“Kekerasan (seksual,red) itu berpotensi terjadi pada siapa pun,” tutur Susi. Suaranya tegas selaras dengan terik matahari yang samar-samar menyelinap disela-sela tirai bambu pembatas pendopo, yang menjadi kantornya.
Perempuan berhijab dan selalu tampil sederhana ini, memang selalu bersemangat ketika bercerita mengenai keprihatinannya atas isu kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Ya, 20 tahun jelas bukan waktu yang singkat untuk seseorang yang mengabdikan diri sebagai pekerja sosial dalam isu-isu seperti ini.
Susi Handayani. Begitu nama lengkapnya. Biasanya dipanggil Susi, atau bucik Susi. Sejak tahun 2001, Susi memang sudah menyerahkan dirinya untuk terjun mengawal dan berkampanye soal kekerasan perempuan dan anak di Bengkulu. Mengawali karirnya di Women Crisis Center (WCC). Meski tertatih-tatih. Namun buah perjuangannya bersama rekan perempuannya yang lain, kini perlahan mulai menunjukkan hasil.
“Saat ini relawan PUPA hampir mencapai 40 orang, mulai dari pelajar SMP, SMA, mahasiswa, Ibu Rumah Tangga dan tenaga profesional lainnya,” kata Susi yang saat ini menjabat sebagai direktur di yayasan berlogo kupu-kupu tersebut.
PUPA adalah yayasan yang didirikannya pada tahun 2011 bersama para aktivis perempuan di Bengkulu. Lembaga yang merupakan akronim dari Pusat Pendidikan Untuk Perempuan dan Anak ini, kata Susi, sengaja mereka bangun sebagai jawaban atas keprihatinan mereka pada banyaknya masalah yang menimpa para perempuan dan anak di Bengkulu.
Atas dasar itulah, lembaga ini kemudian menjadi wadah penguatan, pendampingan sekaligus juga menghimpun perjuangan para perempuan dan anak yang mengalami ketimpangan dalam akses perlindungan hukum, kemiskinan, ketiadaan akses pendidikan, layanan kesehatan yang terjangkau, serta kebutuhan akan informasi dan layanan kesehatan reproduksi.
Termasuk pula, bagi mereka yang mengalami sistem Pendidikan yang tidak ramah anak dan remaja yang menyebabkan frustasi dan ketakutan, kekerasan di sekolah, pornografi dan perilaku seksual yang bebas dan berdampak pada Kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) dan aborsi yang tidak aman.
Rendahnya Kesadaran Edukasi Seksual
Provinsi Bengkulu sepanjang tahun 2020 diketahui menempati urutan ke-4 angka kekerasan seksual tertinggi di Pulau Sumatera. Ada 25 kasus, berdasarkan catatan Women Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan dan Yayasan PUPA Bengkulu, dengan pelaku didominasi orang terdekat.
Sayangnya, menurut Susi, di balik catatan menakutkan itu tak serta merta membuat isu itu jadi arus utama di tataran pembuat kebijakan dan publik di Bengkulu. “Ini menjadi tantangan untuk menyadarkan semua pihak,” kata Susi.
Pasalnya, masyarakat dan pemangku kebijakan masih melihat isu tersebut sebatas pada angka. Ketika angka menunjukan jumlah kasus tinggi, maka isu tersebut dianggap penting. Sebaliknya, ketika angka kasus tersebut rendah, maka isu tersebut menjadi tidak penting. Padahal Bengkulu sempat dikejutkan dengan mencuatnya kasus Yuyun, pelajar SMP yang meninggal ditangan 14 remaja laki-laki, akibat diperkosa.
Namun lagi-lagi masyarakat sepertinya lupa. “Bahwa ketika hal itu (kekerasan seksual,red) tidak terjadi pada keluarga sendiri maka bukan sebuah masalah besar,” imbuhnya.
Angka kekerasan seksual didukung banyak faktor, kata Susi. Mulai dari personal, keluarga, masyarakat dan Negara. Semua elemen idealnya berperan aktif jika ingin menurun angka kekerasan.
Edukasi dini selaras jenjang umur menjadi solusi. Menyasar anak perempuan dan laki-laki. Mulai dari kesehatan reproduksi, berani untuk mengatakan tidak, mengidentifikasi situasi yang tidak menguntungkan serta rentan kekerasan. Termasuk berlatih mencari pertolongan, dan bagaimana relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan.
“Semua hal itu harus dilakukan sejak dini. Sejak kecil anak-anak sudah harus tahu bagian mana dari tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain,” lanjutnya.
Bagaimana dengan keluarga ? “Penting bagi keluarga untuk merespon setiap tindakan atau perilaku anak yang mungkin mengalami kekerasan. Serta sebaliknya menjadi pelaku kekerasan. Orang tua harus mengedukasi lebih awal. Sehingga anak-anak jadi tahu mana yang salah dan benar,” katanya.
Setiap kasus yang diadvokasi memiliki perlakuan yang berbeda. Namun ada satu kasus yang masih membekas diingatan Susi hingga saat ini. Yakni ketika menangani kasus inces (hubungan sedarah,red). Seorang anak perempuan, menjadi korban kekerasan bapak kandung sekaligus dua saudara laki-laki. Hingga saat ini kasus tersebut tak kunjung tuntas. Tiga terduga pelaku buron. Entah kenapa, ibu korban yang notabenenya istri dari pelaku, dan ibu dari dua pelaku lainnya tak kunjung buka suara. Ia enggan mengatakan dimana keberadaan tiga terduga pelaku. Kasus tersebut “menggantung” di kepolisian meskipun sudah dilakukan advokasi dengan segala macam cara.
Meski tak ada kejelasan hukum, namun Susi dan PUPA berusaha memberikan akhir yang “baik” untuk korban. Satu panti bersedia menampung korban. Memberikan tempat tinggal yang aman dan nyaman. Korban pun bisa bersekolah, kembali menata masa depannya yang sudah “hancur” akibat keluarga sendiri.
“Informasi yang kami dapat, korban sekarang sudah selesai sekolahnya dan bekerja,” kata Susi.
Baca juga : Dr. Titiek Kartika Hendrastiti, Membangun Ilmu Pengetahuan dari Sudut Pandang Perempuan
Tak hanya itu, Susi juga turut mengupayakan “rembuk kampung”. Ini dilakukan agar keluarga korban yang ada tidak diusir, karena sudah dianggap mencoreng nama baik desa.
“Ini menurut saya sangat luar biasa. Tidak mudah melakukan penanganan pada korban kekerasan yang dilakukan pihak keluarga, karena tidak ada daya dukung dan keluarga tidak mendukung korban. Sehingga harus diupayakan banyak pihak terlibat,” pungkasnya. (betty herlina)
*) Produksi tulisan ini didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik.