Bincangperempuan.com- Dunia saat ini tengah menghadapi isu global kemanusiaan berbasis gender. Ada banyak masalah diskriminasi gender yang akhirnya bercabang menjadi masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan dan mengancam kesejahteraan manusia. Melalui kerangka kerja Sustainable Development Goals (SDGs) negara-negara di dunia diarahkan untuk menyelesaikan masalah yang menghambat proses pembangunan, salah satunya adalah masalah ketidaksetaraan gender ini.
Pada tujuan pembangunan poin 5 dalam SDGs mengenai kesetaraan gender, salah satu masalah yang ingin dituntaskan dalam target 5.5 adalah mengenai timpangnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat (PPN/Bappenas, 2021). Padahal partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan sangat penting karena akan memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik (Miranda, 2005).
Tindakan Afirmasi di Indonesia untuk Mendorong Politisi Perempuan
Indonesia sebagai salah satu negara yang berkomitmen untuk turut menyelesaikan masalah ini melakukan berbagai upaya untuk memberdayakan perempuan dan mendorong keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu wadah pengambilan keputusan dalam sistem politik Indonesia adalah Lembaga Ekskutif, Legislatif, dan Yudikatif. Untuk mendorong partisipasi perempuan terutama dalam Lembaga Legislatif yang berperan sebagai wakil rakyat, pemerintah melakukan affirmative action melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 173 ayat (2) huruf e dengan jelas mensyaratkan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota (Priandi & Roisah, 2019).
Baca juga: Wahyu Widiastuti, Pentingnya Penguatan Pendidikan Politik Perspektif Gender
Upaya mendorong perempuan dengan peraturan, advokasi dan dorongan khusus di masyarakat, nyatanya masih jauh dari harapan target pencapaian kesetaraan gender. Berdasarkan data The Global Gender Gap Report 2020 dari World Economic Forum di atas menunjukkan bahwa indeks pemberdayaan politik Indonesia masih jauh dari skor rata-rata, bahkan mendekati skor maksimum ketidakseimbangan yakni 0.00. Indonesia memiliki skor 0.172 dalam hal Political Empowerment dengan persentase perempuan dalam parlemen hanya sebesar 17,4% masih jauh dari harapan 30% dan perempuan dalam posisi kementerian hanya diisi sebanyak 23,5% saja (World Economic Forum, 2020). Jika merujuk pada laporan dari The United Nations Division for the Advancement of Women, minimnya partisipasi perempuan dalam politik ini akan berdampak terhadap kualitas keputusan yang diambil oleh pemerintah. (Kusumadewi, 2019)
Affirmative action yang memberikan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik ternyata belum mencapai hasil maksimal. Masih ada beberapa kendala yang menghalangi partisipasi perempuan dalam partisipasi politik yaitu keyakinan-keyakinan sosio-budaya, sikap, bias dan stereotip terhadap perempuan. Hambatan-hambatan ini merupakan hasil proses sosialisasi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan gender yang salah. Penghalang lainnya adalah kurangnya partisipasi dan pemberdayaan yang cukup dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan perempuan dalam proses politik dan sosial. Olojede (1990) mencatat bahwa sejak laki-laki mendominasi proses pengambilan keputusan publik, maka nilai-nilai laki-laki yang tercermin di badan pembuat keputusan (Kasomo, 2012).
Potensi Besar Perempuan dalam Politik
Padahal potensi perempuan berkiprah dalam politik dan birokrasi di Indonesia sangat besar. Hal ini ditinjau dari jumlah perempuan di Indonesia yang mencapai 49,42 % dari jumlah total penduduk Indonesia yakni sebanyak 133,54 juta jiwa (BPS, 2020). Data ini menunjukkan bahwa hampir setengah populasi masyarakat Indonesia adalah perempuan, itu artinya jika perempuan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensinya, memberikan sumbangsih pemikiran, menjadi bagian dari pergerakan produksi dan ekonomi, dan dilibatkan dalam semua proses pengambilan keputusan dari ranah terbawah, maka Indonesia akan jauh lebih mudah untuk mencapai target pembangunan.
