Forum Pengada Layanan (FPL) dan Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) bersama Penyintas kekerasan seksual, menyambut baik dan mengapresiasi komitmen Panitia Kerja RUU TPKS yang saat ini sedang melakukan pembahasan Tingkat I bersama pemerintah. Ini disampaikan narahubung FLP dan JMS untuk wilayah Bengkulu, Susi Handayani, Senin (4/4) dalam rilisnya.
Ia mengatakan, ada sejumlah capaian dalam substansi RUU TPKS. Mulai dari pengaturan pencegahan, hukum acara, pemidanaan, pengaturan restitusi dan hak bagi korban, keluarga korban, saksi, ahli serta pendamping. Termasuk peran masyarakat sipil dalam pemantauan, pelayanan terpadu, peran lembaga layanan milik masyarakat, aturan tentang korban dengan disabilitas dan diakomodirnya beberapa bentuk kekerasan seksual salah satunya pemaksaan perkawinan.
“Hal ini menunjukan pemahaman dan kebutuhan korban dalam proses pencegahan, penanganan hingga pemulihan sangat diperhatikan sehingga dapat diakomodir dalam pembahasan harmonisasi terhadap RUU TPKS oleh Legislatif dan Eksekutif,” katanya.
Meskipun demikian, lanjut Susi, kerja panjang terhadap RUU TPKS masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar. Yakni, tidak masuknya aturan tentang tindak pidana perkosaan, pengaturan tentang eksploitasi seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik yang belum konkrit, serta jaminan layanan aman bagi korban perkosaan untuk menguatkan pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan.
“Hal-hal tersebut menjadi perhatian besar kami karena dalam pendampingan korban, keempat bentuk kekerasan seksual tersebut merupakan realita dan perlu diatur dalam RUU TPKS tersebut,” imbuhnya.
Pemaksaan hubungan seksual atau perkosaan merupakan salah satu bentuk kekersan seksual yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dengan modus, cara, kerugian dan alat yang digunakan pelaku untuk merendahkan dan menyengsarakan korban. Sudah seharusnya tindak pidana ini masuk dalam bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam RUU TPKS sebagai UU Lex Specialis.
Tanpa pengaturan dalam RUU ini, lanjut Susi, maka korban perkosaan termasuk korban perkosaan yang kemudian hamil rentan mengalami kriminalisasi karena minimnya ketersediaan layanan aman seperti yang pelaku sudah dijamin dalam UU Kesehatan. Begitu pula halnya dengan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). KSBE seharusnya diatur dalam RUU TPKS. Peraturan perundangan yang ada saat ini belum melindungi korban KSBE bahkan cenderung mengkriminalisasi korban KSBE.
Untuk pemenuhan hak korban dan jaminan perlindungan serta keadilan, FPL dan JMS mendorong Panja RUU TPKS DPR RI dan Pemerintah untuk mengakomodir:
- Masuknya pengaturan tentang Tindak Pidana Perkosaan dan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) sebagai bentuk Tindak Pidana yang diatur dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang menjadi norma hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.
- Masuknya Jaminan layanan aman bagi korban perkosaan dan korban kekersan seksual yang berdampak pada aborsi untuk mendapat layanan yang termuat dalam RUU TPKS
- Pengaturan dan norma eksploitasi seksual yang lebih tegas
- Menyelesaikan pembahasan Tingkat I dan segera melanjutkan proses pembahasan Tingkat II untuk RUU TPKS
- Pengesahan RUU TPKS maksimal bulan April 2022, yaitu pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2021-2022.
Untuk diketahui, FPL dan JMS bersama Penyintas kekerasan seksual, merupakan jaringan yang menggagas dan mengadvokasi Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sejak tahun 2015 sampai saat ini. FPL dan JMS berada di Wilayah Indonesia mulai dari Aceh sampai Papua.
FPL dan JMS terdiri dari berbagai lembaga yang konsisten memberikan layanan bagi korban kekerasan seksual berupa layanan pengaduan, bantuan hukum, pemulihan dan pendampingan korban. Dalam mengawal RUU TPKS, FPL dan JSM telah melakukan serangkaian advokasi mulai dari penelitian, pendokumentasian kasus, pengumpulan data kasus, dialog dengan pemerintah dan anggota DPR RI bahkan pimpinan partai politik, selain melakukan kampanye dan edukasi publik untuk mendukung proses pengesahan RUU TPKS yang berpihak pada korban. (**)