Bincangperempuan.com-B’Pers, pernahkah kamu memperhatikan bahwa ikon toilet umum sering menggunakan warna pink untuk perempuan dan biru untuk laki-laki? Atau dalam acara gender reveal, dua warna ini selalu menjadi simbol utama untuk menandai jenis kelamin bayi yang belum lahir? Warna-warna ini seolah sudah melekat pada konsep gender dalam masyarakat modern.
Namun, sejak kapan warna menjadi penanda jenis kelamin? Kenapa pink menjadi identik dengan perempuan, sementara biru dikaitkan dengan laki-laki? Apakah ini sesuatu yang alami dan sudah terjadi sejak lama, atau hanya konstruksi sosial yang berkembang karena kepentingan tertentu?
Dulu, Pink Justru Warna untuk Laki-laki
Jika kita melihat dari sisi sejarah, ternyata asosiasi warna dengan gender ini tidak selalu seperti yang kita kenal sekarang. Menurut Reader’s Digest, yang mengutip Riki Wilchins—seorang ahli gender dan penulis Queer Theory, Gender Theory: An Instant Primer—warna pink dan biru belum menjadi penanda gender sebelum Perang Dunia I. Pada abad-abad sebelumnya, bayi umumnya mengenakan gaun putih yang netral, bukan hanya karena alasan estetika tetapi juga karena alasan praktis. Gaun putih lebih mudah dicuci dan bisa digunakan ulang untuk anak berikutnya, tanpa memperhitungkan jenis kelamin mereka.
Kemudian, pada pertengahan 1800-an, pakaian bayi mulai menggunakan warna-warna pastel, termasuk pink dan biru, tetapi saat itu tidak ada aturan khusus yang mengaitkan warna tertentu dengan jenis kelamin. Baru pada Juni 1918, majalah Ladies’ Home Journal menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa “aturan yang umum diterima adalah pink untuk anak laki-laki dan biru untuk anak perempuan.”
Mengapa? Saat itu, pink dianggap lebih kuat dan berani karena diasosiasikan dengan warna merah, yang sering dikaitkan dengan kekuatan dan keberanian. Sementara itu, biru dianggap lebih lembut dan tenang, sehingga dianggap lebih cocok untuk perempuan. Pandangan ini cukup tersebar luas hingga beberapa dekade kemudian.
Baca juga: Hijab: Antara Kesalehan, Kebebasan, atau Penindasan?
Perubahan Pandangan: Pink Menjadi Warna Feminin
Tren ini mulai berubah pada 1940-an ketika industri mode dan ritel melihat peluang dalam pemasaran berdasarkan gender. Menurut sejarawan Jo Paoletti dalam bukunya Pink and Blue: Telling the Boys from the Girls in America yang dilansir dari Forbes, industri pakaian bayi mulai membedakan pakaian berdasarkan gender untuk meningkatkan penjualan. Jika pakaian bayi laki-laki dan perempuan dibuat berbeda, orang tua tidak bisa mewariskan pakaian dari anak pertama ke anak berikutnya yang berbeda jenis kelamin. Ini berarti mereka harus membeli pakaian baru, yang tentunya menguntungkan penjual pakaian anak.
Seiring berjalannya waktu, pink semakin melekat dengan konsep feminin, terutama karena pengaruh budaya populer dan strategi pemasaran. Film, iklan, dan bahkan mainan anak-anak mulai memperkuat konsep bahwa pink adalah warna perempuan, sementara biru adalah warna laki-laki.
Namun, tidak semua orang menerima pembagian gender berdasarkan warna ini. Pada 1970-an, gerakan feminisme menentang stereotip ini dan mendorong penggunaan pakaian unisex. Pada saat itu, perempuan mulai memasuki dunia kerja dalam jumlah yang lebih besar, mengambil peran-peran non-tradisional, dan mulai meninggalkan pakaian serta aksesori yang dianggap terlalu feminin. Bahkan, katalog Sears sempat tidak menjual pakaian bayi berwarna pink selama dua tahun berturut-turut karena banyak orang tua yang memilih pakaian netral untuk anak-anak mereka.
Tapi pada pertengahan 1980-an, tren ini kembali berubah. Kemajuan teknologi memungkinkan orang tua mengetahui jenis kelamin bayi sebelum lahir, sehingga mereka bisa mempersiapkan pakaian dan perlengkapan bayi berdasarkan gender sebelum bayi lahir. Sejak saat itu, warna pink kembali dikaitkan dengan perempuan, sementara biru untuk laki-laki.
Baca juga: Salah Kaprah tentang Patriarki: Benarkah Peran Domestik adalah Penindasan?
Dampak Sosial: Dari “Pink Tax” hingga Stereotip Gender
Ketika warna mulai dikaitkan dengan gender, industri memanfaatkannya dengan menjual produk gender-spesifik. Produk seperti sepeda, alat cukur, hingga pulpen berwarna pink sering dijual lebih mahal dibandingkan versi berwarna netral atau biru—fenomena ini dikenal sebagai pink tax. Saat ini, hanya dua negara bagian di AS, New York dan California, yang memiliki undang-undang melarang diskriminasi harga berdasarkan warna produk.
Selain aspek ekonomi, pengkategorian gender berdasarkan warna juga memperkuat stereotip dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak toko mulai mengatur tata letak produk berdasarkan gender, misalnya dengan membuat lorong mainan berwarna pink untuk anak perempuan, yang sebagian besar berisi boneka dan peralatan rumah tangga mini, sementara lorong mainan anak laki-laki dipenuhi dengan mobil, senjata mainan, dan perlengkapan konstruksi.
Banyak orang tua dan aktivis gender menentang pembagian mainan berdasarkan gender ini karena membatasi pilihan anak-anak dan memperkuat peran gender tradisional. Akibat tekanan dari konsumen, beberapa toko besar di Amerika akhirnya menghapus label “mainan untuk anak perempuan” dan “mainan untuk anak laki-laki”.
Pada akhirnya, pembagian warna berdasarkan gender bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil konstruksi sosial yang terus berubah. Bahkan, lebih dari sekadar kebiasaan, ini juga strategi kapitalisme—menciptakan pasar yang lebih spesifik agar lebih banyak produk yang bisa dijual.
Jadi tidak ada alasan ilmiah yang membuat perempuan lebih menyukai pink dibandingkan laki-laki. Jangan sampai warna justru memperkuat stereotipe gender! Pink bukan hanya untuk perempuan, begitu juga biru bukan hanya untuk laki-laki. Semua orang bebas memakai apa pun yang mereka suka!
Referensi:
- Elsesser, Kim. 2023. Here’s How Pink Became a Girly Color. Forbes. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://www.forbes.com/sites/kimelsesser/2023/07/11/heres-how-pink-became-a-girly-color/
- Reader’s Digest. Pink for Boys? The History of Baby Colors. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://www.rd.com/article/pink-for-boys/