Home » Pendidikan » Dilema Ketika Ibu Memutuskan Sekolah Lagi

Dilema Ketika Ibu Memutuskan Sekolah Lagi

Bincang Perempuan

Pendidikan

Dilema Ibu Sekolah Lagi

Bincangperempuan.com– Pendidikan menjadi pondasi utama dalam pembentukan karakter dan kemampuan seseorang. Realitas sosial seringkali menempatkan perempuan pada posisi tidak mendapatkan dukungan ketika memutuskan ingin mengejar pendidikan. Terlebih lagi ketika perempuan tersebut sudah menikah, menjadi istri, ibu hingga seorang singlemoms.

Hal berbeda didapati ketika laki-laki atau para ayah yang memutuskan untuk sekolah lagi. Masyarakat akan memberikan nilai plus, karena mereka akan dianggap sebagai panutan hingga pahlawan bagi keluarga.

Padahal memutuskan untuk kembali mengejar pendidikan seringkali tidak mudah bagi ibu di tengah keterbatasan waktu dan tanggung jawab keluarga. Banyak kasus, perempuan dihadapkan dengan dilema antara mengurus keluarga dan meraih mimpi. Beban ekonomi dan tugas rumah tangga seringkali menjadi penghalang utama yang membuat ibu berpikir berulang kali untuk kembali sekolah.

Sejatinya bagi seorang perempuan sekolah tidak hanya berarti memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk berkembang. Namun juga menjadi jalan kolektif bagi keluarga. Termasuk pada perempuan kepala rumah tangga, bagi seorang singlemoms sekolah menjadi salah satu jalan bagi mereka untuk survive dan mencapai taraf hidup yang lebih baik lagi.

Baca juga: Marital Rape: Bingkai Hukum di Indonesia

Dianggap melawan normal sosial

Kultur sosial di masyarakat sering kali turut mempersulit keputusan ibu untuk sekolah lagi. Masyarakat yang masih memegang nilai-nilai patriarki kerap menilai perempuan khususnya ibu rumah tangga, seharusnya fokus pada peran domestiknya. Kembali sekolah dianggap sebagai tindakan yang melenceng dari tugas utama mereka, yaitu mendidik dan mengurus keluarga. Hal ini menciptakan dilema batin, di mana ibu harus berjuang melawan norma sosial yang memandang sebelah mata terhadap keputusan mereka untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan.

Secara general, masyarakat memberikan stigma pada perempuan yang mengejar pendidikan tinggi. Perempuan dianggap tidak seharusnya memiliki ambisi tinggi atau terlalu mandiri. Masyarakat patriarki cenderung memandang perempuan seharusnya menempatkan keluarga di atas segalanya, dan ambisi untuk meningkatkan karir atau kualifikasi pendidikan dianggap sebagai tindakan yang egois.

Berikut sejumlah dilema yang dialami seorang ibu ketika memutuskan untuk sekolah lagi

  • Waktu menjadi tantangan utama

Tantangan utama yang dialami para ibu yang ingin sekolah lagi adalah waktu. Sebagai pengelola rumah tangga dan (mungkin) seorang pekerja, menyusun jadwal yang memungkinkan untuk hadir di kelas, mengerjakan tugas, dan merawat anak-anak dan rumah tangga seringkali seperti memecahkan teka-teki yang rumit. Waktu yang harus dihabiskan untuk belajar dan mempersiapkan ujian sering bersaing dengan waktu yang diperuntukkan untuk kebutuhan keluarga.

Bagi ibu yang memiliki anak-anak yang masih kecil, tanggung jawab merawat anak menjadi lebih kompleks. Mereka harus memastikan bahwa anak-anak mendapatkan perhatian dan pemeliharaan yang cukup, sementara pada saat yang sama, mereka juga berusaha untuk memenuhi tuntutan akademis mereka. Oleh karena itu, waktu menjadi aspek krusial yang mempengaruhi keputusan ibu untuk kembali mengejar pendidikan tinggi.

  • Hambatan finansial

Aspek finansial seringkali menjadi batasan yang signifikan bagi ibu yang ingin melanjutkan pendidikan mereka. Biaya kuliah, buku, dan kebutuhan akademis lainnya sering kali merupakan beban tambahan yang sulit diatasi, terutama jika keluarga bergantung pada satu sumber pendapatan. Mungkin ada pilihan untuk mendapatkan beasiswa atau bantuan keuangan, tetapi prosesnya seringkali tidak mudah. Dalam situasi di mana ibu merupakan satu-satunya pencari nafkah, bekerja penuh waktu sambil sekolah bisa menjadi tantangan ekstra. Mereka harus menemukan keseimbangan yang tepat antara pekerjaan, keluarga, dan studi, seringkali tanpa dukungan finansial yang memadai.