Baca juga: Patriarki di Partai Politik, Sulitnya Perempuan Jadi Politisi
Perempuan juga memiliki potensi untuk membawa kebaikan bagi suatu negara. Sebuah survey yang dilakukan oleh National Democratic Institute (NDI) menyatakan bahwa negara-negara yang memperlakukan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memiliki keunggulan-keunggulan antara lain; standar hidup yang tinggi/lebih baik dan angka korupsi yang cenderung lebih rendah; keterlibatan perempuan dalam semua level, baik lokal, regional maupun nasional memiliki dampak positif pada kehidupan sosial ekonomi warganya, keluarga serta kelompok- kelompok yang kurang beruntung; dalam masa rekonsiliasi dan rekonstruksi pasca perang atau bencana, pelibatan perempuan mempercepat proses-proses yang dilakukan (National Democratic Institute, 2021).
Meskipun perempuan memiliki potensi dalam memimpin dan berpolitik, namun faktanya, perwakilan perempuan di parlemen sejak tahun 2009 mengalami jumlah yang naik turun. Bahkan pemenuhan kuota minimal 30% perempuan untuk pencalonan legislasi terkesan hanya untuk memenuhi syarat saja agar partai politik bisa melanjutkan pencalonannya dalam pemilu (Priandi & Roisah, 2019). Selain itu, hasil pantauan Komnas Perempuan sejak tahun 2009 hingga 2016, terdapat 421 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang dikeluarkan pemerintah daerah (Wardah, 2017). Hal ini tentunya semakin meningkatkan urgensi pentingnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan di pemerintahan.
Melihat dari potensi dan kenyataan partisipasi perempuan di Indonesia, maka kebutuhan Indonesia saat ini adalah bagaimana meningkatkan kuantitas serta kualitas partisipasi perempuan dalam politik dan birokrasi. Dengan menggunakan pendekatan Gender and Development (GAD) kita dapat melihat hubungan antara hambatan potensi, permasalahan, dan solusi yang bisa dilakukan untuk menjawab permasalahan ini. Penulis mencoba menawarkan usaha yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan potensi perempuan, meminimalisasi hambatan sosial di masyarakat, dan perlahan menyelesaikan situasi tidak ideal yang dihadapi perempuan dengan menyasar pada proses rekonstruksi sosial terhadap apa yang selama ini dipahami masyarakat terkait peran laki-laki dan perempuan.
Pendekatan Gender and Development (GAD) berusaha menjawab alasan perempuan mendapat peran kelas dua di masyarakat, dengan harapan nantinya alasan tersebut dapat menolong perempuan keluar dari ketidakadilan dan mampu mengorganisasi diri melalui perilaku politik efektif agar mereka bisa mengatasi struktur sosial, politik, dan ekonomi yang menghambat dan membatasi hidup mereka. Sehingga pada akhirnya, dapat terjadi pergeseran hubungan kekuasaan yang akan memberikan perempuan otonomi lebih besar. Pendekatan ini menitikberatkan pada pentingnya konstruksi sosial dari produksi dan reproduksi bagi peran dan tugas di masyarakat yang diserahkan pada perempuan (Riniwati, Fitriawati, & Susilo, 2017).
Sejalan dengan pendekatan tersebut, uraian dari Fuchs dan Hoecker (2004) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan partisipasi politik perempuan adalah sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, status perkawinan) dan budaya politik (nilai-nilai, norma politik dan perilaku politik, gender stereotypes). (Rahmatunnisa, 2016). Sehingga, kedua faktor ini bisa digunakan untuk menjadi solusi bahwa pentingnya budaya politik sebagai acuan untuk melaksanakan sosialisasi politik. Salah satunya dengan mempengaruhi individu-individu sehingga dapat membentuk tingkah laku politik sesuai dengan yang diinginkan melalui pendidikan politik (Bashori, 2018).
Pendidikan Politik Berbasis Gender di Keluarga
Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya sebatas melalui affirmative action saja, namun juga perlu adanya pendidikan gender. Gagasan tulisan ini bermula dari argumen bahwa pendidikan akan meningkatkan posisi tawar (bargaining power) perempuan di dalam keluarga karena mereka akan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya untuk dapat memilih kehidupan yang lebih sejahtera (Samarakoon & Parinduri, 2014). Oleh karena itu, mendorong partisipasi penuh dan aktif perempuan dalam pengambilan keputusan di semua aspek, tidak bisa hanya sebatas memberikan kesempatan, namun juga memberikan pendidikan bagi perempuan di keluarga maupun pendidikan secara umum untuk mengubah cara pandang dan pola pikir di masyarakat agar terbuka mengenai hak-hak perempuan dan nilai-nilai kesetaraan gender.
