Home » News » Aksi Solidaritas 50 Petani Perempuan di Desa Sumber Jaya

Aksi Solidaritas 50 Petani Perempuan di Desa Sumber Jaya

Elviza Diana

News

Komunitas PEPA Bangkit Melawan Diskriminasi Petani oleh PT FPIL

Bincangperempuan.com- Sebanyak 50 petani perempuan di Desa Sumber Jaya, Kabupaten Muaro Jambi, telah membentuk komunitas “Petani Padek” (PEPA) sebagai tindakan solidaritas dan perlawanan terhadap diskriminasi yang mereka alami dari PT FPIL. Aksi ini dipicu oleh vonis hukuman terhadap Bahusni, Ketua Serikat Tani Kumpeh, yang dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun dan enam bulan oleh Pengadilan Negeri Muaro Jambi pada hari Rabu, 6 Desember 2023.

Putusan pengadilan ini dipandang sebagai tergesa-gesa dan dipaksakan oleh banyak pihak, termasuk Nukila Evanty, Penasehat Bidang Hukum dan Gender di Asia Centre dan sekaligus ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA). Nukila menyatakan bahwa ada banyak kejanggalan yang terdapat dalam salinan putusan yang diterimanya dari Tim Pendamping Hukum dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria).

“Beberapa poin yang saya nilai dipaksakan dan janggal di antaranya, di putusan tertulis sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengeti, sudah dilakukan pada hari Kamis tanggal 30 November 2023, sementara agenda pembacaan duplik baru di tanggal Rabu, 6 Desember 2023, dan pada hari itu juga langsung dibacakan putusan. Berdasarkan KUHAP putusan hakim, sebelum nya harus melalui sidang duplik dan kalaupun bypass sidang duplik harus ditanyakan kepada terdakwa dan kuasa hukumnya apakah bersedia proses sidang dipercepat dengan sidang putusan hakim. Disamping itu tentunya butuh waktu untuk bisa memutuskan dengan seadil-adilnya. Poin lain yang saya nilai janggal ini kan tuntutan hanya satu tahun, seharusnya bisa menggunakan mekanisme restorative justice dan sudah banyak pasal 362 KUHP dan pelanggaran pasal UU Perkebunan menggunakan pasal tersebut” katanya di sela-sela melakukan pelatihan penyadartahuan hukum bagi petani perempuan di Desa Sumber Jaya (9/11).

PEPA menjadi semangat perlawanan dari perempuan untuk melawan pola diskriminatif yang kerap dialami petani, dan mengecam tindakan represif terhadap beberapa rekan petani mereka, termasuk Bahusni.

Baca juga: Ibu Begal di Kampung Inggris: Berani Beda Untuk Bermakna

Nurjanah, Ketua PEPA, menyebutkan jika misi penangkapan petani oleh perusahaan sebagai upaya untuk melemahkan perjuangan yang sudah dilakukan, perusahaan mengambil langkah yang salah. “Mereka berpikir menjatuhkan vonis bersalah pada Bahusni dan menangkap beberapa warga kami bisa membuat kami mundur, mereka salah. Kami petani perempuan akan melawan sampai mati,” katanya.

Ada 3 tuntutan PEPA yang ditujukan kepada pemerintah, di antaranya hentikan tindakan kriminalisasi dan intimidasi bagi petani, segera selesaikan kasus konflik lahan antara Desa Sumber Jaya dan perkebunan sawit PT PFIL, dan hentikan pemblokiran akses pembelian terhadap tandan buah segar sawit yang mereka panen.

Jauh sebelum ekspansi perkebunan sawit, keasrian lingkungan Desa Sumber Jaya, Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, masih terasa. Ini tergambar jelas di benak Nyai Mesra (67), warga Desa Sumber Jaya sekaligus anggota Serikat Tani Desa Sumber Jaya Kumpeh Ulu.

Aliran sungai dan ekosistemnya terjaga. Berbagai jenis ikan, seperti gabus, serdang, dan toman, mudah ditemukan. Satu tahun sekali, penduduk desa menangkap ikan bersama yang disebut “berkarang”. “Kemudian ramai-ramai menyantap ikan yang ditangkap itu. Kami juga menangkap ikan menggunakan tangkul. Dulu, kalau banjir, ikan masuk ke permukiman,” ujarnya.

Karena ikan berlimpah, sebagian penduduk Desa Sumber Jaya menjadi nelayan, guna memenuhi kebutuhan harian. Selain menggunakan jaring, ada kalanya mereka berburu menggunakan tombak.

Penduduk pun memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan minum, memasak, hingga mencuci. “Tahun 1990-an, kami masih menggunakan air dari Sungai Batanghari, sebelum ada perkebunan sawit. Airnya bening. Sekarang bisa dak perusahaan itu balikinnyo lagi dak,” sambung Nurdayang.

Lingkungan Desa Sumber Jaya, ditumbuhi aneka pohon yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar: bungur, balam, rotan, meranti, tembesu, punak, dan sebagainya. Masyarakat memanfaatkannya untuk membangun rumah dan fasilitas umum, membuat perahu, hingga membuat anyaman tikar dan ambung.

Pemanfaatan hasil alam ini diiringi kearifan lokal dan kesadaran ekologis. Masyarakat hanya menebang pohon yang tua. Pohon muda dibiarkan hidup lebih lama, untuk menghasilkan bunga dan bibit baru.

Sebelum mengambil kayu dari alam, masyarakat harus melapor ke tokoh adat dan kepala desa. Masyarakat pun hanya boleh menebang pohon satu tahun sekali, yakni Oktober. Sedangkan proses pengangkutan kayu dari hutan, berlangsung Desember ketika permukaan air naik.

