Home » Tokoh » Fonika Thoyib, Tertantang Lakukan Penguatan Literasi Digital bagi Perempuan dalam Memilih Tontonan

Fonika Thoyib, Tertantang Lakukan Penguatan Literasi Digital bagi Perempuan dalam Memilih Tontonan

Bincang Perempuan

Tokoh

Fonika Thoyib

REMOTE TV kami dikuasai ibu-ibu.” Celetukan salah satu peserta dalam forum diskusi yang pernah dihadirinya, menggelitik Fonika Thoyib untuk lebih serius meningkatkan pemahaman dan literasi digital bagi para perempuan dalam memilih tontonan, terutama televisi.

Dominasi ibu-ibu dalam memilih sebuah tontonan dalam keluarga. Sehingga sangat penting bagi ibu-ibu dapat memahami pilihan sebuah acara televisi sehingga dapat menciptakan tontonan yang sehat bagi keluarga.

“TV ini penguasanya kebanyakan ibu-ibu. Sehingga sangat penting bagi ibu-ibu memilih tontonan yang baik untuk keluarga,” kata Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Bengkulu ini.

Sejak bergabung di KPID Provinsi Bengkulu tahun 2016, Fonika memang telah membulatkan tekat untuk memberikan penguatan literasi bagi para perempuan dalam pemilihan sebuah tayangan televisi. Terlebih belakangan ini, program televisi seperti sinetron menimbulkan beberapa konflik di masyarakat karena telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Literasi digital perempuan
Fonika Thoyib

Padahal telah jelas tertera dalam pasal 14 Ayat 2 mengenai Perlindungan Anak yang berbunyi ‘‘Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.’’ Oleh karena itu, dia menilai sangat penting untuk para perempuan terutama ibu-ibu mendapatkan literasi media, agar dapat lebih cermat dalam menonton TV ataupun menerima informasi di berbagai media.

Baca juga: Jangan Asal Klik, Lindungi Data Pribadi

“Dulu waktu kuliah di S1 saya memang mengambil bidang pendidikan penyiaran televisi. Ini yang membuat saya tertarik di bidang penyiaran. Didukung pula dengan latar belakang advokasi terhadap perempuan dan anak,” cerita Fonika.

Diakui Fonika, televisi menayangkan program untuk kepentingan industri. Sehingga sangat wajar bila sinetron tetap terus diproduksi, meskipun kritik pedas terhadap sinetron Indonesia sangat kencang disuarakan. Makin dikritik, sinetron justru makin diminati.

“Sinetron setelah didalami tetap ada value (nilai, red). Seperti yang lagi booming sinetron Ikatan Cinta. Satu sisi ada yang menghujat sinetron buruk. Tapi hasil penelitian KPI kepemirsaan paling tinggi. Dari 31 persen selama pandemi menjadi 36 persen. Apakah tidak ada pilihan? Ada. News itu dihadirkan 40 persen loh oleh televisi. Tapi tetap sinetron yang ditonton,”

Fonika Toyib

Masyarakat sebagai penerima siaran, sebetulnya menjadi penentu. Pilihan tetap ada pada masyarakat. Sehingga, menjadi tantangan baginya untuk menguatkan literasi bagi masyarakat. “Boleh sinetron yang menjadi pilihan tontonan. Namun penguatan literasi yang diperlukan bagi masyarakat. Ini menjadi menarik, agar masyarakat bisa memilih tontonan yang sehat,” katanya.

Fonika pun makin tertantang untuk melakukan upaya dalam meningkatkan literasi digital masyarakat, terutama para perempuan. Pendekatan hak perempuan dan anak, menjadi konsentrasi yang dia perjuangkan. Memastikan lembaga penyiaran menyediakan ruang untuk perempuan dan anak. Serta, mendorong lembaga penyiaran dalam langka pemenuhan hak anak, dengan menyajikan konten yang ramah anak.

Fonika Thoyib lakukan penguatan literasi digital perempuan
Fonika Thoyib

Kelompok-kelompok perempuan menjadi targetnya. Dia pun gencar memberikan sosialisasi kepada organisasi perempuan. Fonika juga punya cara unik untuk memberikan edukasi. Bukan dengan berkampanye, namun dia memilih pendekatan dengan cara diskusi.

“Diajak berdiskusi, misalnya meminta pendapat mereka soal sinetron. Ada tidak pembelajaran yang bisa diambil dari sinetron yang mereka tonton. Diskusi ini lebih clear daripada kita menyampaikan imbauan kepada mereka. Saya juga manfaatkan kelompok arisan. Saya manfaatkan 15 menit untuk menguatkan literasi masyarakat. Termasuk juga di grup WhatsApp,” ungkapnya.

Pegiat literasi yang menyasar kelompok perempuan ini mengakui, bahwa perempuan termasuk mudah membagikan informasi yang diterimanya dengan tidak teliti. Bukan sebagai pembuat hoaks, tapi perempuan memang lebih mudah terpapar dalam artian lebih mudah menyebarkan informasi yang diterimanya.

“Perempuan ini tidak suka ribet, misalnya melakukan crosscheck sehingga ketika ada informasi yang diterima langsung membagikan,” katanya.

Baca juga: Gulung Tukar: Wadah Perempuan Tulungagung Lestarikan Kesenian

Sejumlah tantangan dalam meningkatkan literasi digital tentu saja dihadapi Fonika. Dia pun harus sabar menghadapi karakter masyarakat dari berbagai latar belakang. Satu hal penting yang selalu diyakini Fonika, yakni menjalin komunikasi yang baik. Sehingga tujuan dalam penguatan literasi pun dapat tercapai.

“Salah satu tantangan yang dihadapi, mereka sulit menerima sesuatu yang baru. Sehingga pendekatan dengan diskusi. Menjalin komunikasi yang baik. Bertemu orang-orang yang memiliki pandangan berbeda,” ungkap Fonika.

Lantas bagaimana dengan kualitas siaran di Bengkulu? Terutama siaran untuk TV lokal. Apakah siaran lokal sudah berpihak pada isu-isu keadilan gender?

“Siaran lokal lebih banyak news. Kalau keberpihakan pada isu-isu keadilan gender, mereka belum punya program khusus. Yang baru ada hanya TVRI, untuk program dunia wanita,”

Fonika Thoyib

Meski demikian, diakui Fonika, kualitas siaran TV lokal kini sudah semakin baik. Bila dulu dalam sebuah pemberitaan sangat bias, namun sekarang sudah sedikit lebih baik. “Namun kadang belum sensitif penyiaran yang berpihak pada keadilan gender. Misalnya pelaku korupsi, kalau wanita pasti dicari latar belakang keluarga, siapa suaminya dan lainnya. Kalau laki-laki tidak. Ini yang masih saya temui dalam siaran TV lokal,” katanya.

Dia pun berharap kualitas siaran TV lokal menjadi semakin baik. Apalagi saat ini pertelevisian dihadapkan pada era baru siaran digital. Terhitung 31 Maret 2022 siaran TV analog di Bengkulu sudah harus berganti menjadi siaran digital. Sehingga, saat ini sosialisasi migrasi siaran digital pun gencar dilakukan.

“Bengkulu sudah masuk tahap ketiga. Seluruh siaran analog per 31 Maret 2022 akan berhenti dan berganti melalui penyiaran digital, baik radio dan televisi yang ada di Bengkulu. Sosialisasi sudah dilakukan meski dengan komunitas terbatas,” terangnya.

Baca juga: Wahyu Widiastuti, Pentingnya Penguatan Pendidikan Politik Perspektif Gender

Komunikasi pun telah dilakukan dengan pihak pemerintah. Pada tahap awal, migrasi siaran digital ini dimulai pada wilayah Kota Bengkulu dan Bengkulu Tengah. “Kami sudah menjalin komunikasi dengan Diskominfo Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Tengah,” tutup Fonika. (betty herlina)

*) Produksi tulisan ini didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Yulia Suparti: Dari Sampah Ingin Menyelamatkan Dunia

Perempuan Pejuang Sampah Plastik di Indonesia

Sekolah Alam Mahira

Ummi Atik, Inisiator Sekolah Alam Mahira, Sekolah Ramah Disabilitas Pertama di Bengkulu

Leave a Comment