Home » News » Bahaya Child Grooming Berkedok Agama

Bahaya Child Grooming Berkedok Agama

Bincang Perempuan

News

Bahaya Child Grooming Berkedok Agama (1)

Bincangperempuan.com-  Awal Juli 2024, publik digegerkan dengan penangkapan Muhammad Erik (ME), oknum pengasuh pondok pesantren di Lumajang, Jawa Timur. ME resmi ditahan Polres setempat, Rabu (03/07/2024)  karena menikahi anak di bawah umur berusia 16 tahun tanpa sepengetahuan orang tuanya.

Ini bukan kasus pertama di lingkungan pesantren di Indonesia.

Sebelumnya di tahun 2010 juga sempat viral pernikahan pimpinan pondok pesantren Muftahul Jannah di Semarang, Jawa Tengah, Pujiono Cahyo Widianto atau yang dikenal sebagai Syekh Puji.

Ia menikahi anak berusia 12 tahun yang dijadikan sebagai istri keduanya. Syekh Puji  sempat di tahan karena terbukti melanggar Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kasus- kasus ini menambah daftar panjang deretan kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren.  Mengutip CATAHU Komnas Perempuan, kurun 2015 hingga 2022, lembaga pendidikan pesantren menempati urutan kedua setelah perguruan tinggi, dengan laporan angka kekerasan sebanyak 16 kasus.

Baca juga: Waspada, Child Grooming Lewat Game Online

Apakah child grooming kategori kekerasan seksual?

Child grooming adalah proses di mana seorang pelaku membangun hubungan emosional dengan anak untuk mendapatkan kepercayaan mereka dengan tujuan melakukan eksploitasi seksual. Child grooming termasuk dalam kategori kekerasan seksual, bentuk kejahatan serius yang dapat terjadi dalam berbagai konteks.

Akademisi Universitas Bengkulu, Wahyu Widiastuti mengatakan praktik pengurus pondok pesantren menikahi santri di bawah umur apalagi tanpa sepengetahuan keluarganya, masuk dalam kategori child grooming.

“Praktiknya child grooming berkedok agama. Ada juga yang dijadikan alat untuk membayar utang orang tua,” kata Widi.

Child grooming berkedok agama adalah tindakan di mana pelaku, seringkali seseorang yang memegang posisi otoritas dalam komunitas keagamaan, menggunakan kepercayaan dan pengaruh mereka untuk mendekati, memanipulasi, dan mengeksploitasi anak-anak. Pelaku menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk mendekati korban dan keluarga mereka, seringkali dengan menyamar sebagai pembimbing spiritual atau guru agama yang bertujuan baik.

Di tengah masyarakat yang religius, pemimpin agama seperti kyai sering kali dianggap sebagai figur yang dihormati dan dipercaya. Mereka memegang peran penting dalam membimbing umatnya, termasuk para santri di pondok pesantren. Namun, posisi ini dapat disalahgunakan oleh beberapa individu yang memanfaatkan kepercayaan dan ketaatan santri untuk kepentingan pribadi mereka.

Beberapa oknum kyai mungkin menggunakan interpretasi agama yang menyimpang untuk membenarkan tindakan mereka. Misalnya, mereka mungkin mengklaim bahwa pernikahan di usia muda diperbolehkan dalam agama, meskipun dalam kenyataannya, banyak ulama dan pakar agama yang menentang praktik ini dan menekankan pentingnya perlindungan terhadap anak-anak.

Baca juga: Mengapa Child Grooming Termasuk Kekerasan Seksual?

Dampak terhadap korban

Berkaca dari kasus dengan pelaku Muhammad Erik (ME), oknum pengasuh pondok pesantren di Lumajang, Jawa Timur, korban diketahui hamil dan enggan keluar rumah karena tak kuat menahan rasa malu. Hal ini menunjukan dampak child grooming  yang sangat mendalam pada korban.

Secara psikologis, anak-anak yang mengalami grooming dan pernikahan dini dapat mengalami trauma, kehilangan rasa percaya diri, dan mengalami gangguan emosional. Mereka sering kali merasa terjebak dalam situasi yang tidak dapat mereka kendalikan, dan tidak memiliki suara untuk menolak.

Sementara dari segi pendidikan, pernikahan dini sering kali menghentikan kesempatan anak untuk melanjutkan sekolah. Hal ini tidak hanya membatasi perkembangan intelektual mereka tetapi juga mengurangi peluang mereka untuk mandiri secara ekonomi di masa depan.

Upaya mencegahnya

Masyarakat dan pemerintah memiliki peran penting dalam mencegah dan menangani kasus child grooming, terutama yang berkedok agama. Langkah pertama adalah meningkatkan kesadaran dan edukasi tentang bahaya child grooming dan dampak negatif dari pernikahan anak. Ini dapat dilakukan melalui kampanye publik, pendidikan di sekolah, dan pelatihan untuk para pemimpin agama.

Meningkatkan kesadaran tentang bahaya child grooming di kalangan anak-anak, orang tua, dan komunitas keagamaan adalah langkah awal yang penting. Program pendidikan yang mencakup tanda-tanda grooming dan cara melaporkannya harus disediakan.

Komunitas keagamaan harus mengembangkan kebijakan dan prosedur yang ketat untuk melindungi anak-anak dari pelecehan. Ini termasuk pemeriksaan latar belakang bagi mereka yang bekerja dengan anak-anak dan pelatihan tentang pencegahan pelecehan.

Pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum terkait perlindungan anak dan memastikan bahwa pelaku kejahatan seksual, termasuk yang berlindung di balik agama, mendapatkan hukuman yang setimpal. Selain itu, mekanisme pelaporan dan perlindungan korban harus diperkuat agar anak-anak dan keluarga merasa aman untuk melapor tanpa takut akan stigma atau ancaman.

Child grooming berkedok agama adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan tegas dari berbagai pihak. Melalui edukasi masyarakat, memperkuat penegakan hukum, dan mendukung para korban, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan melindungi anak-anak dari bahaya eksploitasi seksual. Agama seharusnya menjadi sumber kebaikan dan perlindungan, bukan alat untuk memanipulasi dan merugikan mereka yang rentan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Apa Itu Penyusunan Anggaran yang Responsif Gender?

Trauma dan Derita Ibu Hamil yang Melahirkan di Gaza

Trauma dan Derita Ibu Hamil yang Melahirkan di Gaza

Menjadi Perempuan Ambis dan Sukses? Ini yang Dapat Kamu Lakukan!

Leave a Comment