Bincangperempuan.com- Salah satu peran gender yang dilekatkan pada perempuan adalah pengasuh utama bagi anak-anaknya. Ketika si anak mengalami gangguan pertumbuhan, seperti stunting, perempuan kerap dimintai pertanggungjawaban penuh. Pengalahan sepihak ini melupakan kondisi kesejahteraan ibu yang tak terjamin. Sebuah situasi yang turut menghambat pemberantasan kasus stunting.
Stunting pada anak sendiri merupakan gangguan pertumbuhan yang diakibat oleh kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Kondisi ini ditandai dengan tinggi anak-anak yang berada di bawah kurva pertumbuhan seharusnya. Menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia, prevalensi stunting Indonesia sebesar 21,6% pada tahun 2022. Angka ini masih belum memenuhi standar WHO, yakni kurang dari 20%.
Baca juga: Yulia Suparti: Dari Sampah Ingin Menyelamatkan Dunia
Penyebab stunting setidaknya bisa dikategorikan menjadi dua hal. Pertama, penyebab langsung karena rendahnya asupan gizi dan status kesehatan. Di dalamnya juga termasuk soal akses layanan kesehatan, kesehatan lingkungan, dan praktik pengasuhan. Kedua, penyebab tidak langsung. Hal ini berhubungan dengan kesenjangan pendapatan, sistem pangan, jaminan sosial, urbanisasi, globalisasi, bahkan pemberdayaan perempuan.
Beban Berlapis Perempuan
Beberapa waktu lalu, Adinda Yana mengunggah video tengah menyeduh kopi instan untuk bayinya yang berumur tujuh bulan. Ia mengaku percaya masih ada kandungan susu di minuman tersebut. Dalam video yang ramai di dunia maya itu, ia turut bercerita putranya telah diberi kental manis sejak usia setengah bulan. Pilihan ini ia diambil karena sulit menemukan susu formula dalam kemasan saset yang harganya terjangkau. Di sisi lain, ASI Adinda tidak lancar. Ia juga sempat curhat soal keadaan ekonominya yang sulit setelah ditinggal suaminya. Memenuhi asupan gizi putranya jadi beban yang begitu berat.
Praktik Adinda ini jelas jauh dari rekomendasi Kementerian Kesehatan untuk memberikan ASI eksklusif sampai usia enam bulan. Lalu diteruskan hingga usia dua tahun dengan makanan tambahan. Padahal, rekomendasi tersebut jadi penting karena berhubungan langsung pada daya tahan tubuh dan perkembangan otak anak.
Kasus Adinda jelas bukan hal baru. Hal ini mengingat beban perempuan untuk menjalankan peran reproduksi dan pengasuhan yang seringkali tidak mendapatan bantuan dari pasangannya. Seakan-akan ada penurunan maskulinitas apabila laki-laki ikut mengurus anak. Padahal pada banyak kondisi, perempuan juga masih dituntut untuk ikut bekerja.
Kelelahan yang dialami perempuan jelas berdampak pada kesehatan mereka. Pola tidur dan makan yang buruk bisa berdampak pada produksi ASI. Beban berlapis juga membuat pola pengasuhan tak maksimal.
Minimnya pemenuhan gizi perempuan juga diperparah dengan budaya patriarki yang membuat laki-laki lebih berhak mendapatkan makanan terbaik. Pemikian tersebut mewajarkan perempuan mendapat makan terakhir dengan jatah seadanya. Padahal, pemberian simulasi, kasih sayang, memberikan makanan yang cukup, lingkungan dan diri yang bersih kepada anak jelas hanya bisa dilakukan ketika perempuan dalam kondisi sehat dan sejahtera.
Stunting pada Anak, Bukan Persoalan Pengetahuan Semata
Hingga kini, harga bahan pokok masih mengalami kenaikan pada beberapa komoditas. Dilansir dari laman https://hargapangan.jogjakota.go.id/, pada Senin (4/9/2023) harga cabai rawit hijau mencapai Rp38.000/kg, harga itu naik 26.67%. Telur ayam juga naik 8% sehingga mencapai Rp27.000/kg. Sedangkan daging ayam broiler, ada pada angka Rp37.000/kg. Naik 5,7% dibanding sebelumnya.
Ibu hamil membutuhkan makanan bergizi lebih banyak dengan tambahan vitamin. Penyataan semacam ini menjadi klise karena telah menjadi pengetahuan dasar. Begitu pula dengan korelasi gizi berimbang anak usia di bawah dua tahun dengan pertumbuhannya. Meski begitu, pengetahuan tersebut tidak diikuti dengan kemampuan akses untuk memperoleh hak-hak tersebut.
Hampir segala persoalan, termasuk stunting pada anak, tergolong sistemis dan struktural. Oleh sebab itu, pendekatan di tingkat individual tidak akan banyak menyelesaikan masalah. Kebijakan yang berhenti pada pelaksanaan program sosialisasi tak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan.
Baca juga: Pulihkan Ekosistem, Perempuan Alam Lestari Hijaukan TWA Bukit Kaba
Sayangnya, solusi yang kerap dilontarkan pemerintah justru mendorong keluarga untuk menanam dan beternak sejumlah komoditas pangan demi bisa menekan pengeluaran. Entah itu sayuran ataupun memelihara ayam. Jalan keluar semacam ini tentu membutuhkan biaya dan tenaga yang lagi-lagi bisa menambah beban kerja perempuan.
Perlunya Intervensi
Harus ada solusi yang diberikan dalam mengatasi kasus stunting. Strategi yang dipilih akan memengaruhi ketercapaian misi Indonesia Emas pada tahun 2045. Pada tahun tersebut, prevalensi stunting dituntut untuk bisa turun hingga 14%.
Salah satu intervensi penting yang dilakukan jelas pada tataran keluarga. Dalam hal ini adalah pelibatan peran suami untuk melintasi batas peran gender. Kala perempuan melakukan kerja-kerja reproduksi, semestinya mereka tidak lagi dibebankan dengan kerja-kerja mencari nafkah. Kerja-kerja domestik yang dialih tugaskan juga bisa jadi sebuah pilihan.
Tidak hanya itu. Peran pemerintah dalam memberantas stunting pada anak juga begitu penting. Ini dimulai dari pendataan secara spesifik mengenai potensi stunting yang dimulai dari tingkat desa. Potensi ini terkait dengan tingkat kemiskinan keluarga. Hal ini mengingat kemiskinan Indonesia berada pada angka 9% sehingga masih ada 26 juta orang yang hidup miskin.
Posyandu juga perlu diaktifkan. Layanan ini adalah medium untuk melakukan penanganan jangka pendek, seperti intervensi gizi melalui pemberian makanan tambahan. Dalam jangka panjang, penting dilakukan perbaikan sanitasi termasuk penyediaan air bersih.
Kesejahteraan perempuan berarti memberikan kapasitas sehingga hak-hak dasar mereka bisa terpenuhi. Kolaborasi, kepedulian, dan kerja sama dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk mewujudkan hal ini. Dengan demikian, kasus stunting dapat diberantas dan masa depan generasi bangsa dapat terjaga.