Home » News » Perempuan Pedagang Dilekat Stigma Negatif

Perempuan Pedagang Dilekat Stigma Negatif

Reynov Yeheskiel Girsang

News

Bincangperempuan.com- Pasar Panorama, surga belanja 24 jam di Kota Bengkulu. Kesibukan tanpa batas! Di sinilah aktivitas berdagang tak pernah tidur. Malam hari pun menjadi momen yang sibuk, pasalnya kiriman sayur segar dari berbagai daerah di Provinsi Bengkulu, tiba.

“Dampaknya, banyak pedagang memilih berjualan malam hari hingga pagi. Tujuannya untuk demi menjaga kesegaran barang dagangan mereka. Selain itu harga jual di malam hari lebih ekonomis bagi para pembeli, karena umumnya permintaan dan proses tawar menawar di malam hari tidak sebanyak di siang hari. Waktu mulai berjualan setiap pedagang bermacam-macam, tapi umumnya pasar mulai ramai di atas jam 8 malam. 

“Biasanya Ibu sudah mulai berjualan di pasar itu sekitar jam 12 malam sampai dengan jam 5 subuh, ya demi memenuhi kebutuhan ekonomi ini mau tidak mau Ibu harus lebih bekerja ekstra lagi agar ekonomi bisa terpenuhi dan juga untuk biaya anak sekolah,” kata Ibu Siti, salah satu pedagang sayur di pasar tersebut.

Siti (48) sudah mulai berdagang sayur di malam hari sejak beberapa tahun lalu. Hal ini ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan sekolah dua orang anaknya yang saat ini sedang bersekolah di jenjang SMP dan SMA. Demi menambah pemasukan di keluarga, ia rela mengorbankan jam istirahatnya karena ia hanya bisa jualan di malam hari lantaran memiliki pekerjaan lain di siang harinya. Namun demikian, tak sedikit orang yang beranggapan buruk dengan aktivitas Siti ini, bahkan ia pernah dilabeli sebagai “perempuan tidak benar” karena kerap pulang di malam dan pagi hari. 

Baca juga: “Embrace Equity”: Refleksi Bagi yang Termarginalisasi

“Dulu Ibu pernah dicap sebagai perempuan yang “tidak benar” oleh tetangga Ibu karena Ibu sering keluar malam pulangnya subuh dan juga Ibu jarang berbaur dengan tetangga. Tapi akhirnya tetangga Ibu tahu, kalau ibu jualan sayuran di pasar, dan akhirnya tetangga Ibu tidak berpikir hal-hal yang buruk tentang Ibu,” kenangnya. 

Stigma “perempuan tidak benar” atau “perempuan nakal” di masyarakat patriarki memang kerap dilabeli kepada perempuan yang pulang malam. Hal ini dikarenakan perempuan masih dipandang sebagai objek yang tabu sehingga perempuan yang pulang larut malam dianggap sebagai hal yang tidak wajar, melanggar norma adat, dan lainnya.

Gail Pheterson (1994) dalam artikelnya yang berjudul The Whore Stigma: Female Dishonor and Male Unworthuness membahas tentang bagaimana masyarakat memandang perempuan yang pulang larut malam atau beraktivitas sendiran di malam hari dikaitkan dengan pekerja seks komersial. Hal ini sejalan dengan julukan “Kupu-Kupu Malam” yang diberikan masyarakat Indonesia kepada pekerja seks komersial.

Untuk membasmi pandangan ini, komunikasi dan pemikiran positif yang tidak mengakar pada pandangan patriarki menjadi penting untuk dilakukan. Hal ini terlihat dari pengalaman Yus (50) yang berada di lingkungan yang lebih baik dari Siti. Berkat pandangan positif dari tetangganya, ia bersyukur tidak pernah mendapat stigma tersebut dari warga sekitar. Yus sudah berjualan di Pasar Panorama sejak 2 tahun lalu. Ia memutuskan untuk berdagang di malam hari untuk membiayai sekolah 3 orang anaknya. Karena jika hanya bergantung pada pendapatan suami yang bekerja serabutan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. 

“Ya mau mengandalkan gaji suami pun masih kurang, jadi nya Ibu harus membantu perekonomian keluarga agar tetap terpenuhi. Alhamdulillahnya ibu tidak pernah dipandang buruk oleh tetangga ibu, karena tetangga ibu sudah mengetahui kalau ibu berjualan di Pasar Panorama,” cerita Yus sambil menjajaki bawang merah sebagai jualannya. 

“Kalau pandangan Ibu terhadap orang yang berpikir perempuan keluar malam itu nakal, ya jangan dulu berpikir hal buruk terhadap perempuan yang pulang malam, karena apa yang dilakukan perempuan tersebut belum tentu selalu tentang hal buruk,” lanjutnya. 

