Home » Isu » Kesetaraan Gender » Fragile Masculinity dan Dampaknya pada Perempuan

Fragile Masculinity dan Dampaknya pada Perempuan

Cindy Hiong

Kesetaraan Gender

Fragile masculinity

Bincangperempuan.com- “Jadi perempuan jangan terlalu mandiri dong, nanti nggak ada laki-laki yang mau! Nggak usah terlalu sering ikut kegiatan ini itu, nanti nggak ada waktu untuk ngurusin laki-lakinya”. Laki-laki takut loh kalau terlalu mandiri dan cerdas.”

Padahal jika ingin jujur, kemandirian tidak ada relasinya dengan sebuah ketakutan. Sebaliknya sikap mandiri dapat membantu perempuan tersebut untuk mengatasi berbagai tantangan dan mencapai potensi penuh dalam berbagai aspek kehidupan.

Kalimat-kalimat tersebut nyata dan masih sering kita dengar sehari-hari. Dampak dari fenomena di masyarakat yang berkembang dalam masyarakat patriarki sehingga memunculkan istilah Fragile masculinity. Fragile masculinity adalah kelemahan atau ketidakmampuan seorang laki-laki untuk menanggung dan menerima identitasnya sebagai laki-laki, yang sering kali membuatnya cenderung menunjukkan perilaku agresif, dominan, dan tidak terbuka terhadap aspek-aspek yang dianggap lemah atau feminin.

@bincangperempuan

Kalau beneran peduli, harusnya dibantu dong jadi lebih baik bukan malah dibatasin berkembang suapaya semakin bergantung sama pasangan hft #perempuanberdaya #perempuanbisa #bincangperempuan #pemberdayaanperempuan

♬ Original Sound – Unknown

Fragile masculinity berasal dari pemahaman yang sempit tentang maskulinitas tradisional. Laki-laki dalam masyarakat patriarki diharapkan untuk menunjukkan kekuatan fisik, dominasi, dan ketidakmampuan untuk menunjukkan emosi sebagai tanda maskulinitas yang kuat. Ketika seorang pria tidak dapat memenuhi ekspektasi ini, muncullah fragile masculinity. Laki-laki yang mengalaminya cenderung merasa terancam oleh segala sesuatu yang dianggap mengancam identitas maskulinitas mereka.

Istilah “Fragile Masculinity” berasal dari bahasa Inggris. “Fragile” dalam bahasa Inggris artinya rapuh atau mudah rusak, sementara “Masculinity” mengacu pada sifat atau karakteristik yang dianggap khas atau tradisional dari maskulinitas atau kejantananku.

Pertama kali muncul pada awal abad ke-21, dan penggunaannya semakin populer dalam diskusi tentang gender dan maskulinitas. Konsep ini berkembang sebagai respons terhadap pemahaman tradisional tentang maskulinitas yang menekankan kekuatan fisik, dominasi, dan ketidakmampuan untuk menunjukkan tanda-tanda kelemahan atau emosi.

Meskipun tidak ada tanggal pasti untuk kemunculannya, konsep maskulinitas yang rapuh mulai diperbincangkan secara luas dalam konteks budaya, media, dan penelitian akademis pada dua dekade terakhir. Sejak itu, istilah ini telah menjadi bagian integral dari pembicaraan seputar peran gender dan bagaimana norma-norma tersebut dapat memengaruhi individu dalam masyarakat modern.

Seperti dilansir dari Jurnal Opini Terkini dalam Ilmu Perilaku Volume 34, August 2020, Sarah H DiMuccio dan Eric D Knowles menulis tentang The political significance of fragile masculinity, fragile masculinity, adalah maskulinitas yang rapuh mengacu pada kecemasan yang dirasakan oleh laki-laki yang percaya bahwa mereka gagal memenuhi standar budaya tentang kejantanan.

Joseph Vandello dan Jennifer Bosson (2013) mengembangkan teori bahwa kejantanan secara luas dilihat sebagai status sosial yang genting yakni sesuatu yang diperoleh dengan susah payah dan mudah hilang. Karena itu, pria sering melakukan berbagai hal untuk membuktikan kejantanan mereka kepada orang lain, terutama ketika mereka merasa kejantanan laki-laki terancam.

Baca juga: Bincang Perempuan, Terpilih Mengikuti  Training Advance AMSI Didukung Internews-USAID MEDIA


Ciri-ciri Fragile Masculinity

  • Ketakutan terhadap ketidakmampuan, laki-laki yang mengalami fragile masculinity seringkali takut untuk menunjukkan kelemahan atau ketidakmampuan. Mereka merasa perlu untuk terus membuktikan kejantanannya, bahkan jika itu berarti menekan emosi mereka.
  • Kecenderungan dominasi, laki-laki dengan fragile masculinity sering kali menunjukkan perilaku dominan untuk menciptakan rasa kekuatan dan kontrol. Mereka mungkin cenderung mengontrol situasi dan orang lain sebagai cara untuk mengatasi ketidakpastian internal mereka.
  • Ketidakmampuan menerima perbedaan: laki-laki yang terjerat dalam konsep fragile masculinity sulit menerima perbedaan dan keanekaragaman. Mereka mungkin merasa terancam oleh pria atau perempuan yang tidak memenuhi norma-norma maskulinitas tradisional.
  • Rasa terancam oleh femininitas: fragile masculinity sering kali muncul dalam bentuk penolakan terhadap segala sesuatu yang dianggap feminin. Laki-laki yang mengalaminya mungkin enggan untuk menunjukkan perhatian, empati, atau kepekaan, karena hal-hal tersebut dianggap sebagai tanda kelemahan.

Dampak Fragile Masculinity pada Perempuan

  • Perilaku kontrol dan kekerasan, laki-laki dengan fragile masculinity cenderung menggunakan perilaku kontrol dan kekerasan untuk mempertahankan citra maskulinitas mereka. Hal ini dapat mengakibatkan hubungan yang tidak sehat dan bahkan kekerasan dalam rumah tangga.
  • Pembatasan kesetaraan gender, fragile masculinity dapat menjadi penghambat terhadap perubahan positif dalam masyarakat terkait kesetaraan gender. Laki-laki yang tidak mampu menerima peran dan identitas yang fleksibel bagi perempuan cenderung mempertahankan struktur patriarki yang membatasi perempuan.
  • Penekanan terhadap perempuan, sebagai upaya untuk memperkuat identitas maskulinitas mereka, laki-laki dengan fragile masculinity mungkin menekan perempuan dan menganggap mereka sebagai ancaman. Hal ini dapat membatasi peluang perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan karier.
  • Ketidakmampuan berempati, fragile masculinity juga dapat mengakibatkan ketidakmampuan pria untuk berempati dan memahami pengalaman perempuan. Hal ini menciptakan kesenjangan empati yang dapat menghambat perkembangan hubungan antara gender.

Baca juga: Dukungan Kepala Daerah Agar Bisa Wujudkan Produk Olahan Kecombrang Sebagai Ikon


Upaya Mengatasi

  • Pendidikan dan kesadaran, dengan meningkatkan pemahaman tentang fragilitas maskulinitas melalui pendidikan dan kesadaran adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah ini. Meningkatkan kesadaran, masyarakat dapat memecah stereotip gender dan memberikan ruang yang lebih besar bagi ekspresi identitas individu.
  • Pendekatan psikologis, terapi atau konseling psikologis dapat membantu laki-laki yang mengalami fragile masculinity untuk menjelajahi dan memahami sumber ketidakpastian mereka. Memahami dan mengatasi rasa takut mereka, laki-laki dapat membangun identitas yang lebih kokoh tanpa perlu mengandalkan tanda-tanda maskulinitas yang sempit.
  • Pemberdayaan perempuan, memberdayakan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, ekonomi, dan politik, adalah kunci untuk mengurangi dampak. Ketika perempuan memiliki akses yang sama dengan laki-laki maka dinamika kekuasaan yang tidak seimbang dapat berkurang.
  • Promosi tokoh positif, masyarakat perlu memberikan perhatian lebih pada tokoh laki-laki yang mempromosikan maskulinitas positif dan seimbang. Mengakui keberagaman identitas laki-laki yang kuat, tanpa harus mengandalkan dominasi atau penekanan terhadap perempuan, dapat membentuk pandangan yang lebih positif.

Fragile masculinity memiliki dampak yang signifikan pada perempuan dan masyarakat secara keseluruhan. Memahami akar permasalahan ini dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi fragilitas maskulinitas dapat membuat menciptakan masyarakat yang lebih seimbang, adil, dan mendukung perkembangan individu tanpa memandang jenis kelamin. Penting untuk terus mempromosikan dialog terbuka tentang gender, menghilangkan stereotipe yang membatasi, dan membangun fondasi untuk kesetaraan yang lebih baik di masa depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Women Media Collabs didukung oleh UNDP Indonesia

Kolaborasi Media Perempuan Mendorong Ruang Digital Aman

Apa itu femisida?

Femisida: Memahami Kekerasan Berbasis Gender dan Tindakan Pencegahannya

Bisakah Indonesia Mencontoh Islandia, Soal Kesetaraan Gender

Bisakah Indonesia Mencontoh Islandia, Soal Kesetaraan Gender?

Leave a Comment