Bincangperempuan.com– Maryam, sebuah novel yang memotret wajah intoleransi beragama di Indonesia, menggambarkan konflik yang dialami oleh seorang perempuan dari kelompok minoritas yakni Ahmadiyah. Karya ini tidak hanya bicara tentang diskriminasi berbasis agama, tetapi juga menyoroti pergulatan batin seorang perempuan yang terjebak dalam harapan keluarga, komunitas, dan dirinya sendiri.
Maryam adalah representasi dari mereka yang kehilangan tempat di tanah airnya sendiri. Dalam novel ini, Okky Madasari menempatkan pembaca di tengah dilema antara mempertahankan keyakinan dan menerima penolakan sosial.
Sinopsis
Novel Maryam karya Okky Madasari menggambarkan lika-liku kehidupan Maryam Haryati, seorang perempuan Ahmadiyah yang sejak kecil tumbuh besar dalam komunitas yang kaya akan tradisi. Maryam awalnya merasa nyaman dan aman dalam lingkungan tempatnya dibesarkan. Komunitas Ahmadiyah menjadi bagian penting dari identitas dirinya, tempat ia menemukan makna hidup dan kebersamaan.
Namun, segalanya berubah ketika Maryam memutuskan menikah dengan lelaki di luar komunitas Ahmadiyah. Keputusan ini membawa Maryam ke dalam dilema besar. Dalam rumah tangganya, Maryam menghadapi tekanan bertubi-tubi dari keluarga suaminya yang memandang keyakinannya sebagai aib. Maryam berusaha bertahan demi mempertahankan pernikahan dan harapan akan penerimaan, tetapi situasi semakin tidak berpihak padanya. Tekanan demi tekanan, baik dari pihak keluarga maupun konflik internal dalam dirinya, membuat Maryam kehilangan arah dan merasa terasing, bahkan dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar.
Akhirnya, Maryam memutuskan untuk berpisah dari suaminya. Ia memilih pulang ke kampung halamannya, berharap dapat memulai kembali hidupnya. Namun, alih-alih menemukan kedamaian, Maryam justru kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Desanya hancur akibat diskriminasi yang dialami komunitas Ahmadiyah. Maryam dan keluarganya, bersama seluruh komunitasnya, diusir dari tanah kelahiran mereka, dipaksa hidup dalam pengungsian.
Di tengah penderitaan itu, Maryam terjebak dalam pertanyaan besar yang menghantui dirinya “bagaimana melanjutkan hidup di tengah penolakan yang tidak hanya datang dari orang luar, tetapi juga dari orang-orang yang seharusnya menjadi tempatnya berpulang? Konflik identitas, rasa kehilangan, dan perjuangan untuk tetap bertahan menjadi inti dari perjalanan Maryam.
Baca juga: It Ends With Us: Perjuangan Melawan KDRT dan Memutus Trauma
Beban Ganda Perempuan Minoritas
Maryam tidak hanya menghadapi tekanan dari luar komunitas, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri. Keputusannya untuk menikah dengan laki-laki yang bukan dari Ahmadiyah, berharap menemukan penerimaan, justru menjadi awal dari kehancuran rumah tangganya. Hal ini menggambarkan bagaimana perempuan sering kali menjadi korban dari benturan antara tradisi, agama, dan cinta.
Okky memotret bagaimana rentannya posisi perempuan minoritas. Sebagai istri, Maryam dianggap tidak cukup baik karena keyakinannya. Sebagai anggota komunitas Ahmadiyah, ia harus menerima pengusiran dan hidup di pengungsian. Di tengah situasi ini, Maryam terus bertanya “apakah ada tempat untuknya sebagai perempuan, sebagai individu, dan sebagai penganut Ahmadiyah di tanah airnya sendiri?”
Di pengungsian, beban Maryam sebagai perempuan semakin terasa berat. Banyak perempuan lain yang harus menghadapi dilema serupa seperti antara memilih bertahan di tempat yang tidak ramah atau terusir dari rumah tanpa kepastian. Bagi perempuan dengan anak-anak, bebannya menjadi berlipat ganda, karena mereka harus menjaga keselamatan keluarga sambil memikul stigma yang melekat pada identitas mereka.
Kritik terhadap Intoleransi Beragama
Sejarah mengapa Ahmadiyah dianggap sesat oleh sebagian kalangan tidak dijelaskan dalam novel Maryam. Oleh karena itu, saya mencoba merangkumnya di sini. Ahmadiyah dianggap sesat karena perbedaan mendasar dalam ajaran mereka, khususnya terkait keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah guru besar, sebagian besar ulama memandang ini bertentangan dengan keyakinan mayoritas umat Islam yang mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. Padahal Jemaat Ahmadiyah sebenarnya memiliki kesaksian (syahadat) yang sama dengan umat Islam pada umumnya. Mereka juga menjalankan rukun iman dan rukun Islam sebagaimana dilakukan oleh umat Muslim lainnya.
Novel Maryam merupakan kritik tajam terhadap intoleransi yang masih tumbuh subur di Indonesia. Lewat kisah pengusiran komunitas Ahmadiyah, Okky Madasari menggambarkan bagaimana kelompok minoritas sering dijadikan kambing hitam. Hal ini tercermin dalam perusakan desa, pelarangan ibadah, dan pengungsian yang tidak manusiawi, yang menunjukkan betapa kerasnya diskriminasi terhadap mereka.
Realitas ini masih sangat relevan hingga kini. Pada Desember 2024 lalu, terjadi pelarangan Jalsah Salanah, sebuah acara tahunan komunitas Ahmadiyah yang menjadi sarana untuk berkumpul dan beribadah. Kasus tersebut menjadi bukti nyata bahwa diskriminasi terhadap Ahmadiyah dan kelompok minoritas lainnya belum berhenti. Ini mengingatkan kita bahwa meskipun toleransi sering diagungkan di Indonesia, kebebasan beragama masih sangat terbatas, terutama bagi mereka yang dianggap berbeda.
Baca juga: Kenapa Stretch Mark di Tubuh Perempuan Dianggap “Dosa Sosial”
Relevansi dengan Kondisi Sekarang
Bagi perempuan minoritas yang direnggut haknya. Berlindung di tempat pengungsian menimbulkan beban yang lebih besar. Mereka tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup, tetapi juga harus melindungi anak-anak mereka dari trauma pengusiran. Dilema antara kembali ke desa yang penuh ancaman atau hidup dalam pengungsian tanpa kepastian menjadi momok tersendiri.
Bayangkan bagaimana seorang ibu harus menjelaskan kepada anak-anaknya mengapa mereka tidak bisa pulang ke rumah. Atau bagaimana anak-anak mereka harus melihat ayah mereka mengalami kekerasan? Atau bagaimana perempuan seperti Maryam harus menahan stigma yang datang bertubi-tubi, baik sebagai perempuan maupun sebagai anggota kelompok minoritas. Beban ini menjadi cermin dari realitas banyak perempuan di Indonesia yang hidup di bawah bayang-bayang diskriminasi.
Melalui novel ini, Okky Madasari mengajak pembaca merenungkan wajah keberagaman Indonesia yang penuh luka. Maryam, dengan segala perjalanan dan pergulatannya, adalah simbol dari mereka yang berjuang di tengah penolakan. Novel ini tidak hanya menggugah emosi, tetapi juga membuat kita bertanya kembali “sejauh mana kita telah menerima perbedaan?”