Home » Opini » Adakah Harapan untuk Keadilan Hak Ekologis Anak Akibat Krisis Iklim?

Adakah Harapan untuk Keadilan Hak Ekologis Anak Akibat Krisis Iklim?

Efrial Ruliandi Silalahi

Opini

Bincangperempuan.com- Menurut laporan UNICEF Tahun 2021, setidaknya ada 1 miliar anak diklasifikasikan berisiko sangat tinggi terhadap paparan perubahan iklim dan bahaya lingkungan. Ini berarti anak-anak merupakan populasi yang paling rentan terhadap bahaya lingkungan.

Sampah merupakan salah satu faktor penyebab perubahan iklim. Menurut World Resources Institute (WRI), 8% dari total emisi global disumbangkan dari sampah makanan yang tidak terkelola dengan baik. Potensi gas metana dari sampah organik ini, 72 kali lebih kuat dari CO2. Selain itu, jejak karbon dari siklus hidup plastik menjadi salah satu penyumbang terbesar sebesar 1,781 million metric ton CO2.

Berdasarkan survei Nexus3 Foundation terhadap hak ekologis anak, ditemukan bahwa 66% merasa hak mereka atas hidup di lingkungan yang bersih dan sehat belum terpenuhi. Sumber Bank Dunia dan Kemenkeu bahwa 132 juta orang dapat jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2030, dimana 44 juta orang akan mengalami dampak kesehatan sebagai akibat dari perubahan iklim.

Bila dianalisis, akan ada 250 juta anak berisiko tidak terpenuhinya potensi perkembangannya. Guncangan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan air, udara, dan tanah memperburuk prospek gizi jutaan anak dan remaja, terutama di kangan masyarakat miskin.

Banyak inisiatif yang telah dibuat untuk mendukung pengakuan hak atas lingkungan yang sehat seperti My Planet My Rights Petition, Global Call for the UN to Recognize the Right to a Healthy Environment, United Nations Joint Statement on the right to a healthy environment, Business Statement, dan Core Group Joint Statement on Right to a Healthy Environment. Selain itu, pada 28 Juli 2022 lalu, PBB sudah megadopsi resolusi yang mengakui hak atas lingkungan yang sehat.

Pentingnya agar pemerintah perlu mengimplementasikan komitmennya untuk mengatasi masalah lingkungan. Banyak masalah yang menjadi tugas bersama yakni masalah polusi, akses air bersih, pengelolaan limbah dan sampah, serta memastikan masyarakat hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat. Maka menjadi penting membuat kebijakan publik yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat sangat menunjang untuk anak-anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Baca juga: Penghancuran Hingga Perampasan Ruang Hidup

Tingginya Angka Perkawinan Anak

Anak perempuan semakin rentan dikawinkan bila negara abai terhadap perubahan iklim. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa saya uraikan dalam tulisan ini diantaranya; perubahan iklim yang memicu bencana ekstrem membuat kawin anak semakin marak terjadi.

Berdasarkan penelitian The Ohio State University Tahun 2023, jumlah kawin anak terus meningkat hingga 40% di seluruh dunia, salah satu faktornya karena perubahan iklim yang mempengaruhi bencana ekstrem. Belum lagi mereka yang bergantung pada alam sebagai sumber ekonomi untuk mendapatkan mata pencahariannya.

Selain itu, perubahan iklim membuat sumber ekonomi menjadi serba sulit, akhirnya anak perempuan akan menjadi korban.

Perubahan iklim dan bencana ekstrem dapat membuat sumber ekonomi keluarga terputus, sehingga berdampak pada kemiskinan, yang akhirnya terjadi perkawinan anak untuk mengatasi pendapatan keluarga yang semakin berkurang.

Pada akhirnya anak perempuan  menjadi tanggung jawab suaminya, sehingga terkesan berkurangnya beban keluarga yang terdampak itu.

Peristiwa ini pernah terjadi di Palu, Sulawesi Tengah saat bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi pada September 2018 lalu. Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan (LIBU), menerima laporan 51 kasus perkawinan anak di beberapa tempat pengungsian pada periode Oktober 2018 – Oktober 2019.

LIBU memaparkan alasan perkawinan anak didominasi karena faktor ekonomi, orang tua dalam situasi yang serba terhimpit ekonomi, sehingga terpaksa mengawinkan anak perempuannya agar salah satu bebannya lepas dari tanggung jawab keluarga.

Di daerah lain misalnya, perubahan iklim juga memicu fenomena perkawinan anak di pesisir Utara Jakarta. Disana, keluarga yang didominasi oleh nelayan penghasilannya menjadi berkurang akibat iklim yang tidak menentu. Dampaknya terjadi himpitan ekonomi, selain itu kesempatan bekerja bagi perempuan juga rendah. Perkawinan anak menjadi strategi kelangsungan hidup dan ekonomi  dan ekonomi bagi keluarga miskin.

Sebenarnya Indonesia telah mempunyai beberapa peraturan terkait hal ini, seperti; Ratifikasi Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim tahun 1994, adanya Kaukus Hijau di DPR RI untuk memperkuat peran legislatif dalam mendorong kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan pembangunan yang ramah lingkungan tahun 2009, telah menetapkan UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change.

Baca juga: Pengetahuan Perempuan Adat, Upaya Mengatasi Krisis Pangan

Pada Maret 2024, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meluncurkan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN GPI).

Berbagai peraturan telah dikeluarkan akan percuma bila kenyataannya pemerintah masih belum berkomitmen penuh dalam menjaga kelestarian alam dan mengatasi perubahan iklim.

Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyatakan kebijakan dan aksi-aksi iklim yang dijalankan bukan hanya tidak menyelesaikan akar masalah dari krisis iklim, malah justru semakin mengancam keselamatan rakyat, merusak lingkungan, dan melanggar hak asasi manusia (Bandung Bergerak, 2024).

Pada akhir tulisan ini, saya menuliskan isi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 untuk direfleksikan bersama. “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Bukan Tanggung Jawab Kita Mengubah Pasangan Menjadi Lebih Baik

Bukan Tanggung Jawab Kita Mengubah Pasangan Menjadi Lebih Baik

Rendahnya partisipasi politik perempuan

Rendahnya Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, Solusi Datang dari Keluarga

Bersikap Malas, Untuk Hal yang Tidak Penting

Leave a Comment