Home » News » Ketika Semua Orang Jadi “Spesialis” Pakaian Perempuan

Ketika Semua Orang Jadi “Spesialis” Pakaian Perempuan

Ais Fahira

News

Ketika semua orang jadi spesialis pakaian perempuan

Bincangperempuan.com- Beberapa daerah di Indonesia kerap mengeluarkan aturan berpakaian yang sering menargetkan perempuan. Salah satu contohnya adalah kebijakan berupan anjuran wajib hijab bagi siswa muslim Kota di Padang, Sumatera Barat, yang diterapkan pada tahun 2005. Meski hanya berupa anjuran, dampaknya bisa dipelintir sebagai landasan banyak sekolah untuk mewajibkan siswi mereka wajib hijab. 

Seperti yang terjadi pada tahun 2021, ketika seorang siswi Kristen bernama Jeni diminta mengenakan jilbab di SMKN 2 Padang. Setelah video yang merekam paksaan tersebut tersebar luas di media sosial, kebijakan ini menuai kritik nasional. Ayah Jeni, yang merekam video percakapan dengan wakil kepala sekolah, mempertanyakan apakah aturan tersebut bersifat imbauan atau kewajiban. Dalam video itu, wakil kepala sekolah menyatakan bahwa mengenakan jilbab adalah kewajiban di sekolah tersebut karena tertuang dalam peraturan sekolah.

Video tersebut memicu perhatian publik setelah diunggah di Facebook. Dalam surat yang dikirimkan pihak sekolah kepada ayah Jeni, tertulis bahwa putrinya harus mengikuti aturan berpakaian, termasuk mengenakan jilbab. Meskipun akhirnya tekanan terhadap siswi non-Muslim dihentikan, masih banyak sekolah yang menekan pelajar perempuan Muslim untuk mematuhi aturan tersebut. Kasus ini memunculkan diskusi nasional tentang hak individu dalam memilih pakaian serta perlunya aturan yang menghormati keberagaman agama.

Norma Mayoritas yang Mendikte Minoritas

Aturan berpakaian juga menunjukkan pengaruh norma mayoritas di berbagai wilayah di Indonesia. Di Aceh, misalnya, kewajiban mengenakan pakaian sesuai syariat Islam diterapkan secara ketat sebagai bagian dari identitas budaya dan agama mayoritas. Namun, aturan ini sering kali berdampak pada kebebasan individu, terutama bagi mereka yang berbeda keyakinan atau nilai.

Di Bali, yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, penggunaan jilbab kadang dianggap aneh atau tidak diterima secara sosial. Sebagai contoh, pada tahun 2014, seorang siswi di SMAN 2 Denpasar mengalami tekanan karena mengenakan jilbab, sebagaimana dilaporkan oleh Gelora. Hal ini mencerminkan bagaimana norma mayoritas dapat menekan minoritas untuk menyesuaikan diri, baik secara eksplisit melalui kebijakan maupun secara implisit melalui tekanan sosial.

Dampak Kebijakan Diskriminatif terhadap Kebebasan

Menurut laporan Human Rights Watch, hingga tahun 2021, sebanyak 24 provinsi di Indonesia memiliki peraturan daerah yang mewajibkan atribut keagamaan tertentu bagi perempuan. Kebijakan ini tidak hanya membatasi kebebasan individu tetapi juga menciptakan tekanan psikologis, terutama bagi mereka yang berbeda keyakinan dengan mayoritas di suatu daerah.

Misalnya di Sragen, Jawa Tengah, seorang siswi mendapat tekanan dari gurunya karena tidak mengenakan jilbab, meskipun ia Muslim. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana aturan diskriminatif dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia di lingkungan yang seharusnya mendidik, bukan menekan. 

Pada tahun 2022, dua aktivis perempuan, Zubaidah Djohar dan Deni Rahayu, mendapat ancaman pembunuhan setelah membahas kebebasan berpakaian dan menolak kewajiban mengenakan hijab. Ancaman ini menggambarkan risiko nyata yang dihadapi oleh perempuan yang mencoba melawan norma sosial yang menekan. Akibatnya, banyak perempuan merasa tertekan mental, menghadapi dilema antara mempertahankan prinsip atau tunduk pada aturan yang tidak mereka yakini.

