Home » News » Hijab: Antara Kesalehan, Kebebasan, atau Penindasan?

Hijab: Antara Kesalehan, Kebebasan, atau Penindasan?

Ais Fahira

News

Hijab Antara Kesalehan, Kebebasan, atau Penindasan

Bincangperempuan.com- Pernah menemukan komentar semacam ini, “Percuma berprestasi tapi tidak pakai hijab,” atau “Independen tapi masuk neraka, tidak mau menutup aurat”?

Atau sebaliknya, pada unggahan perempuan berhijab yang menunjukkan bakat mereka—misalnya menari atau berbicara di depan publik—justru muncul komentar sinis, “Cantik-cantik pakai hijab kok malah ngatain agama sendiri,” atau “Ngedance kok pakai hijab? Mau jadi apa? Udah copot aja hijabnya, nggak pantas.”

Perdebatan soal hijab tampaknya tidak pernah habis, terutama di media sosial. Hijab sering dianggap sebagai simbol kesalehan perempuan dan digunakan untuk kontrol sosial. Lantas apakah hijab adalah bagian dari kebebasan berekspresi perempuan? Ataukah justru alat penindasan? Berikut ini adalah pandangan dari Guru Besar Kajian Gender, Prof. Alimatul Qibtiyah, dan aktivis feminis Muslim, Wanda Roxanne.

Sejarah Pakaian: Antara Simbol Kehormatan dan Kelas Sosial

Menurut Prof. Alimatul Qibtiyah, sejak zaman dahulu pakaian telah dikaitkan dengan status sosial dan kehormatan. Dalam banyak budaya, cara berpakaian seseorang menjadi tanda kelas sosial mereka.

“Secara antropologi, pakaian itu bisa menjadi simbol kelas sosial. Misalnya di Jawa, kalau rakyat biasa memakai kutu baru, itu kan lebih terbuka, sedangkan Kartini yang dari kelas ningrat tidak memakai kutu baru. Dia memakai kebaya yang lebih tertutup.” ujarnya dalam Ngaji Feminis: Konsep dan Perspektif Bodily Autonomy dalam Islam yang diselenggarakan  secara online pada Minggu, 16 Maret 2025.

Ia menambahkan bahwa perbedaan pakaian berdasarkan kelas sosial juga terjadi di Timur Tengah. Dalam masyarakat jahiliah, terdapat perbedaan cara berpakaian antara perempuan budak dan perempuan merdeka.

“Dulu itu hijab biasa dipakai oleh perempuan terhormat, termasuk istri Nabi sendiri. Ini menunjukkan bahwa secara antropologis, di berbagai daerah, pakaian memang menjadi simbol kelas. Semakin tertutup, semakin tinggi status sosialnya,” jelasnya.

Baca juga: Perempuan Sungai Lemau Berjuang Melawan Krisis Iklim

Pakaian sebagai Strategi Sosial

Selain menjadi simbol kehormatan, pakaian juga dapat berfungsi sebagai strategi sosial, terutama untuk beradaptasi dan diterima dalam lingkungan tertentu.

“Misalnya, kalau seorang perempuan pergi ke masjid untuk menghadiri pengajian atau perkumpulan, tentu ia akan lebih nyaman jika memakai jilbab,” kata Prof. Alimatul.

Lebih jauh, ia menekankan bahwa dalam konteks berdakwah atau menyampaikan pendapat tentang Islam, mengenakan hijab dapat menjadi strategi agar lebih diterima oleh masyarakat Muslim konservatif.

“Kalau mau berdakwah atau berbicara tentang Islam, tentu lebih mudah jika memakai hijab. Itu cara agar pesan kita bisa lebih didengar,” tambahnya.

Lantas, Apakah Hijab adalah Lambang Penindasan?

Sebaliknya, ada pula kalangan feminis sekuler yang melihat hijab sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan.

“Itu wajar. Saya waktu ke Iran, begitu pesawat mendarat, langsung diperintahkan untuk memakai hijab. Dan ketika pesawat lepas landas meninggalkan Iran, para penumpang perempuan sudah dipersilakan melepas hijab mereka,” ujar Prof. Alimatul.

Ia menambahkan bahwa dalam konteks Iran, pemaksaan hijab memang terjadi, bahkan dengan ancaman kekerasan bagi perempuan yang melanggarnya.

“Di sana, jika perempuan ketahuan melepas hijab, bisa nyawa yang jadi taruhannya. Artinya ada pemaksaan yang terjadi,” katanya.

Prof. Alimatul juga menyoroti bagaimana hijab sering kali disimbolkan sebagai bentuk penindasan dalam selebrasi feminis sekuler di beberapa negara.

“Di Australia, ada perayaan seperti Hari Perempuan, di mana mereka berkumpul di tenda besar, melepas hijab, dan berpakaian seksi. Seakan-akan hijab itu adalah simbol penindasan yang harus dibuang,” ungkapnya.

