Home » News » Stop Normalisasi Kemiskinan! Tren Rp5 Ribu di Tangan Istri yang Tepat

Stop Normalisasi Kemiskinan! Tren Rp5 Ribu di Tangan Istri yang Tepat

Ais Fahira

News

Stop Normalisasi Kemiskinan! Tren Rp5 Ribu di Tangan Istri yang Tepat

Bincangperempuan.com- Masih ingat dengan konten viral ‘Rp 5 Ribu di Tangan Istri yang Tepat?’ konten ini menampilkan seorang istri yang berhasil menyulap uang belanja yang sangat minim menjadi masakan untuk keluarga. Konten tersebut sempat viral pada akhir tahun 2023 yang lalu.

Walau sempat mendapat sanjungan dari banyak netizen atas kepiawaiannya, ada pula kritik tajam yang mempertanyakan budget yang tidak masuk akal.

Di satu sisi, video seperti ini menggambarkan kemampuan perempuan dalam mengelola keuangan keluarga dengan sangat cermat. Namun di sisi lain, konten semacam ini juga memperlihatkan bagaimana kemiskinan yang nyata justru dinormalisasi dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan menginspirasi. Kita perlu bertanya lebih dalam, kenapa perempuan selalu dituntut untuk ‘kreatif’ bertahan hidup, sementara sistem yang menyebabkan keterbatasan ekonomi seperti ini jarang mendapat sorotan?

Baca juga: #MarriageIsScary: Perempuan Mengungkap Kecemasan di Balik Pernikahan

Menelisik Konten ‘Di Tangan Istri yang Tepat’

Akun Tik Tok dengan username @ashso07 atau AyNyt lah yang pertama kali meramaikan tren ini. Ia konsisten mengunggah video dengan tagline ‘budget minim di tangan istri yang tepat’. Dengan budget yang begitu minim, misalnya sepuluh ribu rupiah bahkan ada yang sampai seribu rupiah saja.

Dalam salah satu konten miliknya, AyNyt menampilkan uang seribu rupiah di tangan istri yang tepat. Dengan nominal tersebut, ia berhasil memperoleh jagung satu bonggol dan seikat sayur bayam yang masing-masing harganya Rp 500,-. Menurut netizen harga kedua bahan tersebut sangat tidak masuk akal.

Kejanggalan dari konten kreator tersebut semakin terlihat jelas. Sang konten kreator menjelaskan bahwa ia membeli dengan harga asli di salah satu pasar Surabaya. Setelah banyaknya video mengenai konten sepuluh ribu di tangan istri yang tepat. Ada seorang kreator Tik Tok lainnya yang melakukan stitch video. Melalui akun Tik Tok kreator lain tersebut, ditemukan fakta bahwa ternyata sang konten kreator membeli sayur sisa di pasar tradisional. Sayur sisa ini harganya sangat murah dan belum tentu layak dari sisi kesehatan mau pun kelayakan, ini sangat miris.

Ekspektasi Istri Idaman: Beban Ganda di Rumah Tangga

Konten viral tersebut selain mendapat komentar dengan nada heran atau takjub dengan nominal budget yang dipakai kreator. Ada juga netizen yang mempermasalahkan kreator dan menghakiminya sebagai istri yang ‘pelit’ karena dinilai terlalu hemat dalam berbelanja. 

Komentar tersebut sangat relavan dengan kehidupan sehari-hari. Karena dalam banyak rumah tangga, perempuan sering kali diposisikan sebagai ‘manajer keuangan’ yang dituntut untuk membuat keajaiban dengan sumber daya yang sangat terbatas. Mulai dari mencari bahan makanan murah hingga memastikan kebutuhan seluruh keluarga terpenuhi, perempuan sering dihadapkan pada tekanan untuk memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas dirinya sendiri.

Beban ini semakin berat bagi perempuan yang juga bekerja. Mereka menjalani peran ganda sebagai pencari nafkah, pengelola keuangan rumah tangga, dan juga mengerjakan kerja domestik. Sementara itu, pasangan mereka (suami) tidak diberi ekspektasi yang sama oleh konstruksi sosial untuk berbagi tanggung jawab yang setara.

