Home » News » Bertanam Pinang, Cara Perempuan Serawai Menyelamatkan Desa

Bertanam Pinang, Cara Perempuan Serawai Menyelamatkan Desa

Betty Herlina

News

Bertanam Pinang, Upaya Perempuan Adat Serawai Menyelamatkan Desa (1)

Bincangperempuan.com– “Mudah-mudahan pinang ini hidup, kami berupaya menyelamatkan dusun laman (kampung halaman, red) kami, sebagai pelindung, pengaling-aling, dusun laman kami. Nah minta-minta hidup yo (ya,red),” ucap Helda, sembari tangannya bergegas merapikan tanah di sekitar lubang, persisnya di tempat ia meletakan bibit pinang muda yang ditanamnya.

Helda, adalah satu dari beberapa orang perempuan adat Serawai yang terpanggil untuk menjaga desa dari gerusan abrasi pantai yang terus terjadi beberapa tahun belakang.

Bersama perempuan yang tergabung dalam kelompok perempuan adat Serawai yang bermukim di Desa Pasar Seluma, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma Bengkulu, tanpa lelah mereka menelusuri semak belukar aling-aling mencari lokasi hutan yang masih gundul dan terbuka untuk ditanami bibit pohon pinang (Areka catechu) serta pohon jenis lainnya.

Hingga saat ini sudah lebih dari 1.000 bibit pohon berhasil ditanam. Menurut keterangan warga setempat pohon pinang sengaja dipilih karena selain bisa bertahan di kawasan pesisir dan tanah berpasir, pinang juga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Harga biji pinang kering bisa tembus Rp10 ribu per kilogram jika musim jualnya sedang bagus.

Pesisir pantai Seluma yang menjadi lokasi perempuan adat Serawai bertanam aling-aling, merupakan bagian dari cagar alam Pasar Seluma. Aling-aling, menjadi wilayah komunal masyarakat adat Serawai yang diwariskan turun temurun. Warisan ini menghasilkan praktik sosial keseharian masyarakat,  mulai dari berotan atau mencari rotan untuk bahan baku perkakas rumah tangga. Ada pula berawang atau mencari ikan di muara pantai serta beremis, yakni kegiatan mencari sejenis kerang di pesisir pantai.

Sayangnya, sejak beberapa tahun terakhir kondisi hutan aling-aling semakin mengkhawatirkan. Hempasan gelombang dan kencangnya angin pantai Barat Sumatra akibat dampak perubahan iklim membuat bibir pantai semakin menjorok ke daratan. Banyak vegetasi tanaman hutan mati, bahkan gelombang ombak yang semakin tinggi turut membuat alur muara baru yang sebelumnya adalah daratan pasir.

Yayasan Genesis Bengkulu menganalisis melalui citra satelit lansat dari rentang tahun 2000 hingga 2022 mendapati perubahan di kawasan cagar alam pasar Seluma di mana aling-aling berada di dalamnya.

“Melihat seriesnya dan kami menemukan di tahun 2022 ada perubahan yang signifikan di mana di kawasan cuma kawasan hutan yang dari empat hektare itu hanya menyisakan dua hektare.  Ada peningkatan yang terjadi pada tutupan bukan hutannya menjadi 117 hektare,” ungkap Direktur Genesis Bengkulu, Egi Ade Saputra.

Baca juga: Perempuan Petani Kopi di Desa Batu Ampar Menghadapi Perubahan Iklim

Analisis Genesis Bengkulu juga mendapati berkurangnya kawasan semak belukar di cagar alam Pasar Seluma dari 29 hektare di tahun 2000 menyisakan empat hektare saja di tahun 2022.

Berkurangnya vegetasi aling-aling turut mengerus praktik sosial masyarakat Pasar Seluma.

“..Yang masih kami lakukan saat ini adalah berawang dan beremis, yang sudah tidak ada lagi itu berotan,” ungkap Zemi Sipantri, Ketua AMAN Serawai Seluma.

