bincangperempuan.com- Setiap tahunnya, hari perempuan internasional atau International Women’s Day dirayakan dengan meriah pada berbagai negara oleh berbagai elemen masyarakat. Pada tahun ini, International Women’s Day bertepatan pada Rabu, 8 Maret 2023 dengan mengusung tema, “Embrace Equity.”
Dirayakannya International Women’s Day sebagai tombak pengingat bahwa sudah banyak kontribusi perempuan pada berbagai bidang dalam rangka memajukan bangsa Indonesia seperti pada bidang ekonomi, politik, dan budaya. Hari perempuan sedunia ini hadir berdasarkan bentuk perlawanan perempuan dalam menciptakan kesadaran masyarakat mengenai kesenjangan yang dirasakan oleh perempuan.
Pada awalnya, hari perempuan sedunia berasal dari perlawanan para buruh perempuan di Amerika Serikat, tepatnya kota New York yang menuntut penyesuaian jam kerja, gaji yang baik, dan dapat menggunakan hak untuk memilih. Beberapa tahun berselang, akhirnya hari perempuan sedunia diakui dan ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Baca juga: Peringatan Hari Ibu, Momentum Pergerakan Perempuan Indonesia
Implementasi dari #EmbraceEquity
Pada tahun 2023 ini, hari perempuan sedunia membawakan tema #EmbraceEquity yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran bahwa saat ini perempuan tidak hanya memerlukan kesempatan yang sama, tetapi juga membutuhkan penyesuaian terhadap berbagai kondisi yang dialami oleh perempuan.
Theresia Dyah Wirastri, Dosen Bidang Studi Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia menjelaskan bahwa adanya terminasi Equity sendiri merupakan tahap lanjutan dari equality yang sebelumnya berbicara mengenai affirmative action. Lebih jelasnya, equity melihat kesetaraan berdasarkan suatu kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
“Dalam perspektif feminisme, yang memang ingin dikejar, yaitu kesetaraan atau equality. Nah, Equity itu merupakan satu tahap lebih lanjut. Jadi, tidak semata-mata berbicara masalah kesetaraan, tetapi juga bicara tentang affirmative action-nya. Equality nantinya juga akan bicara mengenai affirmative action, tetapi equity itu sudah melihat kesetaraan berdasarkan kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki,” jelas Dyah.
Baca juga: Pemenuhan Hak Perempuan dalam Situasi Bencana Masih Belum Ideal
“Sering kali orang mengartikan equity dan equality itu merupakan hal yang sama (sameness). Padahal ini bukan persoalan sama antara perempuan dan laki-laki, tetapi bagaimana dengan kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, dengan pengalaman yang berbeda juga. Nah, ini yang harus didekati dengan prinsip-prinsip dasar yang menjunjung tinggi kesetaraan gender. Kita menyebutnya sebagai Embracing Equity,” lanjutnya.
Hal ini berangkat dari posisi perempuan dengan laki-laki yang tidak berada dalam posisi yang setara di mata masyarakat. Kondisi perempuan yang menduduki posisi cenderung lebih rentan daripada laki-laki dapat disebabkan oleh keterbatasan akses dan informasi yang dimiliki, serta kurangnya partisipasi perempuan dalam berbagai bidang.
Adanya perlakuan yang berbeda kepada kaum termarginalkan bukanlah sebuah tindakan diskriminatif. Akan tetapi, dalam hal ini kelompok difable mendapatkan perlakuan khusus yang perlu diperhatikan. Dalam peristiwa ini, perempuan yang mengalami difable mengandung identitas yang berlapis sehingga disebut dengan interseksionalitas. Mereka membutuhkan perlakuan yang dapat menyesuaikan dengan kebutuhan mereka untuk mendapatkan akses yang sama dan setara seperti perempuan yang tidak mengalami kondisi disabilitas.
Apabila melihat dalam kerangka hukum peraturan di Indonesia, sudah terdapat peraturan mengenai penyandang disabilitas, tepatnya pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada peraturan ini, tertulis mengenai asas pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, keadilan dan perlindungan hukum, kesehatan, pekerjaan, pelayanan publik, konsesi, pendataan, pendanaan, ketentuan pidana, dan masih banyak lagi.
Walaupun sudah terdapat peraturan yang mengatur dan melindungi mengenai penyandang disabilitas, tetapi sangat disayangkan peraturan tersebut belum dapat diimplementasikan secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari.
“Menurut saya, negara seharusnya lebih hadir untuk memastikan mereka (kaum difable) memiliki akses untuk ikut berpartisipasi karena mereka sama seperti kita yang juga warga negara yang berhak dan dijamin peran sertanya oleh negara,” terang Dyah.
Hal ini dapat dilihat melalui beberapa fasilitas umum, contohnya seperti beberapa rumah sakit yang masih belum memiliki infrastruktur yang memadai, pelayanan publik yang diberikan oleh negara masih belum ramah dengan masyarakat difable sehingga dapat memengaruhi partisipasi publik dari kaum difable, dan masih banyak lagi. Negara seharusnya berpartisipasi lebih aktif dalam menghormati, melindungi, dan menjamin keberlakuan hak difable.
Baca juga: Kisah Keadilan Gender dari Wartawan Perempuan di Wilayah Asia-Pasifik
“Dengan kata-kata embracing equity kita meng-embrace perbedaan. Jadi, perlu ada sensitivitas untuk kita bisa melakukan hal tersebut,” pungkasnya.
Adanya kondisi bias mayoritas dalam berbagai aspek seperti agama, etnis, ataupun kondisi fisiologis perempuan seringkali menjadi hambatan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahan struktural kaum difable yang hadir di tengah masyarakat dengan stigma negatif yang melekat turut berpengaruh kepada Representasi dari kaum difable yang jarang sekali mendapat perhatian publik. Oleh karena itu, dibutuhkan dorongan dan kesadaran yang kuat dan menyeluruh untuk bersifat semakin inklusif di era sekarang dan yang akan datang.(Sylvi Sabrina)