Home » News » Peningkatan Sinergi Advokasi untuk Mencegah Perkawinan Anak

Peningkatan Sinergi Advokasi untuk Mencegah Perkawinan Anak

Bincang Perempuan

Data, News

Peningkatan sinergi advokasi untuk mencegah perkawinan anak

Tika, tahun ini usianya baru genap 30 tahun. Namun ia sudah memiliki 2 orang anak. Sulung menginjak tahun terakhir di SMP, dan si bontot sudah kelas 5 SD. Melihat dari jenjang pendidikan dua anaknya, bisa diketahui bila Tika menikah di usia relatif muda.

Tika menikah ketika usianya baru menginjak 15 tahun. Akibat pergaulan bebas, ia terpaksa menggantung seragam putih birunya di lemari. Sebagai konsekuensi, Tika hamil di luar nikah. Malu bertemu teman-teman di sekolah. Suaminya sedikit beruntung, masih bisa menamatkan bangku SMA.

“Sekarang supaya punya ijazah ya harus ambil program Paket,” kata Tika dengan raut wajah terlihat menyesal.

Baca juga: Kenapa Banyak Perempuan Memilih Childfree?

Lain pula dengan Puspita. Kondisi ekonomi keluarga yang sulit, membuatnya harus berdamai dengan nasib. Tak ada pilihan, menerima lamaran laki-laki yang usianya hampir sama dengan bapaknya. Selisih 23 tahun dengan Puspita, yang kala itu baru berusia 14 tahun.

“Namanya juga tinggal di dusun (kampung,red). Orang tua susah, kalau menikah kan ada suami yang memberi nafkah,” terangnya.

Cerita Tika dan Puspita, menjadi potret perempuan yang terpaksa menikah pada usia anak. Kasusnya lebih dari satu ataupun dua. Jamak dan masih terjadi hingga saat ini. Tidak hanya di Kota Bengkulu, namun merata di Provinsi Bengkulu.

Rekap Data Wilayah Hukum PTA di Bengkulu, sepanjang tahun 2022 ada 957 jenis perkara Dispensasi Kawin yang diputus dari total 979 permohonan yang masuk. Dari jumlah tersebut terbesar di Pengadilan Agama Manna, Bengkulu Selatan.

“Pendidikan rendah, kurang pengetahuan akibat faktor ekonomi dan sosial budaya menjadi penyebab pernikahan anak dibawah umur masih terjadi. Termasuk pergaulan bebas,” kata Kasi Penjangkauan dan Pendampingan Kasus UPTD PPA Provinsi Bengkulu, Tri Karlinda saat dikonfirmasi Bincang Perempuan lewat pesan singkatnya.

Budaya Masyarakat Membolehkan Perkawinan Anak

Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2) 2022 merilis sebanyak 350.000 anak perempuan di bawah 19 tahun dan 50.000 anak laki-laki di bawah 19 tahun menikah setiap tahunnya. Lebih dari 330.000 perkawinan anak dan remaja tidak tercatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA) atau Catatan Sipil, disebabkan orang tua tidak membawa kasus ini ke pengadilan.

Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesian Develompment (INFID) dan IJRS pada 2021, anak perempuan menikah di bawah 19 tahun, 56.1% responden menganggap boleh. Sedangkan 38.0% responden menganggap anak laki-laki di bawah 19 tahun boleh menikah.

Baca juga: Ketika Ibu Berjuang Kembali ke Sekolah

Knowledge Manager, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Arsa Ilmi, mengatakan faktor yang mendorong perkawinan anak oleh orang tua yaitu budaya masyarakat yang masih mendukung adanya perkawinan anak.

“Perilaku seksual di luar nikah dianggap aib, solusinya bagi masyarakat adalah menikah. Selain itu, orang tua dibenturkan oleh permasalahan ekonomi, kehilangan mata pencaharian sehingga anak dianggap beban ekonomi (dinikahkan sebagai solusi),” katanya.

Arsa Ilmi mengatakan pemberlakuan dispensasi sebagaimana yang terdapat pada pasal 7 ayat (2) diharapkan menjadi kontrol untuk dapat mengetahui siapa saja yang akan melakukan dan ingin melakukan perkawinan anak di bawah umur. Namun yang menjadi soal, sejauh mana dispensasi kawin bisa diimplementasikan dengan perspektif pencegahan perkawinan anak.

“Selama ini implementasinya diindikasikan hanya berdasarkan dispensasi kawin untuk mengizinkan dan tidak mengizinkan, seolah-olah tidak ada pertimbangan lainnya,” lanjutnya.

