Bincangperempuan.com- Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu ramai berseliweran di media sosial, terutama di platform X (sebelumnya Twitter). Tagar ini berisi curhatan netizen Indonesia yang ingin pindah ke luar negeri karena berbagai alasan, mulai dari tekanan ekonomi, ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, hingga sekadar mencari kehidupan yang lebih layak. Fenomena ini pun memicu diskusi luas: apakah ini sekadar tren, atau justru cerminan dari keresahan masyarakat Indonesia saat ini?
Kenapa Banyak yang Ingin “Kabur”?
Tagar #KaburAjaDulu bukan sekadar keluhan spontan, melainkan berakar pada berbagai faktor yang membuat orang merasa sulit untuk berkembang di dalam negeri. Salah satu penyebab utama adalah ketidakstabilan ekonomi. Biaya hidup yang semakin tinggi, lapangan pekerjaan yang terbatas, serta gaji yang tidak sebanding dengan kebutuhan hidup membuat banyak orang merasa terjebak dalam ketidakpastian.
Sosiolog Musni Umar dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menilai bahwa fenomena ini muncul karena generasi muda terdidik merasa masa depan mereka suram di dalam negeri. Tercermin dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa hingga Agustus 2024, terdapat 842.378 lulusan S1, S2, dan S3 yang masih menganggur. Sementara itu, total pengangguran di Indonesia mencapai 7.465.599 orang, belum termasuk mereka yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan minim.
Menurut Musni Umar, ketidakpastian masa depan ini mendorong banyak orang untuk mencari peluang di luar negeri, baik untuk bekerja maupun menetap secara permanen. Mereka tidak hanya mencari gaji yang lebih layak, tetapi juga jaminan kesehatan, pendidikan berkualitas untuk anak-anak mereka, dan stabilitas sosial yang lebih baik dibandingkan di Indonesia.
Baca juga: Perempuan Pembela HAM: Kerja Pro Bono Hingga Dicemooh
Ketika Harapan Menipis: Pekerjaan Minim, Kasus Penipuan Meningkat
Di tengah sulitnya mencari pekerjaan yang layak, banyak orang akhirnya tergoda dengan tawaran kerja di luar negeri yang terdengar menjanjikan. Sayangnya, tidak semua tawaran tersebut nyata. Belakangan ini, kasus perdagangan manusia dan penipuan tenaga kerja semakin marak. Banyak WNI yang tergiur gaji besar justru terjebak dalam pekerjaan ilegal, seperti admin situs judi online di Kamboja yang ternyata merupakan bagian dari jaringan kriminal.
Kasus seperti ini menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan pekerjaan di dalam negeri, sampai-sampai orang rela mengambil risiko besar hanya untuk kesempatan bekerja di luar negeri. Minimnya perlindungan tenaga kerja dan lemahnya regulasi juga memperparah kondisi ini, membuat masyarakat semakin putus asa.
Kekecewaan Terhadap Kebijakan dan Kondisi Sosial
Selain faktor ekonomi, kondisi sosial dan politik juga turut berperan dalam keinginan masyarakat untuk “kabur” ke luar negeri. Dalam beberapa bulan terakhir, berbagai kebijakan pemerintah menuai protes, mulai dari polemik kenaikan PPN, penggelembungan APBN akibat banyaknya kementerian, program makan siang gratis, demo ASN terhadap Menteri Pendidikan, polemik subsidi gas elpiji, hingga berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang masih belum terungkap hingga kini.
Banyak masyarakat merasa bahwa pemerintah gagal memberikan solusi konkret terhadap permasalahan yang ada. Mereka melihat negara lain sebagai tempat yang lebih kondusif untuk berkembang, baik dari segi karier maupun kualitas hidup.
Kondisi ini semakin mendorong individu dengan keterampilan tinggi, terutama di bidang teknologi, sains, dan seni, untuk mencari peluang di luar negeri. Apresiasi serta kesempatan yang mereka dapatkan di sana sering kali jauh lebih baik dibandingkan di Indonesia. Akibatnya, banyak dari mereka memilih untuk membawa keterampilan dan keahlian mereka ke negara yang lebih menghargai serta memberikan kompensasi yang layak.
Fenomena Brain Drain: Indonesia Kehilangan Talenta Terbaiknya?
Dalam dunia sosiologi, fenomena ini dikenal sebagai brain drain, yaitu ketika individu dengan keterampilan tinggi memilih untuk meninggalkan negaranya demi mencari kesempatan yang lebih baik di luar negeri. CNA Indonesia melaporkan bahwa brain drain dapat menjadi ancaman serius bagi negara asal, karena berkurangnya tenaga profesional yang seharusnya bisa berkontribusi dalam pembangunan.
Para ahli menilai bahwa fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar tren media sosial, melainkan refleksi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi yang ada. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi dan sosial, gelombang brain drain ini bisa terus berlanjut, menghambat kemajuan Indonesia dalam jangka panjang.
Baca juga: Benarkah Laki-Laki Hidup Lebih Singkat? Ini Penjelasannya!
Pergi atau Bertahan?
Lalu, apakah “kabur” adalah solusi terbaik? Bagi sebagian orang, pindah ke luar negeri bisa menjadi keputusan rasional—jika ada kesempatan dan sumber daya yang cukup, mengapa tidak mencari kehidupan yang lebih baik?
Namun, ada juga yang beranggapan bahwa perubahan harus dimulai dari dalam. Indonesia tidak akan menjadi lebih baik jika semua orang berbakat memilih pergi. Justru, dengan bertahan dan berkontribusi, perubahan dapat terjadi.
Pada akhirnya, keputusan untuk pergi atau bertahan adalah hak masing-masing individu. Yang jelas, tagar #KaburAjaDulu bukan hanya sekadar tren sesaat, tetapi sebuah cerminan dari keresahan yang nyata di masyarakat. Jika pemerintah ingin mencegah brain drain semakin besar, maka perbaikan sistem, peningkatan kesejahteraan, dan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat harus menjadi prioritas utama.
Referensi:
- CNA Indonesia. (2024). Brain Drain: Tagar #KaburAjaDulu, WNI Pindah ke Luar Negeri. Diakses dari https://www.cna.id/lifestyle/brain-drain-tagar-kabur-aja-dulu-wni-pindah-luar-negeri-27741.
- Batam Pos. (2024). Judi di Kamboja Pekerjakan Banyak WNI, Umumnya Tergiur Gaji Besar Sebagai Admin Judol.Diakses dari https://news.batampos.co.id/judi-di-kamboja-pekerjakan-banyak-wni-umumnya-tergiur-gaji-besar-admin-judol.
- Tempo. (2024). Catatan Kritis di Balik Pencapaian 100 Hari Pertama Prabowo-Gibran. Diakses dari https://www.tempo.co/politik/catatan-kritis-di-balik-pencapaian-100-hari-pertama-prabowo-gibran-1197599.