keterangan Susi, akses jalan tersebut telah menutup setidaknya tiga mata air di Desa Wadas. 

“Akses jalan itu telah menutup tiga mata air di Wadas,” sesal Susi.

Ibarat mendahului petir, lalu petirnya benar-benar datang, kekhawatiran warga Wadas akan bencana alam yang dapat menerpa desanya kini benar-benar terjadi. Pada Sabtu siang, 25 Maret 2023, beberapa lokasi di Wadas menjadi titik banjir usai hujan mengguyur desa tersebut cukup lama. Menurut Susi, ini pertama kalinya banjir melanda Desa Wadas setelah sekian tahun lamanya. Susi mengaku sedih melihat banjir melanda dan menggenangi desanya.

“Baru dibuka akses jalan saja sudah menyebabkan banjir, apa lagi kalau ada tambang, mau jadi apa Wadas?” ujar Susi.

Jika Wadas ditambang, yang akan terjadi adalah banjir bandang. Buat apa Rp10 miliar jika kemudian mati karena longsor?” tambah Susi.

Susi mengatakan kekhawatiran mengenai dampak banjir tersebut telah disampaikan saat bersaksi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta beberapa waktu lalu. Pihaknya menyuarakan bahwa tambang andesit berpotensi membawa bencana alam bagi warga.

“Hal ini yang menyebabkan kami berharap rencana tambang bisa dihentikan karena ini bisa membahayakan keselamatan warga yang tinggal di Wadas,” ujar Susi.

Tak hanya Susi, salah seorang anggota Kamu Dewa, Kadir mengatakan bahwa benar saat ini sudah mulai banyak warga Wadas yang telah menerima uang ganti rugi dari pihak tambang quarry miliaran rupiah. 

Sebelum beroperasi, proyek ini sudah kadung mengakibatkan keretakan sosial antar warga. Kini, bukan hanya warga yang pro dan kontra, namun juga melibatkan warga yang awalnya kontra terhadap quarry, kemudian menyerahkan tanahnya. Mereka dianggap mengkhianati perjuangan agar Wadas tidak dijadikan lokasi tambang. Solidaritas antar warga yang terjalin akrab menjadi canggung dan kurang baik.

“Sebenarnya, selain bencana alam, secara sosial kami udah cukup hancur ya, karena awalnya ada bagian dari kami yang sama-sama berjuang melawan, kemudian istilahnya sekarang dia berbalik menyetujui, berhasil digembosi oleh pemerintah untuk setuju, ya jadi ada pengkhianat,” tutur Kadir (21/06/2023).

Sementara itu, Susi menyampaikan makin hari, pihak pemerintah makin sering menggunakan cara-cara represif untuk mematikan perlawanan warga. Meski secara hukum proyek tambang batu ini cacat kanan kiri, namun warga tetap dipaksa untuk menyerahkan tanahnya. Terkadang Susi merasa perjuangan warga Wadas seolah seperti menanam angin, segala daya upaya melalui jalur hukum yang dilakukan warga terus ditentang dan diabaikan oleh pemerintah. 

Bahkan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan aparat di tahun 2022 lalu tidak menyisakan dampak apapun terhadap para penjahat berseragam yang telah melakukan tindakan kekerasan keji terhadap warga. 

“Untuk tindak lanjut dari tindakan kekerasan aparat, sudah kita laporkan ke Komnas (Komisi Nasional) HAM, tapi tidak ada tindakan. Tidak ada yang ditindak. Mereka (baca : polisi-polisi tersebut) tetap bekerja dan masih menjabat semua,” ujar Susi. 

Baru-baru ini, surat konsinyasi dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo sebagai panitia pengadaan tanah sejak 17 April 2023 membuat warga semakin ketakutan.

“Sampai sekarang di Wadas juga mayoritas masyarakat masih menolak tambang. Masih ada sekitar empat RT (Rukun Tetangga) di desa Wadas yang masih melawan proyek penambangan batu,” ujar Susi.

Dari keterangan Susi, artinya masih ada 30 hektar tanah yang masih dikuasai oleh warga, dari 114 hektar tanah warga Wadas yang ditarget Pemerintah. Susi bersama warga lainnya mengaku gelisah dan takut bekerja di lahan mereka sendiri. Surat konsinyasi yang berisi ancaman dan intimidasi tersebut memberati pikiran warga Wadas.

