Home » News » Mengapa Pendidikan Seks Inklusif Itu Penting?

Mengapa Pendidikan Seks Inklusif Itu Penting?

Ais Fahira

News

Mengapa Pendidikan Seks Inklusif Itu Penting

Bincangperempuan.com- Pendidikan seks idealnya adalah ruang aman untuk belajar tentang tubuh, dan hak mereka. Namun, pada kenyataannya pendidikan seks masih luput dalam memenuhi kebutuhan kelompok tertentu, terutama kelompok disabilitas. Ketika akses dan relevansi tidak terpenuhi, akan ada kelompok yang mereka kehilangan kesempatan untuk memahami tubuh mereka sendiri dan membangun keterampilan komunikasi yang penting di masa depan. Oleh karena itu pendidikan seks harus inklusif, yang memperhatikan kebutuhan kelompok rentan terutama disabilitas.

Pendidikan seks yang belum inklusif dapat menimbulkan terhambatnya proses edukasi. Seperti yang dialami aktivis perempuan penyandang disabilitas, Lucy Webster menuliskan pengalamannya saat menjadi siswi di London Utara. Lucy menghadiri kelas pendidikan seks akan tetapi dirinya tidak memperoleh fasilitas yang menyesuaikan kebutuhannya sebagai seorang penyandang disabilitas, di mana dirinya tak dapat memegang pensil dan kertas. Selama kelas berlangsung Lucy hanya duduk diam, kehilangan kesempatan untuk bertanya atau memahami tubuhnya.

Pengalaman ini, mungkin tampak sepele, pendidikan seks masih belum ramah penyandang disabilitas. Sehingga menghalangi mereka mendapatkan pengetahuan dasar dan kemampuan untuk memahami tubuh serta hak mereka. Lucy menyebut ini sebagai awal dari ketidakberdayaan seksual yang banyak dialami perempuan disabilitas di masa dewasa.

Akibatnya proses transfer pengetahuan bisa terhambat. Ini menimbulkan masalah saat mereka dewasa. Lucy mengungkapkan bahwa kelompok disabilitas dewasa mengalami masalah dalam berbagai hal seperti rasa tidak percaya diri, kesulitan mengidentifikasi orientasi diri, sampai kegagapan untuk menolak ajakan hubungan seksual.

Kenapa Indonesia Membutuhkan Pendidikan Seks Inklusif?

Dari pengalaman yang ditulis oleh Lucy Webster, menunjukkan bahwa di Barat pendidikan seks juga memiliki tantangan. Indonesia sendiri juga memperlihatkan kondisi yang serupa, bahkan lebih kompleks. Pendidikan seks di Indonesia masih dianggap tabu, sehingga implementasinya terbatas, baik di sekolah maupun komunitas. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa kelompok disabilitas memiliki risiko lebih tinggi menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang hak atas tubuh mereka dan bagaimana melindungi diri dari kekerasan.

Bahkan menurut Catatan Tahunan (CATAHU) 2023, terdapat 105 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan penyandang disabilitas yang dilaporkan sepanjang tahun 2023. Namun, jumlah ini diyakini hanya sebagian kecil dari realitas di lapangan, mengingat masih banyak kasus yang tidak dilaporkan akibat stigma, ketakutan, atau kurangnya akses pelaporan.

Tidak hanya di Indonesia, risiko serupa juga ditemukan di negara lain. Sebuah tinjauan akademis tahun 2020 mengungkapkan bahwa kurangnya pendidikan seks yang inklusif berkontribusi pada tingginya angka kehamilan tidak diinginkan, infeksi menular seksual, dan pelecehan seksual di kalangan perempuan penyandang disabilitas. Mereka sering kali tidak memiliki pengetahuan dasar tentang tubuh, hak atas tubuh, dan konsep konsensual. Hal ini membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan, baik di lingkungan pribadi maupun institusi seperti tempat perawatan.

