Bincangperempuan.com– Secara historis perempuan menjadi entitas yang diperlakukan diskriminatif. Tindakan diskriminatif terhadap kaum perempuan di zaman dulu menunjukkan bahwa perempuan kerap menjadi entitas yang tersubordinasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam beberapa kasus, misalnya di Kota Athena pada zaman kekaisaran Yunani Kuno, perempuan hanya mempunyai sedikit hak dibandingkan dengan laki-laki. Di Tiongkok kuno, perempuan juga mengalami perlakuan yang tidak baik secara fisik, terdegregasi secara sosial dan dipaksa bersaing dengan selir demi kasih sayang suami. Bahkan dalam sastra tradisional Tiongkok disebutkan pada awalnya para perempuan adalah laki-laki dalam kehidupan sebelumnya namun mengalami reinkarnasi sebagai perempuan sebagai hukuman atas kesalahannya di masa lalu.
Di Indonesia pada masa pra-kemerdekaan, subordinasi terhadap perempuan terlihat dari terbatasnya akses pada berbagai fasilitas publik yang semestinya didapatkan oleh semua golongan baik oleh laki-laki ataupun perempuan. Contoh paling menonjol adalah terbatasnya akses layanan pendidikan bagi perempuan sebagai akibat sistem feodal dan kolonial pada masa itu. Di sisi lain, pembatasan akses terhadap pendidikan bagi perempuan masa lalu juga pada dasarnya merupakan konsekuensi dari paradigma konservatif yang mengidentikkan perempuan dengan kasur, sumur, juga dapur.
Dalam banyak kasus, ada perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Tentu itu menjadi pilihan mulia yang harus tetap dihormati. Kendati demikian, kita juga harus tetap menyadari bahwa sebagai makhluk sosial, perempuan memiliki hak untuk mengakses layanan publik secara adil atau berkiprah pada sektor publik selama tetap memahami kodratnya sebagai perempuan dengan tidak melupakan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu untuk anak-anak dan istri bagi suaminya. Hal itu berarti bahwa kita tidak boleh mengaburkan hak perempuan di ranah publik dengan menanamkan paradigma konservatif yang dapat menjadikan kiprah perempuan menjadi sempit.
Baca juga: Pengetahuan Adat, Upaya Mengatasi Krisis Pangan
Perempuan dan Aktivitas Wirausaha
Aktivitas perempuan dalam konteks wirausaha saat ini menjadi topik yang cukup banyak diminati. Bahkan beberapa kajian ilmiah mulai mempopulerkan womenpreneur sebagai abstraksi bagi perempuan yang berkiprah dalam dunia wirausaha. Kondisi itu dipicu oleh pesatnya peningkatan jumlah usaha milik perempuan dan kontribusinya terhadap penciptaan lapangan kerja. Fakta itu menunjukkan bahwa kontribusi perempuan dalam sektor ekonomi melalui aktivitas wirausaha dapat menjadi katalisator pemberdayaan perempuan dalam bisnis yang berimplikasi pada pembangunan ekonomi dalam skala mikro ataupun makro.
Kendati demikian, sejauh ini kontribusi wirausaha perempuan dalam sektor ekonomi tampaknya masih menjadi kemewahan yang hanya dapat dirasakan oleh negara-negara maju. Sebaliknya, di negara berkembang, kontribusi signifikan wirausaha perempuan dalam sektor ekonomi masih menjadi hal utopis. Argumentasi tersebut didasarkan pada berbagai riset ilmiah yang menunjukkan bahwa di beberapa negara berkembang, perempuan kerap kali dihadapkan pada berbagai hambatan ketika akan atau setelah terjun ke dalam aktivitas wirausaha.
Hambatan yang dialami wirausaha perempuan di negara berkembang cukup beragam. Beberapa di antaranya adalah hambatan dari aspek sosiokultural, stereotip gender, jaringan sosial dan bahkan kebijakan publik yang dianggap kurang mendukung dalam pengembangan wirausaha perempuan. Secara spesifik, di Indonesia sendiri selain wirausaha perempuan terhambat oleh aspek sosiokultural, aspek psikologis dan motivasi juga ditemukan menjadi hambatan yang sering kali dihadapi oleh perempuan Indonesia ketika akan berwirausaha. Terkait dengan faktor psikologis dan motivasi, sebuah riset mutakhir menyebutkan bahwa perempuan kerap merasa tidak percaya diri dengan keterampilan dan kemampuan dirinya sendiri.
