Bincangperempuan.com- Genosida yang dilakukan oleh Israel telah menyebabkan kerugian besar bagi rakyat palestina. Serangan keji dan tidak manusiawi ini telah menewaskan puluhan ribu jiwa dan menyiksa masyarakat Palestina. Mirisnya, Israel seolah tidak ingin menghentikan aksinya meskipun telah dikecam oleh banyak pihak.
Selain menelan banyak korban jiwa, ibu-ibu hamil yang ada di Palestina harus merasakan sakitnya melahirkan secara caesar tanpa anastesi karena pasokan obat yang terbatas. Bahkan beberapa diantaranya harus meregang nyawa setelah melahirkan bayinya. Salah satu ibu hamil bernama Sayaslam Hussein melahirkan bayinya setelah kehilangan kematian anaknya akibat genosida Israel.
Hussein mengatakan serangan Israel membuatnya dilarikan ke rumah sakit dan harus menjalani operasi caesar darurat setelah nadi janin yang dikandungnya dinyatakan lemah. Selama proses operasi berlangsung, ia harus menahan sakitnya proses melahirkan tanpa anastesi. Selain bayi yang dilahirkan oleh Hussein, UNFPA memperkirakan bahwa terdapat 160-180 kelahiran bayi setiap harinya dengan 15% diantaranya mengalami komplikasi.
Tidak hanya melahirkan secara caesar tanpa anastesi, ibu hamil di Gaza harus melahirkan di rumah dengan bantuan bidan atau dokter melalui telepon. Seakan tidak diberikan waktu untuk beristirahat, ibu melahirkan di Gaza terpaksa dipulangkan tiga jam setelah melahirkan agar ibu hamil lainnya dan korban yang terluka memiliki ruang yang cukup untuk ditangani.
Soraida Hussein-Sabbah selaku spesialis gender dan advokasi di ActionAid UK yang berlokasi di Ramallah mengungkapkan bahwa Ibu hamil dan perempuan di Palestina merasa sangat terpukul atas kondisi Gaza saat ini. Mereka menyayangkan aksi Israel yang melumpuhkan fasilitas kesehatan sehingga mereka yang melahirkan secara caesar harus bertarung dengan rasa sakit tanpa anastesi dan penerangan. Sebelumnya, PBB melaporkan adanya ‘perlombaan melawan kematian’ yang dilakukan oleh perempuan hamil di Gaza di tengah pengeboman yang tiada henti.
Baca juga: Dampingi 23 Desa dan 9 Kecamatan, Upaya CP WCC Turunkan Angka KDRT di Bengkulu
Berdoa dan Membaca Al-Quran untuk Meredakan Sakit
Genosida Israel telah melumpuhkan seluruh wilayah Gaza. Ribuan masyarakat Palestina harus menahan rasa sakit dan operasi tanpa anastesi. Setiap harinya, tenaga kesehatan mendengar jeritan masyarakat Gaza yang berusaha untuk bertahan hidup atau kehilangan keluarganya.
Abu Emad Hassanein yang merupakan perawat di Rs Al-Shifa menggambarkan penderitaan masyarakat Gaza yang harus menahan sakitnya operasi dan jahitan untuk menutupi luka akibat serangan. Tidak banyak hal yang dilakukan oleh tenaga kesehatan selain memberikan kasa steril atau kain kepada pasien untuk digigit agar mengurangi rasa sakit. Selain mengigit kasa steril dan kain, masyarakat Gaza yang menjalani operasi memilih untuk berdoa dan membaca Al-Quran untuk mengurangi rasa sakit hingga operasi selesai dilakukan.
Kondisi ini dibenarkan oleh Mohammad Abu Selmeyah selaku Direktur Rumah Sakit Al Shifa. Ia mengatakan bahwa tenaga kesehatan terpaksa harus melakukan hal tersebut untuk menyelamatkan ribuan nyawa masyarakat Palestina. Meskipun terdengar menyakitkan, korban seperti ibu hamil di Gaza tetap menjalani persalinan dengan kekuatan dari doa dan ayat alquran yang dilantunkannya.
Baca juga: Lewat ‘Sasi’, Perempuan Papua Melindungi Laut
Trauma dan Depresi yang Tiada Akhir
Serangan yang terus dilancarkan oleh Israel telah memenjarakan masyarakat Palestina yang tidak berdaya sehingga rentan mengalami depresi. Blokade yang dilakukan oleh Israel telah mencengkram psikologis karena minimnya harapan hidup dan krisis pangan di Gaza.
Gangguan psikologis seperti stress pasca-trauma (PTSD) yang ditandai dengan gangguan tidur, gelisah, mudah terkejut, dan mimpi buruk karena trauma menjadi gangguan psikologis tertinggi di Gaza. Genosida Israel telah menghancurkan Gaza dan masyarakatnya sejak dahulu.
Trauma dan depresi yang dirasakan oleh masyarakat Palestina dari genosida Israel ini tidak hanya tentang keselamatan diri melainkan kekhawatiran akan nasib anak dan bayi yang akan dilahirkan dalam kondisi yang sangat berbahaya. Selain itu, laporan dari UN News menemukan bahwa ibu hamil di Palestina yang melarikan diri dari genosida Israel diliputi oleh kecemasan ekstrem karena terus diserang meskipun telah mencari perlindungan.
Mengutip dari wawancara yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada Laila Baker pada 7 November 2023, ibu hamil di Gaza harus melarikan diri dari pemboman, mencari fasilitas kesehatan dan pasokan air yang cukup unfuk melahirkan anak mereka. Rasa sakit yang menyiksa ribuan ibu hamil di Gaza telah meninggalkan trauma berat bagi mereka.
Beberapa ibu hamil mengatakan bahwa sebelum genosida Israel, mereka rutin mengujungi dokter spesialis kandungan untuk mengecek kondisi bayi mereka. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan lagi karena mereka kehilangan kontak tenaga kesehatan pasca serangan yang dialami. Di kondisi lain, ibu hamil yang memilih untuk mengungsi dilanda oleh kecemasan pasca menyaksikan pengungsi lainnya dihantam oleh bom dari jet milik Israel.
Kasus ini hanyalah salah satu dari ribuan kasus yang dihadapi oleh masyarakat Palestina di Gaza. Depresi dan kecemasan berlapis dirasakan oleh masyarakat Palestina selama beberapa dekade. Serangan dan perampasan yang dilakukan oleh Israel menimbulkan trauma kronis yang tiada akhir.(**)
Sumber:
- Atta Kharisma, 2023. “Curhat Ibu Hamil Korban Perang di Gaza, Kelaparan hingga Takut dengan Nasib Anak”, dalam detikhealth
- Kamran Ahmed, 2021. “Trauma and mental health in Gaza”, dalam Aljazeera
- Patricia R. Blanco, 2023. “Pregnant women in Gaza in dire straits with no food, water or anesthesia for Cesareans”, dalam El Pais
- Yasser Abu Jamei, 2021. “A New Mental Health Crisis Is Raging in Gaza”, dalam Scientific American
- UN Team, 2022. “One third of Gaza Strip population in need of psychological and social support”, dalam UN News
- UN Team, 2023. “INTERVIEW: 5,500 women in Gaza set to give birth ‘in race against death’”, dalam UN News