Home » News » Femisida dan Pemberitaan yang Tidak Memihak Korban

Femisida dan Pemberitaan yang Tidak Memihak Korban

Bincangperempuan.com- B-Pers, apakah kalian pernah mendengar kasus pembunuhan seorang perempuan yang disengaja karena jenis kelaminnya? Tindakan kriminal ini dikenal dengan femisida. Femisida didefinisikan sebagai kekerasan berbasis gender melalui pembunuhan karena korban berjenis kelamin perempuan.

World Health Organization (WHO) menemukan jika kebanyakan pelaku dari femisida merupakan pasangan atau mantan pasangan. Pelaku akan melecehkan korban secara terus menerus, mengintimidasi, melakukan kekerasan seksual karena keterbatasan yang dimiliki oleh perempuan.

Sementara itu, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan berbasis gender yang dialami oleh perempuan dan didorong oleh kuatnya nilai patriarki, norma-norma sosial terkait maskulinitas, kebutuhan untuk menegaskan kekuasaan laki-laki, menegakkan peran gender, dan mencegah atau menghukum apa yang dianggap sebagai perilaku perempuan yang tidak dapat diterima.

Dalam The Politics of Women Killing, Jill Radford dan Diana E.H. Russel membagikan femisida dalam berbagai bentuk seperti femisida dalam relasi perkawinan, femisida berbasis rasisme, femisida berbasis homofobia, femisida yang dilakukan oleh orang tak dikenal, femisida berantai, dan femisida massal.

Selain itu, tindakan kriminal ini terbagi atas dua kategori yaitu pembunuhan perempuan secara intim dan tidak intim. Pembunuhan perempuan secara intim dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan, sedangkan pembunuhan tidak intim kerap dilakukan oleh orang yang tidak dikenal. Di lain sisi, terdapat jenis kasus femisida lainnya seperti pembunuhan untuk menjaga kehormatan keluarga karena tindakan perempuan yang dinilai sebagai aib, femisida oleh sesama perempuan karena kuatnya nilai patriarki, diskriminasi ras atau seksualitas, dan pembunuhan perempuan transgender.

Di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan terdapat 109 kasus femisida intim, 15 kasus femisida non-intim, dan 12 kasus bunuh diri akibat kekerasan berbasis gender sepanjang tahun 2023. Dalam hal ini, istri menjadi korban femisida terbanyak, disusul oleh pacar, dan mantan pacar.

Ironinya, penanganan femisida masih jauh dari kata layak karena kuatnya nilai patriarki di Indonesia. Jika dilihat lagi, femisida tidak hanya terjadi di relasi antara pelaku dan korban saja, melainkan diikuti dengan alasan personal atau emosi berlebihan dari pelaku.

Jakarta feminis menemukan bahwa terdapat beberapa alasan femisida yang diungkapkan oleh pelaku. Pertama, permasalahan komunikasi yang mencakup rasa dendam, sakit hati, dan pertengkaran akibat kondisi ekonomi atau masalah keluarga. Kedua, masalah hubungan seperti cemburu atau tidak terima ketika diputuskan. Ketiga, kehamilan yang tidak diinginkan.

Baca juga: Hutan Lestari, Kunci Antisipasi Munculnya Penyakit Baru

Tidak berpihak pada korban

B-Pers, kamu pasti akan lebih berfokus untuk melihat keterlibatan pemerintah atau aparat hukum dalam menangani kasus femisida, bukan? Tapi, pernahkan kamu berpikir jika media massa turut berperan dalam kasus ini?

Perlu diketahui bahwa media massa memiliki pengaruh yang besar dalam membangun persepsi masyarakat terhadap kasus femisida yang terjadi. Ironinya, pemberitaan kasus femisida di media massa justru berusaha untuk mengeksploitasi korban. Alih-alih menyoroti kronologi kasus atau pelaku, pemberitaan yang ada justru lebih menyukai untuk mengulik privasi korban, menyebarkan informasi yang belum jelas, atau menghakimi identitas korban secara berlebihan.

Tentu saja, kamu pasti pernah menemukan judul berita yang menyudutkan atau melecehkan korban, bukan? Belum lagi isi berita yang justru cenderung membuka privasi korban atau menormalisasi kriminalitas yang dilakukan. Padahal, pemberitaan ini berpotensi memengaruhi persepsi masyarakat umum terhadap kasus yang diberitakan.

Baca juga: Fatmayana, Perempuan Pelopor Pendidikan di Bengkulu Utara

Beberapa hal yang dapat kamu soroti dalam pemberitaan femisida yang tidak berpihak pada korban, seperti:

a.     Framing berita yang cenderung memojokkan korban atau pelaku perempuan. Dalam hal ini, media massa akan menarasikan kondisi atau status kehidupan korban atau pelaku perempuan sebelum dan saat kasus itu terjadi.

b.     Membuka privasi korban yang mencakup nama lengkap, alamat lengkap, hingga foto korban tanpa sensor. Ironinya, pemberitaan tentang identitas pelaku justru dilingdungi menggunakan inisial.

c.     Penggunaan kata hiperbola untuk menarasikan kasus. Penggunaan kata hiperbola dilakukan untuk menarik perhatian pembaca. Padahal, hal ini justru akan membentuk persepsi aneh dan tak wajar dari pembaca. Tak jarang, kata yang digunakan justru meremehkan kasus yang terjadi.

d.     Objektifikasi terhadap korban perempuan. Objektifikasi terhadap korban perempuan menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan. Dalam kasus femisida, berita yang disajikan kerap dibumbui dengan opini penulis terhadap identitas korban atau atribut yang digunakan sebelum tewas. Kata yang kerap digunakan seperti wanita penghibur, seksi, montok, dan lainnya.

Keempat poin ini telah menggambarkan bagaimana korban tidak mendapatkan perlindungan dan keadilan yang layak bahkan setelah kematiannya. Dalam hal ini, pemberitaan perempuan di media massa cenderung mengumbar informasi korban daripada mengikuti kronologi kasus atau penangan yang dilakukan. Seakan tidak memiliki empati, media massa membumbui kasus femisida dengan menambahkan kata yang mengobjektifikasi korban perempuan untuk menarik perhatian pembaca.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Femisida

Artikel Lainnya

Anak Mantan Kombatan GAM,Berjibaku Pulihkan Trauma

Ketika Aku Memilih Berjuang: Dari KDRT Hingga Kebebasan

Ratu-ratu coding

Perempuan yang Merintis Jalan di Dunia Teknologi

Leave a Comment