Bincangperempuan.com- BPers tentu masih ingat kasus pelarangan mengenakan hijab dalam perhelatan Olimpiade Prancis 2024. Nah, beberapa hari terakhir jelang HUT RI ke-79 hal serupa terjadi di Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Menurut World Population Review di Indonesia sekitar 243 juta merupakan pemeluk agama Islam.
Hal ini terjadi dalam prosesi pengukuhan pasukan pengibar bendera, Selasa (13/08/2024) terhadap 18 orang Paskibraka. Usut punya usut, Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) melakukan hal tersebut dengan berdalih atas nama toleransi.
Kepala BPIP Yudian Wahyudi dalam siaran pers Rabu (14/8) petang mengatakan BPIP tidak melakukan pemaksaan lepas jilbab. Namun, penampilan Paskibraka Putri dengan mengenakan pakaian, atribut dan sikap tampang itu adalah yang sesuai ketentuan.
Hal ini dikuatkan dengan saat pendaftaran, setiap calon Paskibraka tahun 2024 mendaftar secara sukarela, untuk mengikuti seleksi administrasi dengan menyampaikan surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai Rp10.000,- mengenai kesediaan untuk mematuhi peraturan pembentukan Paskibraka dan pelaksanaan tugas Paskibraka tahun 2024, dengan lampiran persyaratan calon Paskibraka yang mencantumkan tata pakaian dan sikap tampang Paskibraka, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Deputi Diklat Nomor 1 tahun 2024.
Belakangan setelah publik heboh, Kepala BPIP Yudian Wahyudi meminta maaf atas polemik tersebut, dan mengeluarkan kebijakan terbaru diperbolehkan memakai jilbab.
Larangn berhijab bentuk diskriminasi
Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, termasuk kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan mereka secara individual maupun bersama-sama di depan umum atau secara pribadi. Kebijakan yang melarang penggunaan jilbab dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan juga menekankan pentingnya melindungi hak-hak kelompok minoritas dan perempuan dari diskriminasi. Larangan berjilbab, yang secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan Muslim, dapat dilihat sebagai bentuk diskriminasi gender dan agama yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.
Amnesty Internasional Indonesia dalam laman media sosialnya merilis larangan penggunaan maupun pemaksaan hijab merupakan bentuk diskriminasi. Hijab adalah bagian dari hak atas kebebasan beragama yang harusnya dihormati!
Kita semua berhak atas kebebasan beragama. Hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan dijamin dalam hukum HAM internasional maupun konstitusi kita. Kita berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, beribadah dan menjalankan ajaran agama serta kepercayaan, dan mengekspresikan diri sesuai nilai-nilai yang kita yakini
Dugaan larangan pemakaian hijab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) menunjukkan, kebebasan beragama di Indonesia masih belum dihormati secara penuh. Sementara itu, pemaksaan hijab masih terjadi di berbagai institusi pendidikan di Indonesia.
Baik pelarangan maupun pemaksaan pemakaian hijab adalah pelanggaran HAM. Anggota Paskibraka, atlet Olimpiade, dan semua orang berhak memakai hijab. Memakai hijab adalah hak!
Baca juga: Perceraian dan Stigma Negatif tentang Status Janda
Fenomena sosial Islamofobia
Polemik pelarangan berhijab menjadi bagian dari Islamofobia. Yakni, fenomena sosial yang kompleks dan kontroversial, sering kali melibatkan sentimen-sentimen negatif terhadap Islam dan Muslim, terutama perempuan yang mengenakan jilbab. Istilah ini mengacu pada ketakutan, prasangka, atau diskriminasi terhadap Islam dan Muslim.
Fenomena ini memiliki akar sejarah yang panjang. Di masa lalu, konflik agama antara Islam dan agama lain, terutama Kristen, telah mewarnai sejarah. Perang Salib dan berbagai konflik lainnya telah menciptakan persepsi negatif terhadap Islam di kalangan masyarakat Barat.
Persepsi negatif terhadap Islam dan umat Muslim juga dipengaruhi era kolonialisme. Dimana kolonialisme Barat di negara-negara mayoritas Muslim meninggalkan warisan buruk berupa eksploitasi, diskriminasi, dan pandangan superioritas Barat. Teori Orientalisme yang digagas oleh Edward Said menggambarkan bagaimana Barat seringkali merepresentasikan Timur, termasuk dunia Islam, secara stereotipikal dan negatif.
Islamofobia kembali meningkat secara signifikan setelah serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat. Peristiwa tersebut menyebabkan perubahan drastis dalam persepsi publik dan kebijakan pemerintah terhadap Islam, tidak hanya di AS tetapi juga di banyak negara Barat lainnya.
Kondisi ini diperparah dengan media massa sering kali memainkan peran penting dalam membentuk opini publik, sering kali mengaitkan Islam dengan terorisme dan ekstremisme, yang pada gilirannya memicu ketakutan dan kebencian terhadap komunitas Muslim.
Baca juga: Seksisme: Diskriminasi terhadap Perempuan dan Anak Perempuan
Alasan di balik larangan berjilbab
Larangan berjilbab sering kali didasarkan pada beberapa alasan, termasuk isu keamanan, sekularisme, dan asimilasi budaya. Negara-negara yang menerapkan larangan ini biasanya berargumen bahwa jilbab dapat menjadi simbol pemisahan dari identitas nasional atau nilai-nilai sekuler. Sebagai contoh, di Prancis, larangan berjilbab di sekolah-sekolah negeri didasarkan pada prinsip “laïcité” atau sekularisme, yang menekankan pemisahan agama dari ruang publik.
Selain itu, beberapa pihak berpendapat bahwa jilbab dapat menjadi ancaman bagi keamanan nasional, terutama ketika digunakan untuk menutupi identitas seseorang. Argumen ini digunakan untuk membenarkan larangan jilbab di tempat-tempat tertentu seperti bandara, gedung pemerintahan, dan sekolah. Namun, argumen ini sering kali dikritik sebagai bentuk diskriminasi yang tidak adil, karena menyamaratakan semua perempuan Muslim yang mengenakan jilbab sebagai ancaman potensial.
Dampak larangan berhijab
Larangan mengenakan hijab memiliki dampak yang signifikan terhadap perempuan Muslim, baik secara psikologis maupun sosial. Secara psikologis, larangan ini dapat menyebabkan perasaan teralienasi dan marginalisasi, karena perempuan Muslim dipaksa untuk memilih antara identitas agama mereka dan partisipasi penuh dalam masyarakat. Hal ini dapat berdampak pada kesejahteraan mental dan emosional mereka, serta menghambat kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan publik.
Secara sosial, larangan berjilbab juga dapat memperkuat stereotip negatif terhadap Muslim dan meningkatkan ketegangan antar komunitas. Ketika pemerintah atau institusi menetapkan larangan tersebut, mereka secara tidak langsung mengirimkan pesan bahwa identitas Muslim tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai nasional. Hal ini dapat memicu reaksi keras dari komunitas Muslim, yang merasa hak-hak mereka dilanggar dan identitas mereka diserang.