Perekonomian masyarakat tentu terbantu karena hasil alam ini. Ambung, kursi, meja, dan barang lain yang dibuat, dijual. “Kami ni lah jatuh nian, dan sengajo dibenamkan. Kami dituduh pencuri, yang pencuri itu perusahaan. Mencuri lahan kami. Kami ni menduduki lahan mereka bukan skoyong-koyong, banyak proses yang sudah dilakukan. Tapi pihak perusahaan tidak berinisiatif baik, kalau diok mau sawit yang ditanam di, lahan kami, cabut be sawitnyo, balikan lahan kami, sungai kami dan sawah kami,” ujarnya.

Bahusni, Ketua Serikat Tani Kumpeh, yang menjadi simbol perlawanan petani, dituduh melakukan tindakan pencurian oleh PT FPIL. Meskipun banyak pihak yang meyakini bahwa tindakan Bahusni adalah bagian dari hak-haknya untuk mempertahankan tanahnya, pengadilan memutuskan untuk menjatuhkan hukuman yang dianggap banyak kalangan sebagai tindakan represif. Dari data yang dikumpulkan KPA wilayah Jambi setidaknya ada 54 petani yang dikriminalisasi PT FPIL selama kurun waktu 3 tahun terakhir. Riki Hermawan, Organisasi Bantuan Hukum (OBH) KPA, menyayangkan putusan vonis terhadap Bahusni. “Kriminalisasi terhadap Bahusni ini adalah upaya pelemahan Gerakan Reforma Agraria di Jambi karena Pengadilan Negeri Sengeti terlalu memaksakan putusan dan tidak mempertimbangkan alat bukti yang diajukan Bahusni. Apalagi PT PFIL hingga hari ini tidak dapat membuktikan HGU-nya masuk di Desa Sumber Jaya yang saat ini digarap oleh Serikat Tani Kumpeh,” sebut Riki.

Baca juga: Dayah Diniyah Darussalam: Naungan untuk Korban Kekerasan di Aceh 

Tidak hanya mendapatkan pemahaman hukum, komunitas PEPA juga diberi materi mental healing dari Psikolog Dessy Pramudiani sekaligus Dosen Prodi Psikologi Unja. Dessy melihat persoalan konflik lahan ini mempengaruhi kehidupan keseharian, traumatic tidak hanya bagi perempuan tapi juga anggota keluarga lainnya seperti anak dan suami. “Perlu adanya kegiatan yang mendukung untuk meningkatkan kepercayaan diri petani perempuan tersebut, ada beberapa orang yang memang memerlukan konseling pribadi karena mengarah ke gejala depresi,” jelasnya.

Nukila menyebutkan inisiatif yang dilakukan organisasinya, Inisiatif Masyarakat Adat, sebagai bentuk penguatan perempuan di wilayah-wilayah yang mengalami konflik tenurial. “Perempuan paling terdampak dari adanya konflik tenurial seperti ini, di beberapa lokasi kita datangi juga melakukan penguatan-penguatan secara hukum, mental, dan ekonomi. Saya melihat konflik perebutan sumber daya alam yang sama di Rempang, Air Bangi, dan Pangkalan Susu. Perempuan ini berdampak ganda terhadap rusaknya lingkungan, hilangnya sumber penghidupan, obat-obatan. Beberapa perempuan mengeluhkan lebih rentan depresi, sakit secara fisik, dan kehilangan kebahagiaan,” katanya.

Yusnidar menatap botol berisi cairan kuning yang bernama eco enzim, enzim multiguna yang dihasilkan dari kulit-kulit buah segar menjawab tingginya harga pupuk untuk lahan pertanian mereka. Yusnidar baru saja memanen kacang panjang ketika mengikuti pelatihan budidaya rempah-rempah secara organik.

Lisani, menyebutkan rempah-rempah seperti jahe, kunyit, serai masih dianggap untuk kebutuhan rumah tangga terutama bumbu masakan. Berbagai olahan jahe bernilai jual tinggi, bisa menjadi sumber peningkatan pendapatan keluarga bagi petani. “Jangan dinilai ini jahe cuma buat bumbu, ada jahe hitam yang harganya bisa 500 ribu rupiah per kilogram. Kita bisa mulai menanam di setiap rumah ada tanaman rempah-rempah sehingga ke depan bisa jadi kampong rempah dan menarik banyak cuan tentunya,” katanya saat mengisi materi.

Nukila melihat dukungan pendampingan ekonomi juga akan memberikan warna baru bagi perjuangan yang dilakukan. “Kelompok PEPA ini bisa membuka mata semua orang bahwa desa yang berada dalam situasi konflik dan perjuangan. Juga mampu memberikan warna lain, misalnya mereka menggerakkan desa melalui komoditi rempah-rempah ini. Selain meningkatkan perekonomian, Desa bisa menjadi tujuan wisata kebun rempah, karena potensinya banyak sekali. Semakin banyak orang yang datang mengunjungi, semakin banyak yang berempati pada perjuangan petani di sini,” tandasnya.

Dia menambahkan aksi solidaritas dan perlawanan PEPA diharapkan dapat menjadi sorotan nasional dan internasional terhadap isu perlindungan hak-hak petani dan perempuan di sektor pertanian.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Saatnya Hilangkan Stigma Negatif pada Perempuan yang Menyusui di Ruang Publik

AJI: Patuhi Kode Etik

Perempuan Desa Harus Bisa Inovasi

Leave a Comment