  • Tidak tega meninggalkan anak

Salah satu aspek emosional terbesar yang dihadapi oleh ibu yang memilih untuk sekolah lagi adalah perasaan tidak tega meninggalkan anak-anak. Pandangan masyarakat yang meletakkan ibu sebagai sosok utama yang harus selalu ada di rumah untuk merawat dan mendidik anak-anak menciptakan tekanan psikologis. Ibu sering kali merasa bersalah dan dihantui oleh pertanyaan apakah keputusan mereka akan merugikan anak-anak.

Dalam konteks ini, dukungan sosial dan pemahaman dari keluarga dan lingkungan sekitar menjadi sangat penting. Meskipun mungkin sulit untuk meninggalkan anak-anak sementara untuk mengejar pendidikan, ibu perlu diingatkan bahwa keputusan ini juga dapat memberikan contoh positif kepada anak-anak. Mereka dapat belajar tentang tekad, komitmen, dan arti pentingnya pendidikan melalui pengorbanan yang dilakukan oleh ibu.

  • Stigma masyarakat patriarki

Dilema yang mungkin lebih tidak terlihat tetapi sama mendalam adalah stigma yang melekat pada perempuan yang memutuskan untuk sekolah lagi. Dalam masyarakat patriarki, di mana peran tradisional perempuan masih dianggap sebagai pengurus rumah tangga dan pengasuh anak, perempuan yang mengejar pendidikan tinggi seringkali dinilai sebagai langkah yang tidak perlu atau bahkan mencolok.

Stigma ini memunculkan pandangan bahwa perempuan seharusnya tidak terlalu ambisius dan seharusnya lebih fokus pada keluarga. Ketika seorang ibu berusaha untuk meningkatkan kualifikasi pendidikannya, pandangan bahwa ia tidak tahu prioritas atau bahkan egois dapat muncul. Ini menciptakan tekanan tambahan bagi ibu, tidak hanya dalam menjalani tugas sehari-hari tetapi juga dalam menjelajahi jalan pendidikan tinggi.

Baca juga: Perempuan Indonesia Masih Diharuskan Meninggalkan Pekerjaan yang Berbayar untuk Memenuhi Kebutuhan Perawatan

Perlunya mengubah paradigma

Penting untuk mengatasi stigma dan persepsi negatif terhadap perempuan yang kembali sekolah agar dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan mereka. Salah satu langkah penting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan. Disaat setengah populasi dunia adalah perempuan artinya kondisi dan nasib perempuan menentukan kemajuan suatu negara. Disinilah peran penting pendidikan bukan hanya hak asasi setiap individu, tetapi juga investasi dalam kemajuan masyarakat.

Perlu dilakukan upaya untuk mengubah paradigma masyarakat tentang peran perempuan. Perempuan memiliki hak untuk mengejar impian dan aspirasi mereka tanpa harus merasa bersalah atau dihakimi. Pendidikan tinggi bukan hanya untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan yang memiliki potensi untuk memberikan kontribusi besar dalam berbagai bidang.

Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya dukungan dari keluarga dan masyarakat adalah kunci untuk mengatasi dilema yang dihadapi oleh ibu-ibu yang ingin kembali sekolah. Peran suami, keluarga, dan lingkungan sekitar sangat penting dalam menciptakan ruang bagi perempuan untuk mengejar pendidikan tinggi tanpa merasa terbebani oleh stigma sosial.

Dukungan untuk ibu yang memutuskan untuk sekolah lagi adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Pendidikan tinggi bukan hanya hak, tetapi juga alat yang efektif untuk memberdayakan perempuan dan memperluas horison berpikirnya. Mari bersama-sama mengubah paradigma masyarakat dan memberikan dukungan penuh kepada ibu-ibu yang berani mengejar pendidikan tinggi untuk meraih mimpi mereka.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Diskriminatif dan Inkonstitusional : Pemda Bengkulu Tak Perlu Buat Sekolah Negeri ‘Bernuansa’ Agama

Diskriminatif dan Inkonstitusional: Pemda Bengkulu Tak Perlu Buat Sekolah Negeri ‘Bernuansa’ Agama

Coreng Moreng Pendidikan Penyandang Disabilitas di Bengkulu

Pengabdian SMA 4 Kepahiang

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru Melalui Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah Untuk Publikasi di Jurnal Nasional

Leave a Comment