Narasi seperti dalam konten Rp 10 ribu atau Rp 5 ribu di tangan istri yang tepat ini justru memperkuat ekspektasi gender yang tidak setara. Alih-alih mendorong pembagian tanggung jawab yang lebih adil atau mempermasalahkan keterbatasan pendapatan, perempuan malah diminta untuk terus kreatif mencari solusi atas permasalahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, baik dalam rumah tangga maupun di tingkat negara.

Baca juga: Perempuan Indonesia Masih Diharuskan Meninggalkan Pekerjaan yang Berbayar untuk Memenuhi Kebutuhan Perawatan

Kemiskinan dalam Tren Media Sosial

Media sosial sering kali menampilkan kemiskinan dalam bentuk yang terlihat positif atau ‘inspiratif’. Konten-konten yang menggambarkan orang bertahan hidup dengan uang yang sangat minim sering dipuji sebagai contoh kesederhanaan, kerja keras, atau kepandaian mengatur keuangan.

Tren seperti ‘Rp 10 ribu di tangan istri yang tepat’ adalah salah satu contoh bagaimana media sosial sering kali meromantisasi kemiskinan. Kisah perjuangan bertahan hidup dengan uang pas-pasan mungkin terlihat inspiratif, tetapi sebenarnya menormalkan ketimpangan. Fenomena ini mengaburkan masalah struktural seperti ketidakadilan ekonomi, upah minimum yang terlalu rendah, dan kurangnya akses terhadap bantuan sosial.

Menurut data Goodstats sebagian besar masyarakat di Indonesia menggunakan lebih dari 50% penghasilannya hanya untuk kebutuhan pokok, seperti makanan dan kebutuhan rumah tangga. Dalam masyarakat kelas menengah ke bawah seperti ini, romantisasi pengelolaan uang kecil hanya menjadi tameng bagi pemerintah dan masyarakat untuk tidak mengakui kegagalan dalam memberikan akses ekonomi yang layak bagi semua warganya.

Kenaikan PPN dan Beban Ganda Perempuan

Fenomena seperti ini menjadi semakin relevan ketika dikaitkan dengan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kenaikan PPN ini berarti harga barang dan jasa akan semakin mahal. Meskipun sembako (sembilan bahan pokok) seperti beras, gula, dan minyak goreng tidak dikenakan PPN, kenaikan PPN sebesar 1% dari 11% menjadi 12% tetap memberikan dampak besar bagi banyak orang, terutama perempuan yang bertugas mengelola keuangan rumah tangga.

Siapa yang paling terdampak? Perempuan, khususnya ibu rumah tangga, yang bertugas mengelola anggaran keluarga. Dengan kenaikan harga, mereka dipaksa mencari cara untuk menekan pengeluaran, sering kali dengan mengorbankan kebutuhan pribadi, seperti kesehatan atau pendidikan. Beban ini diperparah dengan ekspektasi bahwa perempuan harus selalu bisa mencari solusi, sementara akar permasalahannya adalah ketimpangan pendapatan, sistem pajak yang belum adil, dan kurangnya subsidi untuk kebutuhan dasar.

Pada akhirnya, meskipun konten ‘budget minim di tangan istri yang tepat’ dapat terlihat menghibur atau memberikan kesan optimisme, penting untuk melihatnya dalam konteks yang lebih luas. Kita tidak bisa terus menerus mengandalkan kreativitas individu dalam menghadapi ketidakadilan ekonomi. Solusi yang lebih menyeluruh, seperti kebijakan fiskal yang adil, perlu diprioritaskan untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih merata, bukan hanya mengandalkan kreativitas individu yang dibebani dengan ekspektasi yang tidak realistis.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Pastikan Proses Hukum Berjalan pada Kasus Kekerasan Seksual oleh Pejabat Publik

Queen bee syndrom

Queen Bee Syndrome: Fenomena Sosial di Tengah Dominasi Maskulinitas

Pernyataan Sikap : Menteri Sosial Tri Rismaharini Telah Lakukan Audisme dan Harus Minta Maaf Pada Masyarakat Tuli di Indonesia

Leave a Comment