Bayangkan jika kamu merasa nyaman memakai celana jeans tetapi harus menghadapi aturan yang memaksamu mengenakan rok panjang. Ketika kamu berbicara soal kebebasan ini, kamu malah menerima ancaman pembunuhan! Apakah masuk akal masyarakat begitu bernafsu mengatur tubuh perempuan, hingga melupakan batas kemanusiaan? Kenapa laki-laki sering kali sibuk mengatur pakaian perempuan? Padahal perempuan bukanlah properti atau simbol moralitas yang bisa dijadikan alat kontrol sosial.

Baca juga: Bagaimana Perempuan Mengubah Industri Fast Fashion

Publik vs. Privat: Batas yang Semakin Samar

Aturan berpakaian di Indonesia menggarisbawahi ketegangan antara ranah publik dan privat. Pilihan berpakaian adalah bagian dari identitas dan ekspresi pribadi, yang seharusnya dilindungi sebagai hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 19 menyatakan bahwa setiap individu berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk dalam berpakaian. Hal ini diperkuat dengan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, serta CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yang menegaskan bahwa perempuan berhak atas kebebasan tanpa diskriminasi.

Sayangnya, masyarakat sering keliru mengartikan kebebasan berpakaian. Mereka berpikir bahwa beragama harus selalu “berseragam.” Padahal, seperti halnya beragama, berpakaian adalah hak individu, bukan kewajiban kolektif. Selama tidak melanggar hak asasi manusia orang lain, pilihan berpakaian tidak seharusnya diatur secara sepihak oleh masyarakat mau pun negara.

Ironisnya, perhatian pada isu pakaian justru mengalihkan fokus dari masalah publik yang lebih mendesak, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Bahkan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pakaian tidak melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Menurut Survei nasional tahun 2018 yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), menyimpulkan bahwa pakaian yang dikenakan perempuan tidak mempengaruhi risiko seseorang menjadi korban kekerasan seksual. 

Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak berakar pada apa yang mereka kenakan. Jadi, apakah benar pakaian perempuan adalah isu yang layak dijadikan prioritas?

Baca juga: “Centil Era”, Memberdayakan Perempuan dengan Cara Positif

Hirarki Pakaian dan Moralitas

Sebagai masyarakat, kita perlu bertanya: apakah ada hierarki moral dalam berpakaian? Mengapa perempuan sering dijadikan objek kontrol moral dan sosial? Bahkan di level kebijakan, tokoh publik seperti mantan pejabat Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pernah mengusulkan agar “aturan berpakaian berbasis syariat” diperluas di berbagai daerah. Sementara itu, anak-anak pejabat atau figur publik biasanya tidak tersentuh aturan yang sama. Hal ini menunjukkan bias yang tidak hanya diskriminatif terhadap perempuan, tetapi juga menormalisasi ketimpangan sosial.

Tidak ada hirarki moral dalam pakaian. Yang ada hanyalah standar sosial patriarki yang terus-menerus berusaha mengontrol perempuan. Bukankah lebih baik jika kita fokus pada masalah yang benar-benar mendesak, seperti memastikan keadilan sosial, menghapus kekerasan berbasis gender, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat?

Pada akhirnya berpakaian adalah kebebasan individu yang seharusnya dihormati di negara yang beragam seperti Indonesia. Alih-alih mengatur pilihan pakaian, perhatian sebaiknya diarahkan pada membangun toleransi dan memperkuat solidaritas antar agama serta budaya. Dengan cara ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang menghormati keberagaman dan melindungi hak setiap individu untuk mengekspresikan identitas mereka.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Perempuan dalam Demonstrasi Korea Selatan Melawan Politik Anti-Feminis  (1)

Perempuan dalam Demonstrasi Korea Selatan Melawan Politik Anti-Feminis 

Cahaya Perempuan Women Crisis Centre

Supporting 23 villages and 9 sub-districts, CP WCC’s efforts to reduce domestic violence rates in Bengkulu

Perkuat Bisnis Media, Bincang Perempuan Ikuti Advanced Mentoring for Media Sustainability

Leave a Comment