Di sisi lain, jika merujuk pada beberapa temuan riset mutakhir, menjadi sebuah syak wasangka bahwa hambatan dari aspek sosiokultural, stereotip gender psikologis, dan motivasi pada mulanya dipicu oleh paradigma konservatif yang selama ini kadung melekat di masyarakat.
Baca juga: Mengurai Pengetahuan dan Hak Kolektif Perempuan Adat
Kebijakan Publik yang Inklusif
Beberapa negara berkembang perlu melakukan benchmarking pada negara-negara maju dalam menyusun kebijakan yang inklusif untuk mengeliminasi hambatan yang dialami wirausaha perempuan dalam mengembangkan usahanya. Relevan dengan itu, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Irlandia telah mengembangkan sebuah pendekatan inklusif yang mencakup reformasi kebijakan, investasi dalam pendidikan dan pelatihan, penciptaan ekosistem serta sumber daya yang mendukung iklim suportif bagi aktivitas wirausaha perempuan. Upaya konkret melalui kebijakan yang inklusif semacam itu, diperlukan untuk sedikit-demi sedikit mengikis paradigma konservatif yang masih banyak dianut oleh masyarakat di negara berkembang.
Mengacu pada literatur mutakhir mengenai pengembangan kewirausahaan perempuan, kami mengajukan dua pilar dalam merumuskan kebijakan inklusif yang dapat mengakomodasi pengembangan kewirausahaan perempuan. Keduanya terdiri dari pilar regulatif – normatif, dan pilar budaya – kognitif.
Jika mengacu pada pilar regulatif – normatif, harusnya pengembangan kebijakan untuk wirausaha perempuan sebagian besar dilakukan melalui proses yang terpusat untuk kemudian diartikulasikan dan dioperasionalkan melalui lembaga-lembaga formal pada hierarki dibawahnya. Misalnya di Amerika Serikat, ada National Women’s Business Council (NWBC) dengan peran sebagai lembaga regulasi dan normatif yang mendukung kewirausahaan perempuan. National Women’s Business Council (NWBC) dibentuk sebagai bagian dari Undang-Undang Kepemilikan Bisnis Perempuan tahun 1988. Perannya adalah untuk mengidentifikasi hambatan terhadap kewirausahaan perempuan dan melaporkannya setiap tahun kepada Presiden dan Kongres.
Di AS, NWBC memainkan peran penting dalam membentuk dan mengartikulasikan kebijakan kewirausahaan perempuan melalui penelitian yang dilakukan dan disponsori, serta melalui laporan tahunan mengenai kondisi wirausaha perempuan di negara tersebut. Laporan-laporan ini membuktikan pentingnya suara perempuan dalam merancang langkah-langkah regulasi dan normatif yang dapat meningkatkan akses perempuan terhadap modal keuangan untuk pengembangan usahanya.
Di sisi lain, pilar budaya – kognitif dalam konteks wirausaha perempuan dapat diimplementasikan melalui pembentukan ekosistem kewirausahaan yang mencakup pengembangan sumber daya manusia, pendidikan, jaringan, dan pendampingan. Di dalam pilar budaya – kognitif ini, ekosistem berperan penting dalam penciptaan kondisi yang suportif untuk kewirausahaan dan membangun kemampuan kewirausahaan itu sendiri. Contoh konkret, di Amerika Serikat pilar budaya – kognitif dilakukan dengan berbagai upaya dalam ekosistem untuk mengubah cara pandang dan nilai pengusaha perempuan.
Jika mengacu pada hambatan yang dialami oleh wirausaha perempuan di berbagai negara berkembang, juga mengacu pada beberapa keberhasilan pengembangan wirausaha perempuan di negara maju, maka pilar regulatif – normatif dan pilar budaya – kognitif ini menjadi penting. Pilar regulatif – normatif dapat menjadi pilar yang mengeliminasi hambatan dari aspek kebijakan yang sampai saat ini masih dianggap kurang berpihak pada wirausaha perempuan. Di sisi lain, pilar budaya – kognitif dapat menjadi pilar untuk mengikis paradigma konservatif yang membentuk kultur subordinat perempuan dalam aktivitas wirausaha di negara berkembang.
Melalui implementasi kebijakan yang didasarkan pada kedua pilar tersebut, diharapkan akan tercipta ekosistem suportif bagi perempuan yang memilih menjadi seorang wirausaha. Pada tahap lebih lanjut, ekosistem suportif tersebut juga diharapkan berimplikasi pada optimalnya kontribusi usaha yang dijalankan perempuan dalam konteks ekonomi secara makro.(Dede Kurnia*)
*) Mahasiswa Program Doktor Manajemen FPEB UPI, Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI)