Home » News » Jawa Barat Tertinggi, Pelaku Femisida Masih Didominasi Suami

Jawa Barat Tertinggi, Pelaku Femisida Masih Didominasi Suami

Bincang Perempuan

News

Bincangperempuan.com-  Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama jumlah peristiwa femisida paling banyak berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).  

Kasus femisida intim menempati posisi tertinggi. Masih terdapat isu yang memerlukan penelitian lebih lanjut, yaitu femisida terhadap perempuan yang dilacurkan (pedila), perempuan lansia, lilitan utang pinjol, dan beban berlapis istri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan seksual yang berujung femisida.

Pemantauan tahun ini juga memotret tumbuhnya berbagai prakarsa organisasi masyarakat sipil untuk mengembangkan dan memperluas pengetahuan tentang femisida baik melalui pendokumentasian, kampanye publik, penelitian maupun penanganan kasus melalui amicus curiae dan restitusi.

Komisioner Retty Ratnawati menyampaikan, berdasarkan Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 Tahun 2017 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan, kekerasan berbasis gender menjadi hambatan kritis untuk mencapai kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki, serta penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar perempuan.

Komite CEDAW mendesak negara untuk secara teratur mengumpulkan, menganalisis dan mempublikasikan data statistik tentang kekerasan terhadap perempuan, dengan fokus khusus pada data administratif tentang pembunuhan terkait gender perempuan dan anak perempuan atau femisida.

Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan, Dubravka Simonic (2015) dalam kajiannya tentang Kekerasan terhadap Perempuan: Penyebab dan Konsekuensinya, merekomendasikan negara pihak agar membentuk femicide watch dan menyampaikan ke publik terkait pencapaian pencegahan, penanganan dan pemulihan keluarga korban pada setiap 25 November sebagai bagian peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

“Ketersediaan data tentang kasus femisida merupakan hal yang penting sebagai pintu masuk proses analisis kerentanan perempuan, agar selanjutnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan, penanganan adil gender dan pemulihan untuk korban.  Karenanya Komnas Perempuan menginisiasi pemantauan data sekunder berupa pantauan media kasus pembunuhan terhadap perempuan ini,” papar Retty menjelaskan latar-belakang pemantauan femisida dalam rilisnya.

Baca juga: Film Vina, Kekerasan Seksual Berbasis Gender dan Femisida

Pelaku Femisida Didominasi Suami

Sementara Komisioner Siti Aminah Tardi menyampaikan bahwa seperti halnya laporan tahun sebelumnya, femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan suami mendominasi yang mencapai 26% (71 kasus), diikuti yang dilakukan oleh pacar mencapai 17% (47 kasus), oleh anggota keluarga sebesar  11 % (29 kasus) dan pengguna layanan seksual sebesar 6% (16 kasus).

Pembunuhan atau penganiayaan yang menyebabkan kematian ini umumnya menggunakan benda-benda yang ada di sekitar peristiwa, seperti batu, bambu, palu,balok, kain, sabuk atau tali, disusul dengan penggunaan kekuatan fisik atau digabungkan dengan penggunaan benda tumpul dan/atau senjata tajam yang menunjukkan tingkat sadistis pembunuhan. Ciri-ciri khas lainnya dari femisida yang terpantau adalah tubuh atau organ seksual yang dirusak, penelanjangan, mutilasi, kekerasan seksual sebelum,selama dan sesudah kematian, disembunyikan sampai dengan dibakar.

“Alasan tertinggi yang terungkap adalah cemburu atau sakit hati, penolakan hubungan seksual, masalah finansial dan kekerasan seksual. Kita harus hati-hati dengan narasi cemburu yang digunakan untuk menjustifikasi tindakan para pelaku femisida dan menempatkan korban sebagai pihak yang memprovokasi. Apa pun alasannya, tidak dibenarkan menyakiti sampai membunuh orang lain,” tegas Siti Aminah Tardi.

Lebih lanjut, Komnas Perempuan juga mencatatkan, sejumlah  perkembangan pada 2024 seperti istilah femisida sudah lebih diterima oleh publik khususnya media massa, berbagai prakarsa untuk mengenali dan kampanye penghapusan femisida antara lain melalui kampanye di media sosial, permohonan wawancara dari wartawan dan sejumlah penelitian femisida di Indonesia.

