Bincangperempuan.com- Membicarakan bra dan payudara akan membuat banyak masyarakat merasa kewalahan. Lalu seakan otomatis mengundang reaksi malu, bahkan hingga terkikik. Padahal di masa lampau, payudara bukan tentang nilai sensual yang dinilai melewati batas moral dan tabu. Ketelanjangan juga tidak serta-merta dianggap cabul karena birahi adalah urusan kendali diri.
Perempuan Bali pada masa lalu terbiasa bertelanjang dada. Perempuan suku Bugis juga mengenakan baju bodo tanpa dalaman sehingga payudara jadi terlihat. Begitu pula dengan mereka di Papua yang tidak mengenakan atasan. Ini bukan soal vulgar, apalagi bahan olok-olok.
Saat ini, persepsi publik pada buah dada yang menonjol adalah pemali. Praktik semacam itu mudah saja dilihat dari foto dan video yang beredar di media sosial. Lekuk tubuh perempuan yang tampak akan dihujani komentar layaknya khotbah. Perempuan dipandang sebagai objek hanya boleh disimpan dan dijaga. Antara menjaga kehormatan perempuan dengan melestarikan budaya patriarki perbedaannya jadi begitu tipis.
Baca juga : Benarkah Perempuan Menjadi Pengguna Paylater Terbanyak?
Payudara dianggap sebagai pembenaran untuk menempatkan perempuan pada kelompok yang harus menutup diri. Seakan-akan ada roh jahat yang dibawa oleh mereka. Konteks aturan yang timbul dari tidak seimbangnya relasi gender ini kembali menjadi penegas perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Publik jadi merasa punya hak untuk mengatur perempuan berserta payudara dan bra yang digunakan. Sekali lagi, ini merupakan kesalahan konsepsi yang akut.
Fungsi dan Mitos Penggunaan Bra
Bra sesungguhnya memiliki fungsi tersendiri. Pakaian dalam ini melindungi payudara dan puting dari kontak langsung pada pakaian saat melakukan aktivitas. Benda ini menyangga payudara agar perempuan merasa nyaman saat melakukan ativitas. Apabila bobot payudara cukup signifikan, tetapi tidak ada penopangnya, ini akan berdampak pada postur tubuh khususnya punggung dan leher. Terlebih, seiring bertambahnya usia, struktur anotomi dan sokongan alami juga ikut menurun. Penggunaan bra juga semakin krusial ketika berolahraga karena payudara akan banyak bergerak.
Penggunaan bra kerap dikaitkan dengan kanker payudara. Namun, sesungguhnya tidak ada kaitan antara dua hal tersebut. Tidak ada bukti ilmiah ataupun kajian yang mendukung asumsi ini. Perasaan tidak nyaman ataupun sakit yang dialami perempuan kala mengenakan bra sesungguhnya disebabkan karena bahan dan ukuran yang kurang sesuai.
Bra terus berevolusi hingga menjadi tanda penting dalam gerakan perempuan. Salah satunya dengan adanya hari tanpa bra yang diperingati setiap tanggal 13 Oktober. Ini merupakan bentuk kepedulian sesama perempuan kepada penyintas kanker. Selain itu, turut meningkatkan kesadaran perempuan dalam melakukan deteksi kanker dini secara berkala.
Menggunakan Bra Secara Tepat
Perempuan mesti menyesuaikan ukuran bra dengan bentuk dan ukuran payudara. Dengan demikian, bra dapat menopang payudara agar tetap kencang. Ukuran payudara dilihat melalui dua faktor. Pertama, lingkar dada yang diukur melalui hitungan angka genap, seperti 32, 34, dan 36. Angka ini dapat diperoleh melalui tali pengukur atau meteran yang tepat dibentangkan di bawah payudara. Apabila hasilnya genap, ditambahkan 4 inci.
Sedangkan untuk ganjil, ditambah 5 inci. Kedua, cup yang dihitung menggunakan huruf AA, A, B, C, D, dan DD. Angka ini diperoleh dari tali pengukur yang dibentangkan di atas puting payudara. Angka yang dihasilkan dihitung selisihnya dengan lingkar dada. Apabila selisihnya 0 inci maka ukuran cup adalah AA. Bila 1 inci maka memakai cup A. Untuk 2 inci B, selisih 3 inci C, dan begitu seterusnya.
Baca juga: Perempuan dan Jerat Diskriminasi Saat Mengalami Keguguran
Pemilihan model pakaian dalam ini memang cukup rumit sehingga setiap perempuan perlu mengenal payudara miliknya dengan baik. Terlebih, setiap merek memiliki ukuran yang berbeda.
Bra memang memiliki masa pemakaian yang lama. Meski begitu, perlu perawatan untuk membuatnya tetap awet sehingga tidak mudah melar dan rusak. Ada beberapa hal yang mesti dilakukan. Pertama, memisahkan bra yang tidak terpakai dan kotor. Kedua, mencucinya dengan tangan karena bahannya yang lembut dan mudah rusak jika dicuci dengan mesin cuci. Ketiga, menjemur di tempat terbuka sehingga benar-benar kering untuk mencegah tumbuhnya jamur.
Manipulasi Simbol Kecantikan
Konstruksi sosial membuat ukuran payudara menjadi begitu rumit. Masyarakat yang patriarki akan menganggap perempuan dengan payudara kecil seperti laki-laki. Sedangkan mereka yang memiliki payudara besar, dikatakan sebagai hasil pelecehan. Perempuan seakan didorong untuk melakukan operasi implant ataupun reduction.
Kecantikan perempuan memang kerap dilekatkan pada bagian tubuh yang memiliki fungsi reproduksi, seperti panggul besar dan dada yang montok. Cantik sendiri adalah produk kebudayaan yang terus mengalami perubahan. Awalnya, cantik memiliki makna yang berbeda antara satu suku dengan yang lain. Namun, pengaruh media yang besar dalam dunia modern ini menyebabkan kecantikan mulai mengalami generalisasi. Salah satunya soal payudara yang ideal.
Payudara awalnya merupakan bagian alami tubuh yang bersifat personal. Namun, mulai bergeser menjadi bagian dari tubuh sosial. Payudara adalah cerminan dari bagian tubuh yang diidam-idamkan masyarakat. Buah dada ini sudah terkait dengan urusan orang lain. Operasi soal payudara sesungguhnya menjadikan perempuan sebagai konsumen pasif. Mereka menaruh kepercayaan sepenuhnya pada klinik kecantikan meski memberi dampak ketergantungan jangka panjang.
Konstruksi semacam ini telah membuat kerugian yang besar dipihak perempuan. Oleh sebab itu, perlu adanya pengakuan bersama untuk membangun cita-cita bagi kesejahteraan perempuan. Dengan demikian, bra dan payudara tidak lagi dianggap sebagai objek yang hanya berfungsi untuk memenuhi hastrat laki-laki. (**)