Stigma “perempuan nakal” juga kerap membatasi ruang gerak perempuan dalam beraktivitas. Meskipun terkadang keluarga tidak mempermasalahkan perempuan pulang malam karena alasan tertentu namun lagi-lagi masyarakat atau tetangga justru bersikap sebaliknya. Sehingga menimbulkan banyak prasangka dan cenderung membebani kehidupan perempuan

Stigma ini dapat memicu ketidakamanan dan ketegangan dalam masyarakat. Ketika perempuan merasa diawasi atau dicap ‘nakal’ hanya karena pulang malam, hal ini dapat menciptakan ketidakharmonisan dalam hubungan sosial dan keluarga. Stigma ini juga dapat memicu tindakan diskriminasi, yang pada gilirannya merugikan seluruh masyarakat.

Hal ini pernah terjadi di kehidupan Fitri (46), ia sudah berjualan toge malam hari di pasar sejak 1 tahun lalu. Ia mulai berjualan sejak pukul 7 malam hingga 12 malam. Hal ini dilakukan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya, karena suaminya bekerja sebagai tukang bangunan sehingga tidak memiliki gaji yang tetap. Di sisi lain ia harus membiayai 2 orang anaknya yang masih bersekolah. 

“Awalnya suami Ibu tidak menyuruh Ibu berjualan di pasar karena takut nanti tetangga bilang hal-hal yang aneh dan juga takut nanti ada apa-apa di pasar,” ungkapnya. 

“Namun Ibu selalu menyakinkan suami Ibu agar bisa berjualan di pasar panorama untuk memenuhi perekonomian keluarga. Akhirnya suami Ibu pun mengizinkan Ibu berjualan di pasar,” lanjutnya. 

Baca juga: Absennya Rumah Aman bagi Korban Kekerasan Seksual di Bengkulu

Fitri merasa stigma ini sempat membuatnya sulit untuk membantu perekonomian keluarga. Padahal di sisi lain ia merasa bisa berkontribusi untuk meringankan masalah finansial yang dialami keluarganya. 

“Untuk masyarakat semuanya, tolong untuk tidak menghakimi perempuan yang keluar malam, dan juga untuk para suami, hargai istrimu yang mau membantu perekonomian keluarga, selagi yang dilakukan adalah hal yang positif, bolehin saja,” pesannya. 

Bentuk diskriminasi gender

Akademisi Universitas Bengkulu, Wahyu Widiastuti M.Sc mengatakan bahwa stigma ini sangatlah membatasi ruang gerak perempuan. Anggapan yang menjurus pada satu aktivitas dan pekerjaan saja menurutnya adalah bentuk diskriminasi gender yang harus dihilangkan dari pandangan masyarakat. 

“Di pasar pun masih banyak yang keluar malam, bahkan bukan hanya laki-laki saja, melainkan ada juga perempuan, artinya pekerjaan yang mengharuskan perempuan keluar malam bukan hanya PSK saja,” Ujar Widi. 

“Menurut saya orang-orang yang membatasi perempuan yang tidak boleh keluar malam tersebut tidak melihat bahwa pekerjaan perempuan yang dilakukan di malam hari masih banyak yang lainnya,” tambahnya. 

Widi menilai stigma ini dapat membatasi ruang gerak perempuan untuk menjalani kehidupan yang mereka inginkan. Mereka mungkin merasa terbatas dalam melakukan aktivitas sosial, bekerja lembur, atau mengejar minat dan hobi mereka karena takut akan dicap ‘nakal’. 

“Stigma ini sangatlah berbahaya bagi perempuan, mengapa demikian? karena stigma ini bisa merusak mental seseorang dan juga membuat dia tidak nyaman di lingkungannya. Padahal dia pulang malam itu karena harus bekerja, seperti bekerja menjadi pedagang sayuran, atau lembur di kantor, atau juga bagi anak muda yang sedang kerja kelompok di rumah temannya, harus pulang malam karena harus selesai dengan cepat,” paparnya.  

Ia menilai persoalan ini dapat diatasi salah satunya dengan edukasi kepada masyarakat tentang kesetaraan gender dan hak bekerja dan beraktivitas perempuan. Selain itu ia menilai masyarakat juga perlu untuk melakukan komunikasi aktif agar stigma tersebut tidak muncul karena prasangka yang kurang baik.

“Tindakan yang harus dilakukan masyarakat adalah harus sering berkomunikasi dengan sesama, baik sesama tetangga maupun sesama dengan keluarga. Dengan komunikasi ini kita bisa saling berbaur dengan tetangga dengan begitu kita pun akan nyaman terhadap lingkungan sekitar kita,” pesannya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, stigma perempuan pulang malam

Artikel Lainnya

Jangan ada lagi kekerasan seksual di lingkungan kerja

Jangan Ada Lagi Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja

Memaknai Keterwakilan Perempuan 30%, Mendorong Putusan MA Berkeadilan Gender

Tren Tube Girl

Pro dan Kontra, Fenomena Tube Girl 

Leave a Comment