“Kami selalu diintimidasi, kalau gak kasih berkas (tanah), akan dikonsinyasi dan tidak akan dapat apa-apa. Itu setiap hari sampai ibu-ibu takut dan tidak bisa kerja karena kepikiran,” ujar Susi. 

“Padahal ini hak kami lho, tanah ini punya kami,” tambah Susi.

Susi mengatakan kian hari teror-teror tersebut kian menguras ketenangan warga yang khawatir tanahnya suatu waktu dirampas paksa oleh pemerintah. Dari keterangan Susi, banyak dari warga Wadas yang bukan lagi usia produktif, sehingga beralih ke pekerjaan lain akan menyulitkan. Mereka sudah terbiasa menjadi petani dan berharap tanah mereka tetap bisa jadi tumpuan hidup sehari-hari dan kelak menjadi warisan untuk anak cucu mereka.

“Maksudnya kalau kita menolak cari lah alternatif lain, bukan menyerobot atau memaksa, aparat terus mengusik dan merepresi kami,” ujar Susi. 

Setiap minggunya, lantunan doa tidak pernah putus diutarakan warga Wadas melalui mujahadah di Masjid Nurul Huda Desa Wadas. Jalinan eco-spiritualism yang bersumber dari ajaran agama dan keyakinan lokal adalah energi warga Wadas untuk mempertahankan lingkungannya. 

Mereka tidak rela bila alas (hutan) Wadas yang lebat serta mata air yang mengalir di dalamnya hilang begitu saja karena tambang andesit. Dengan bershalawat, mereka melangitkan doa-doa kepada Tuhan agar mengetuk pintu hati penguasa negeri yang hingga kini enggan mendengarkan suara mereka.

“Kalau sama Pak Ganjar Ggubernur Jawa Tengah–read) kemarin, sempat tiga kali ketemu warga tapi cuma lamis, nggak ngasih kepastian, hanya janji manis saja,” terang Susi. 

Susi mengatakan bahkan keluhan-keluhan warga terkait dampak-dampak kerusakan alam yang terjadi juga sempat tidak mendapatkan respon baik dari Ganjar.

“Saya nggak mau dengar (keluhan-keluhan–read) yang itu-itu lagi,” ujar Susi menirukan jawaban Ganjar.

“Kalau satu warga Desa Wadas aja nggak bisa menyelesaikan, gimana mau jadi presiden satu Indonesia?” keluh Susi.

Sementara Kepala Desa Wadas dan Lurahnya juga menjadi pelaksana di level lokal di bawah Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 509/41/2018 yang menetapkan Desa Wadas sebagai area penambangan batuan andesit. 

Pada akhirnya, Susi dan Kadir melambungkan harapan yang seiras, agar pemerintah mencabut Izin Penambangan Lokasi (IPL) tambang quarry yang dapat mengancam ruang hidup warga Wadas.

“Jangan ada perbaruan atau perpanjangan IPL lagi, kalau kontrak mereka sudah habis ya habis. Kita berharap pembatalan tambang, itu saja,” ujar Susi. 

Wadon Wadas Menghadang Perusak Alam

“Tanah adalah Daging, Air adalah Darah, dan Batu adalah Tulang,” demikian pemaknaan bumi Wadas dari Wadon Wadas. Ungkapan ini menggambarkan keterkaitan antara perempuan dan alam dari segi ketubuhan. Dengan kata lain, merusak alam sama dengan merusak tubuh perempuan.

Berdasarkan keterangan Susi, pada tahun 2021, Wadon Wadas didirikan sebagai perkumpulan perempuan Desa Wadas agar perempuan ikut serta secara masif dalam menjaga alas Wadas dari ancaman rencana pertambangan quarry untuk material bendungan bener. Dengan kesadaran penuh, mereka melawan pihak penambang batu andesit, melawan keberingasan aparat dalam satu bingkai perlawanan terhadap penindasan alam.

“Saat sedang sulit, perempuan-perempuan Wadas (Wadon Wadas) sering berkumpul satu sama lain, untuk saling menguatkan, kadang lewat mujahadah,”ujar Susi.