Pendidikan seks inklusif menjadi solusi mendesak untuk mengatasi masalah ini. Dengan kurikulum yang menyesuaikan kebutuhan kelompok rentan, terutama penyandang disabilitas, mereka dapat memahami tubuh mereka, mengenali tanda-tanda bahaya, dan berani mengatakan “tidak.” Selain itu, pendidikan ini memberikan ruang untuk membicarakan konsensual, otoritas tubuh, dan hubungan sehat dan hal lainnya yang sering terabaikan dalam pendidikan seks tradisional.

Baca juga: Edukasi Seks pada Anak, Ini yang Harus Diketahui 

Aspek Lain yang Perlu Ditekankan dalam Pendidikan Seksual

Pendidikan seks tidak seharusnya hanya berfokus pada fungsi organ reproduksi semata. Pendekatan yang lebih holistik diperlukan untuk memastikan setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, mendapatkan manfaat yang maksimal. Beberapa aspek yang perlu ditekankan adalah:

  1. Konsensual dan Hak atas Tubuh
    Remaja perlu diajarkan bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Konsep persetujuan (consent) harus menjadi bagian utama dari pendidikan seks, sehingga mereka memahami pentingnya menghormati diri sendiri dan orang lain.
  2. Keberanian untuk Mengatakan “Tidak”
    Pendidikan seks inklusif harus membekali remaja dengan keterampilan komunikasi untuk menolak situasi yang tidak nyaman atau berbahaya.
  3. Hubungan Sehat dan Kesetaraan
    Fokus pendidikan seks tidak hanya pada pencegahan kehamilan atau infeksi menular seksual, tetapi juga pada membangun hubungan yang sehat, setara, dan saling menghormati.
  4. Aksesibilitas Materi dan Fasilitas
    Untuk penyandang disabilitas, penting bahwa materi pendidikan seks disampaikan dengan cara yang inklusif, seperti menggunakan media visual, bahasa isyarat, atau teknologi adaptif.

Pendidikan seks yang baik dapat membantu menurunkan tingkat pelecehan seksual di Indonesia. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak dan remaja terus meningkat setiap tahun. Pendidikan seks yang inklusif akan memberikan pemahaman mendalam tentang konsensual dan hak tubuh, sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Baca juga: Vaginismus, Rasa Sakit Ketika Berhubungan Seksual

Pendidikan seks inklusif itu sebenarnya bukan hanya pelajaran di kelas, tapi soal bagaimana orang bisa memahami tubuh mereka sendiri, mengenali bahaya, dan tahu kapan harus bilang “tidak.” Sayangnya, hal ini masih sering dianggap tabu di Indonesia. Pemerintah punya peran besar di sini, mereka perlu memastikan kurikulum di sekolah-sekolah tidak hanya fokus ke pelajaran biologi, tapi juga hal-hal seperti konsensual, otoritas tubuh, dan hubungan yang sehat. Selain itu, guru-guru juga perlu dilatih supaya bisa menyampaikan materi ini dengan cara yang ramah dan sesuai kebutuhan semua murid, termasuk penyandang disabilitas.

Di sisi lain, komunitas atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga punya peran penting banget. Mereka bisa jadi penggerak di komunitas, terutama buat orang-orang yang mungkin nggak bisa langsung terjangkau kebijakan pemerintah. Misalnya, mereka bisa bikin workshop atau pelatihan soal pendidikan seks yang lebih inklusif, bahkan sampai ke daerah-daerah. Kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan komunitas ini sebenarnya sangat dibutuhkan. Jika semua pihak bekerja sama, tidak hanya penyandang disabilitas yang akan lebih terlindungi, tapi kita semua juga dapat belajar lebih banyak soal menghormati diri sendiri dan orang lain.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Suara.com dan Core Indonesia Siap Gelar Youth Economic Summit 2024

Menguatkan Perempuan Mencapai Indonesia Emas 2045

Menguatkan Perempuan Mencapai Indonesia Emas 2045

Stigma Sosial terhadap Anak Fatherless

Stigma Sosial terhadap Anak Fatherless

Leave a Comment