Namun, menurutnya, hijab seharusnya tidak selalu dikaitkan dengan pemaksaan. Dalam banyak kasus, hijab adalah pilihan pribadi perempuan.

Baca juga: Pengaling Cemara Laut, Mitigasi Perempuan Adat Menghadapi Perubahan Iklim 

Hijab: Simbol Kebebasan atau Kesalehan?

Bagi sebagian perempuan, hijab justru merupakan bentuk kebebasan mereka untuk menentukan cara berpakaian sesuai kenyamanan dan keyakinan masing-masing.

“Kalau bagi saya, hijab ini ya kebebasan saya. Karena saya berhak menentukan mana yang boleh dan tidak boleh saya perlihatkan. Saya nyaman dengan cara berpakaian saya. Lagi pula, saya juga nggak melulu pakai jilbab. Misalnya, di rumah saya tidak pakai, atau kalau di teras nyapu lantai ya dasteran doang,” papar Prof. Alimatul.

Namun, ia juga mempertanyakan mengapa hijab masih dijadikan sebagai ukuran kesalehan perempuan.

“Menurut saya, untuk akarnya, ini ada kaitan dengan Revolusi Iran tahun 1979. Setelah peristiwa itu, negara-negara Islam, termasuk Indonesia, mulai cenderung memandang hijab sebagai simbol kesalehan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pada era 1990-an, saat ia masih bersekolah, hijab tidak sepopuler dan sewajib sekarang.

“Dulu, hijab itu tidak se-wajib sekarang. Tapi sekarang seakan-akan kalau tidak pakai hijab, dianggap kurang saleh,” tambahnya.

Sebagai guru besar kajian gender, Prof. Alimatul mengingatkan bahwa hijab tidak seharusnya menjadi standar kesalehan seseorang.

“Kadang pandangan seperti itu justru menciptakan hierarki soal hijab yang ‘syar’i’ atau tidak. Misalnya, ada perempuan yang bilang hijab yang syar’i harus lebar dan longgar. Padahal, yang penting itu memenuhi syariat dan yang memakainya merasa aman dan nyaman,” tuturnya lugas.

Hijab Tanpa Paksaan

Pada kesempatan dan forum yang sama, Wanda Roxanne, aktivis feminis Muslim dari Rahima—LSM yang fokus pada hak perempuan dengan perspektif Islam— menegaskan bahwa hijab seharusnya menjadi pilihan bebas perempuan, bukan kewajiban yang dipaksakan.

“Berhijab, dengan cara seperti apa pun, seharusnya menjadi hak perempuan atas tubuhnya sendiri. Perempuan harus bebas menentukan apa yang ingin ia kenakan. Jadi, hijab itu simbol kebebasan selama tidak ada unsur pemaksaan,” ujarnya.

Wanda juga merekomendasikan buku Esok Hijab Kita Dirayakan karya Kalis Mardiasih. Menurutnya, buku ini menawarkan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana hijab dipersepsikan dan dialami oleh perempuan dalam berbagai konteks sosial dan budaya.

“Kalau mau tahu lebih lanjut soal pengalaman hijab perempuan, di buku terbaru Mbak Kalis juga ada dijelaskan kalau hijab seharusnya menjadi pilihan yang dirayakan, bukan dipaksakan,” katanya.

Penulis buku Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah tersebut juga menekankan bahwa perempuan perlu mendukung satu sama lain. Bukan saling menjatuhkan hanya karena perbedaan cara berpakaian.

“Perempuan harus saling mendukung, bukan saling menjatuhkan hanya karena perbedaan hijab atau tidak hijab. Jangan sampai kita malah mengulang cara-cara patriarki yang mengontrol perempuan,” tegasnya.

Hijab dan Hak Perempuan: Menghormati Pilihan Masing-Masing

Pada akhirnya, perdebatan soal hijab sepatutnya tidak menjadi alasan untuk saling mencela sesama perempuan.

Mirisnya, perdebatan ini sering terjadi di antara sesama perempuan sendiri. Sebagian memandang hijab sebagai lambang kesalehan, sementara yang lain menganggapnya sebagai bentuk kontrol sosial.

Namun, yang paling penting adalah bagaimana perempuan dapat memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan mereka sendiri. Hijab seharusnya menjadi hak, bukan kewajiban yang dipaksakan oleh negara, keluarga, atau masyarakat. Hijab juga tak seharusnya menjadi tolak ukur kesalehan seorang muslimah. Karena idealnya, dalam hal berpakaian, setiap perempuan memiliki hak penuh atas tubuh mereka sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

#MarriageIsScary: Perempuan Mengungkap Kecemasan di Balik Pernikahan

Lima Mahasiswi Bengkulu Raih Medali Emas di Kompetisi Inovasi Sedunia

Pentingnya Digital Mindset dan Ruang Digital Aman bagi Anak Muda

Leave a Comment