Pada penanganan kasus femisida, tercatat inisiatif pengajuan restitusi bagi keluarga korban pada kasus femisida intim oleh RT oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Surabaya dan Amicus Curiae dari LBH Bandung dan LBH Fahmina dalam kasus femisida di Kuningan.

“Kami merekomendasikan ke depan pola pengajuan restitusi dalam kasus femisida intim di Surabaya diadopsi pada kasus lainnya,” tambah Siti Aminah

Baca juga: Ketika Kuasa Pasangan Mengancam Nyawa

Konstruksi Media Massa Dalam Memberitakan Femisida

Sementara itu, konstruksi media massa merupakan dasar penting bagi tumbuhnya berbagai prakarsa pemantauan dan pengembangan pengetahuan dari perempuan tentang femisida, pencegahan dan penanganannya termasuk pemulihan keluarga terdampak dan anak-anak yang menyaksikannya.

“Hal ini karena pengaduan kasus femisida ke organisasi penyedia layanan dan lembaga HAM seperti Komnas Perempuan, hampir tidak ada. Femisida diperlakukan sebagai pembunuhan pada umumnya padahal ada aspek relasi kuasa dan interseksi dengan kerentanan lainnya dalam kasus penghilangan nyawa terhadap perempuan. Oleh karena itu pemberitaan media massa menjadi penting, bukan saja sebagai sumber utama kajian melainkan juga untuk pengawalan kasus,” kata Komisioner Rainy Hutabarat.

Rainy menyoroti konstruksi media massa dalam memberitakan kasus pembunuhan terhadap perempuan. Dari pemantauan ditemukan bahwa berita pembunuhan terhadap perempuan belum berperspektif gender dan korban. Berita tidak dikonstruksikan dalam kerangka femisida.

“Relasi kuasa antara pelaku-korban masih kurang digali, demikian juga femisida yang ditandai konflik dengan pasangan intim, tak dilengkapi eskalasi konflik dan adanya kekerasan berulang. Sumber berita media massa adalah informasi yang disampaikan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian. Diksi yang bias banyak digunakan, juga viktimisasi korban, penghalusan kata yang menimbulkan citra negatif. Meski diksi femisida sudah terdaftar di Kamus Besar Bahasa Indonesia keluaran Pusat Bahasa, namun masuh banyak media massa yang belum menggunakan diksi ini,” lanjutnya.

Bertolak dari hasil-hasil  pemantauan pemberitaan femisida tahun 2024, Komnas Perempuan antara lain mendorong agar  Biro Pusat Statistik (BPS) melakukan pendataan terpilah femisida dengan mengacu standar UNODC dan UN Women;  Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan membangun sistem data terpilah berbasis gender untuk kasus pembunuhan dan atau penganiayaan yang menyebabkan kematian.

Untuk memenuhi keadilan bagi korban, hakim perlu mengintegrasikan indikator femisida sebagai alasan pemberatan dalam putusan pengadilan dan aparat penegak hukum mengajukan restistusi atau ganti kerugian kepada pelaku untuk selanjutnya diberikan ke Ahli Waris Korban. Komnas Perempuan juga mendorong Kemen-PPPA agar membangun: (1) Sistem penilaian Tingkat Kebahayaan pada kasus KDRT/KDP untuk mencegah eskalasi kekerasan yang memburuk atau berakhir femisida; (2) Memfasilitasi fasilitas pemulihan bagi keluarga korban femisida.

Untuk diketahui, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember 2024, Komnas Perempuan meluncurkan hasil pemantauan tentang pembunuhan perempuan berbasis gender atau femisida tahun 2024. Pemantauan dilakukan melalui pemberitaan media online untuk periode 1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024, dengan menyaring 33.225 berita dan ditemukan 290 kasus dengan indikasi femisida.

Pemilihan Hari HAM dilandasi kesadaran bahwa hingga hari ini perempuan dan anak perempuan korban femisida belum memperoleh keadilan dan keluarga terdampak termasuk anak-anak korban, belum mendapat pemulihan menyeluruh. Peluncuran ini merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP).(rilis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Anak Mantan Kombatan GAM,Berjibaku Pulihkan Trauma

Skincare Mix & Match 15 Kandungan yang Aman Digunakan Bersamaan

Skincare Mix & Match: 15 Kandungan yang Aman Digunakan Bersamaan

Review Film It Ends With

It Ends With Us: Perjuangan Melawan KDRT dan Memutus Trauma

Leave a Comment