UU Perkawinan

Menilik kembali catatan hasil penanganan perkara dispensasi kawin oleh Sistem Manajemen Informasi Perkara Mahkamah Agung (SIPP), dalam lima tahun terakhir perkara dispensasi kawin yang diajukan ke Pengadilan Agama 95% dikabulkan, hanya 1% ditolak oleh hakim Pengadilan Agama.

Pengabulan oleh hakim Pengadilan Agama mengenai dispensasi perkawinan anak masih belum dirincikan secara jelas alasan mendesak yang dimaksud. Terbukti dengan adanya data anak perempuan tidak hamil (7 dari 10 perkara dispensasi kawin yang dikabulkan), anak perempuan hamil (31%), anak sudah melakukan hubungan seksual (16%), beresiko berada dalam hubungan seksual (4%), kedua anak saling mencintai (25%), anak beresiko melanggar nilai agama (21%) dan anak beresiko melanggar nilai sosial (8%) pada Analisis Dispensasi Kawin, AIPJ2 2019.

“Dari data yang ada, beberapa hal yang bisa dilakukan dan bisa kita dorong bersama-sama dalam upaya sinkronisasi dan penguatan terhadap kebijakan yang terkait dengan perkawinan anak. Pertama perlu adanya revisi PERMA 5/2019 dengan menekankan asas pencegahan perkawinan anak. Selanjutnya, alasan mendesak dan bukti pendukung perlu dilihat secara seragam dan jelas indikatornya. Lalu, pentingnya peran psikolog dan pekerja sosial untuk turut memberikan rekomendasi bagi pertimbangan Hakim. Terakhir, tentunya perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap praktik dispensasi kawin,” papar Arsa.

Ia menambahkan perlu sikap bersama untuk mendorong sinkronisasi dan penguatan terhadap kebijakan yang terkait dengan perkawinan anak.

“Pertama perlu adanya revisi PERMA 5/2019 dengan menekankan asas pencegahan perkawinan anak. Selanjutnya, alasan mendesak dan bukti pendukung perlu dilihat secara seragam dan jelas indikatornya. Lalu, pentingnya peran psikolog dan pekerja sosial untuk turut memberikan rekomendasi bagi pertimbangan Hakim. Terakhir, tentunya perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap praktik dispensasi kawin,” tegas Arsa.

Sementara itu, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Rohika Kurniadi Sari mengatakan meskipun orang tua pemohon telah mengetahui dampak negatif perkawinan anak, namun beberapa tetap bersikeras melakukan praktik perkawinan anak.

“Hanya sekitar 3-4% kasus orang tua pemohon menarik perkara dispensasi kawin setelah dijelaskan dampak negatif dari perkawinan anak oleh hakim Pengadilan Agama,” katanya.

Perkawinan Anak Berbasis di Pedesaan

Pengurus Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Masruchah mengatakan basis dari perkawinan anak terdapat di wilayah pedesaan. Artinya, pemerintah desa, aparat desa, khususnya Kepala Desa harus memiliki perspektif serta peran penting dalam pencegahan perkawinan anak, dan harus paham akan hak anak serta bahaya perkawinan anak. Menurutnya perlu ada Question Mainstreaming Gender saat rekrutmen atau pemilihan Kepala Desa. Hal ini karenakan Kepala Desa memiliki tugas untuk memastikan bagaimana tidak terjadi perkawinan anak ke depannya.

Menurut Masruchah, peran dan kolaborasi sejumlah organisasi untuk menyisir dan mendialogkan isu perkawinan anak juga diperlukan. Agar isu ini bisa semakin bersinergi menjadi gerakan masif. Adanya peran pejabat yang berwenang yaitu, Kemendikbud, Kemenag dan KPPA. Juga peran Kemendagri, Kemenko Polhukam dan yang lainnya juga diperlukan karena setiap organisasi memiliki pendekatan yang berbeda. Sehingga gerakan pencegahan perkawinan anak dan implementasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 bisa terintegrasi.

Menghadirkan desa inklusi juga bisa dilakukan sebagi upaya pencegahan perkawinan anak. Desa-desa inklusi yang telah hadir diharapkan bisa menjadi garda terdepan, contoh bagi desa-desa lainnya terkait isu perkawinan anak.

“Selain berbicara tentang isu budaya, isu kemiskinan dan isu agama, inklusi bisa pelan-pelan membicarakan persoalan perspektif gender, kepemimpinan perempuan, dan yang paling utama adalah isu pencegahan perkawinan anak,” pungkas Masruchah.(Ryen Meikendi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Femisida dan Pemberitaan yang Tidak Memihak Korban

Anggrek Merah Yuni Daud, Hadir dalam Rima Rupa

Ucapkan “Tobrut” Bisa Didenda Rp10 Juta

2 Comments

Leave a Comment