Keluarga menjadi tempat yang sangat strategis untuk meningkatkan kualitas partisipasi perempuan. Keluarga adalah tempat sosialisasi politik paling awal yang akan diterima oleh anak. Keluarga juga menjadi media yang paling lama dan intensif dalam membentuk sikap politik seorang anak yang kelak akan menjadi pemimpin politik maupun birokrasi (Quintelier, 2015). Namun demikian, justru kita menemukan dari keluargalah konsep hierarki dalam gender itu muncul. Asumsi pembagian yang sangat dasar yang sering kita jumpai adalah perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi (Kemen PPPA, 2021). Dari asumsi maka berkembang pandangan di masyarakat bahwa sektor politik adalah urusan publik maka perempuan tidak dapat berperan di sana.
Praktik Pendidikan Melalui Skema One-O-One Decision Making
Oleh karena itu, Penulis berpendapat perlu adanya usaha khusus yang fokus pada pendidikan gender dan perubahan cara pandang masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki yang dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga merupakan tempat di mana anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan budaya dan merupakan tempat strategis untuk melakukan sosialisasi nilai terhadap kesetaraan gender karena adanya sosok ayah dan ibu yang menjadi teladannya. Oleh karena itu, penulis menghadirkan gagasan berupa skema pendidikan gender yang dapat membantu mengkonstruksikan nilai kesetaraan gender dan mempersiapkan anak perempuan untuk aktif berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan melalui skema One-O-One Decision Making. Skema ini secara khusus memberikan kesempatan kepada perempuan untuk mengasah potensi berpikir kritis, komunikasi, kepemimpinan, dan penyelesaian masalah bagi anak perempuan sehingga ketika dihadapkan dengan lingkungan luar, kebiasaan dan skill partisipatif tersebut dapat ditunjukkan.
Penulis menawarkan upaya untuk mengoptimalkan peran keluarga sebagai agen utama sosialisasi nilai dan praktik nyata dari kondisi di masyarakat. Keluarga dirasa mampu menjadi tempat rekonstruksi nilai-nilai kesetaraan gender yang dilaksanakan melalui skema One- O-One Decision Making dalam upaya mendukung anak perempuan agar lebih aktif dan partisipatif dalam menghasilkan keputusan baik bagi dirinya sendiri, maupun keputusan bersama yang menyangkut orang banyak.
Skema One-O-One Decision Making adalah cara kerja yang digunakan untuk melibatkan anak perempuan dalam pengambilan keputusan di keluarga, di mana One menyimbolkan anak perempuan, O menyimbolkan ruang interaksi dan diskusi serta tempat terjadinya proses pengambilan keputusan bersama, dan One lainnya menyimbolkan orang tua, laki-laki atau anggota keluarga lainnya. Skema ini dipraktikan ketika keluarga menghadapi kondisi di mana mengharuskan mereka untuk membuat keputusan, peraturan, atau tindakan yang perlu diambil untuk merespon sesuatu. Maka, di kondisi seperti inilah kemudian mereka menjalankan konsep diskusi dengan memberikan sesi khusus pada anak perempuan untuk menyampaikan tanggapannya, penilaiannya, dan mendorong agar mereka mampu memberikan alternatif solusi. Hal tersebut dijalankan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
- Seseorang di keluarga yang memiliki topik atau permasalahan yang ingin didiskusikan menyampaikan topik tersebut kepada anggota keluarga.
- Anak perempuan didorong untuk memberikan pendapat dan aktif berdiskusi mengenai topik yang sedang dibicarakan
- Anak perempuan diajak berpikir mencari solusi dari permasalahan dan memposisikan dirinya sebagai pengambil keputusan.
- Anak perempuan diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan terbaiknya sebagai solusi permasalahan.
- Anak perempuan diberikan apresiasi terhadap keputusan dan kepercayaan dirinya.
Dengan mempraktikan skema ini dalam proses pengambilan keputusan di keluarga, anak perempuan akan berlatih sejak dini untuk percaya diri terlibat dalam pembuatan kebijakan dan keputusan di rumah dan mempermudah terjadinya perubahan persepsi gender di keluarga. (Anisa Sopiah/eL)