Sana dari Solidaritas Perempuan Kinasih mengatakan bahwa jalinan antara perempuan dan alam telah terbangun dari ketubuhan dan peran sosial gender mereka. Dari segi fungsi fisiologisnya, Sana mengatakan bahwa perempuan memiliki tubuh yang secara reproduktif memiliki siklus menstruasi dan menjalankan kehamilan. Oleh karena itu, perempuan membutuhkan air bersih yang lebih banyak.

“Misalnya, karena perempuan mengalami mens, dia membutuhkan lebih banyak air bersih daripada laki-laki,” ujar Sana.

Sana juga menekankan peran sosial perempuan desa yang didomestikasi sehingga secara gender, perempuan Wadas yang mengelola rumah tangga dekat dengan pengolahan pangan.

“Secara gender, di Wadas kebanyakan perempuan berperan lebih dalam urusan domestik, pengelolaan rumah tangga, dekat dengan pengelolaan pangan untuk makan sehari-hari. Tidak heran, besek juga jadi simbol perlawanan mereka,” jelas Sana.

Hadirnya fenomena Wadon Wadas dan keterlibatan aktif perempuan dalam memperjuangkan isu lingkungan, menurut Hariati Sinaga, Dosen Kajian Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia merupakan sebuah simbolis perlawanan perempuan Indonesia terhadap pola pembangunan di Indonesia yang masih berwajah maskulin.

“Kasus Wadon Wadas menunjukkan politik perlawanan perempuan Indonesia terhadap pola pembangunan di Indonesia yang masih berwajah maskulin, yaitu kapitalistik yang menggambarkan hubungan antara eksploitasi perempuan dan eksploitasi alam,” tutur Hariati pada hari Sabtu sore (24/06/2023).

Perspektif yang digunakan dalam menarasikan perempuan dalam bingkai perjuangan menjaga dan memelihara alam merupakan bagian dari ekofeminisme. Hariati menjelaskan bahwa ekofeminisme adalah gagasan keilmuan yang melihat relasi khusus antara alam dan perempuan, di mana perempuan seringkali menjadi objek dominasi yang dipinggirkan dari pengelolaan lingkungan.

“Di kota-kota dan komunitas, wanita telah berjuang untuk air bersih, udara bersih, dan tanah. Mulai dari Gerakan Chipko di India. Di Indonesia, ada gerakan petani Kendeng, Wadas, Puspita Lestari yaitu Ibu-Ibu nelayan yang juga melawan pengrusakan alam,” ujar Hariati.

Ia menjelaskan terdapat lima posisi dalam menganalisis ekofeminisme, antara lain: (1) permasalahan-permasalahan lingkungan yang hanya dapat dimengerti jika mempertimbangkan perempuan; (2) kemudian subordinasi perempuan dalam kapitalisme industrial hanya dapat dimengerti jika hubungan manusia-alam juga dipahami; (3) lalu analisis berbasis historis dan lintas kultur mengenai pekerja perempuan dalam reproduksi sosial; (4) potensi perempuan untuk melakukan reproduksi biologis memposisikan mereka lebih dekat dengan alam; (5) serta berlandaskan spiritualitas (masyarakat non-Barat), seperti tradisi, adat, dan kebiasaan yang menekankan solidaritas

“Secara spiritual, perempuan dianggap sebagai “Ibu Bumi” atau “Mother of the Earth” sehingga spiritual is political bagi perempuan yang memiliki nurture merawat dan memelihara,” terang Hariati. 

Melalui lensa ekofeminisme politik, Hariati mengungkapkan adanya otoritarianisme dan militerisme yang secara langsung membatasi akses dan mengontrol keputusan politik perempuan terkait pekerjaan mereka sebagai petani dan pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, aktivitas pertambangan dapat merusak alam Wadas, mengancam air yang penting dalam kehidupan sehari-hari perempuan, dan meningkatkan risiko bencana serta merusak ikatan sejarah dan budaya dengan tanah mereka. (Dian Amalia Ariani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Lemea, Alternatif Pendapatan Perempuan Selama Pandemi

Cerdas Memilih dan Menggunakan Kosmetika Aman

Ayok, Suarakan Isu Perempuan melalui Tulisanmu!

Leave a Comment