Aling-aling, untuk memecah gelombang

Akademisi Kehutanan Universitas Bengkulu (Unib) Agus Susetya menjelaskan tumbuhan semak blukar dan pohon besar di hutan Pantai Pasar Seluma memiliki beragam manfaat. Vegetasi hutan pantai tersebut sesuai zona vegetasi dapat menstabilkan garis pantai, memecah gelombang air, dan  laut serta penahan terpaan angin dan badai dan melindungi tanaman dari hempasan garam laut.

Hutan pantai juga memiliki peranan penting dalam mitigasi bencana yakni sebagai bentang penahan laju tsunami di wilayah pesisir.  Provinsi Bengkulu sebagai salah satu wilayah dengan kerentanan tinggi terhadap bencana karena berada pada dua segmen yaitu potensi gempa yaitu Segmen Megathrust Enggano dan Segmen Megathrust Mentawai. Hal ini tentu akan berdampak langsung di Kabupaten Bengkulu Utara dan Mukomuko.

Secara historis Provinsi Bengkulu pada tahun 1818 dan 1833 pernah dilanda tsunami di Kota Bengkulu. Terdapat 7 kab/kota yang berpotensi gempa megathrust yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Kaur, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko.

Tercatat dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan telah terjadi gempa di Bengkulu yaitu pada Bulan Agustus dengan kekuatan magnitudo 5,2 dengan kedalaman 21 kilometer dan terletak 59 kilometer barat daya kabupaten seluma, kemudian pada bulan september dengan kekuatan magnitudo 5,6 dengan kedalaman 10 kilometer yang episentrum gempanya terletak di laut sekitar 41 kilometer tenggara Enggano.

“Karena semak itu menstabilasi tanah yang ada di situ, tanah pasir itu kan gampang- gampang berubah tapi dengan semak itu dia terikat karena semak itu kan padat, itu yang sebetulnya orang gak melihat. Wah ini semak enggak ada begita (hilang, red), abrasi,” papar Agus.

Baca juga: Misha Atika, Pelestari Padi Kuning dan Tradisi Perempuan Memanen Secara Bergotong-royong

Kekhawatiran hilangnya kawasan aling-aling menjadi titik balik masyarakat Desa Pasar Seluma untuk menjaga aling-aling tersebut. Seperti yang disampaikan salah seorang warga Pasar Seluma, Yon Nahadi.

“Aling-aling ini untuk pengaman dusun atau kampung kami itu kan seandai kalau ada badai, badai pasirlah melayang sampai ke dusun itulah yang kami takutkan. Amun nido  jago hutan aling-aling yang kami tanam ini  kami habis,” ungkap Yon Nahadi.

Terpisah, Zemi menambahkan, warga setempat tidak ingin hutan adat habis, karena itu turun keturunan dari nenek moyang yang harus tetap dijaga.

Saat ini, lanjut Zemi, masyarakat adat Pasar Seluma berkomitmen menjaga dan melindungi aling-aling yang telah diwariskan agar keberlangsungan hidup terus terjaga mereka meyakini praktik baik menjaga lingkungan yang dilakukan akan menumbuhkan kesinambungan antara alam dan kehidupan di tengah dampak perubahan iklim yang kini dihadapi

“Nah kenapa kami tinggal meneruskan tidak bisa menjaga mangka itu kami terus menjaga dan menanam ketika ada yang rusak,” pungkasnya.

*)Artikel ini diproduksi sebagai bagian dari proyek Women Media Collabs (https://jurnalisme.id/womenmediacollabs/) didukung oleh UNDP Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Implementasikan Prinsip Non-Punishment bagi Korban TPPO

Pentingnya Pendidikan bagi Perempuan Desa  

Perkawinan Anak di Indonesia Peringkat ke-4 Dunia

Perkawinan Anak di Indonesia Peringkat ke-4 Dunia

Leave a Comment