Bincangperempuan.com- Nama saya, Kayum. Saya dilahirkan di Desa Pal VIII, Kabupaten Rejang Lebong pada 5 September 1964. Saya anak keempat dari enam bersaudara, terdiri dari empat orang perempuan dan dua orang laki-laki, dari pasangan Rohani dan Ahmad Ripai. Ibu bersuku Rejang, dan bapak bersuku Sunda.
Ibu dan bapak adalah petani. Sebelum saya bersekolah di SD, orangtua memanfaatkan kebun untuk bertanam padi darat, kacang kedelai, cabai, cung, daun bawang, perenggi, jagung dan lainnya. Orangtua sering mengajak saya ke kebun. Di kebun, biasanya saya bermain, tidur dan membantu orangtua. Selain ikut memanen sayuran, saya juga sering ikut memotong padi secara bergotong-royong menggunakan ani-ani.
Saat bersekolah di SD, orangtua mengganti tanaman di kebun dengan kopi. Orangtua memutuskan untuk mengganti dengan kopi karena program pemerintah, saat itu disebut Bimas (Bimbingan Massal). Kopi yang dibagikan dikenal pula dengan sebutan kopi Bimas. Sepulang dari sekolah, saya masih sering ke kebun untuk membantu orangtua. Terkadang, saya juga membantu untuk mencari kayu bakar.
Bila tidak sedang ke kebun, saya biasanya membantu mengerjakan pekerjaan di rumah seperti memasak, membersihkan rumah, membersihkan peralatan makan dan minum serta peralatan memasak. Setelah ibu pulang dari kebun, biasanya saya bermain bersama teman-teman.
Saya bersekolah di SD di Desa Pal VIII, dan SMP di Kota Curup. Sewaktu sekolah di Kota Curup, saya tinggal di rumah bibi. Setelah menamatkan SMP, saya tidak melanjutkan ke jenjang SMA, dan kembali ke Desa Pal VIII. Sama seperti sebelumnya, saya sering membantu pekerjaan orangtua di rumah dan kebun.
Baca juga: Purwani, Perempuan Pelestari Hutan Larangan di Bengkulu
Setahun setelah saya menamatkan SMP, ibu mulai membuat usaha dengan membuka warung di rumah yang menjual berbagai keperluan rumah tangga. Sejak ibu membuka usaha warung, saya pun mulai agar jarang membantu orangtua di kebun karena diminta untuk membantu menjaga warung. Selain itu, saya juga mulai ikut kursus menjahit.
Pada tahun 1987, saya menikah dengan Edi Sunardi, warga Kota Palembang yang bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta. Saya mengenalnya di Kota Palembang, Sumatera Selatan karena setelah tidak lagi bersekolah, saya sering ke Kota Palembang ke rumah bibi. Buah dari pernikahan, saya melahirkan anak perempuan yang diberi nama Nora Estikasari pada tahun 1988. Namun, tidak lama setelah Nora lahir, saya dan suami berpisah (bercerai).
Dua tahun setelah berpisah, saya menikah dengan Suroso. Dia pendatang dari Jawa yang bertugas sebagai guru di SMP Negeri 14 di Desa Pal VIII. Buah dari pernikahan dengan suami, saya melahirkan tiga orang anak laki-laki. Yakni, Panji Prakoso yang lahir pada tahun 1991, Dimas Nurcahyo yang lahir pada tahun 1993, dan terakhir bernama Widi Handoko yang lahir pada tahun 2000. Namun, pada tahun 2015, Widi meninggal dunia.
Sekitar satu tahun setelah kelahiran Dimas, saya mulai menjalankan usaha berjualan di kantin di sekolah tempat suami bekerja. Saya berjualan beragam makanan seperti soto, mie, lontong,lotek dan lainnya. Saya berhenti berjualan di sekolah pada tahun 2000, setelah Widi lahir, dan kami pindah rumah. Setelah pindah, saya mulai menjalankan usaha membuat beragam macam makanan seperti kue tat, tusuk gigi, keripik ubi sambal dan es mambo yang dititipkan di warung warung sekitar desa, dan memanfaatkan lahan di sekitar rumah untuk berkebun cabai, tomat, sawi, kacang panjang, kol, buncis, terong dan lainnya. Selain untuk kebutuhan sendiri, hasil panen juga dijual.
Pada tahun 2010, suami dipindahtugaskan ke SMP Negeri 33 di Desa Sumberejo Transad, Kabupaten Rejang Lebong dan ditunjuk sebagai kepala sekolah. Sejak suami menjadi kepala sekolah, saya tidak lagi menjalankan usaha membuat dan menjual makanan karena mulai sibuk berkegiatan sebagai Ketua Dharma Wanita di SMP Negeri 33, dan dilibatkan sebagai pengurus TP PKK Kecamatan Bermani Ulu Raya. Selanjutnya, pada tahun 2018 suami kembali dipindahtugaskan ke SMP Negeri 14 dan ditunjuk sebagai kepala sekolah, dan saya juga menjadi Ketua Dharma Wanita di SMP Negeri 14. Pada tahun 2021, suami saya meninggal.
Saat ini, saya sudah memiliki enam orang cucu. Tiga orang cucu laki-laki yang dilahirkan oleh Nora, satu orang cucu laki-laki dan satu orang cucu perempuan yang dilahirkan oleh istri Panji, dan satu orang cucu laki-laki yang dilahirkan oleh istri Dimas.
Walau saya lahir dan besar di Desa Pal VIII, namun saya baru mengetahui TNKS setelah saya ikut membentuk KPPL Maju Bersama. Sebelumnya, saya hanya mengenal kehutanan atau hutan larangan, yaitu hutan yang dilarang untuk dimasuki, dilarang untuk menebang pohon dan dilarang untuk digarap menjadi kebun. Cerita yang saya dengar cukup menakutkan. Mengetahui ada petugas kehutanan masuk ke desa untuk berpatroli ke hutan larangan saja, warga merasa ketakutan dan berupaya menghindar agar tidak bertemu dengan petugas.
Pernah suatu waktu, mungkin sekitar tahun 1993, warga Desa Pal VIII dikecam ketakutan oleh ulah petugas kehutanan, yang dikenal dengan sebutan polsus. Selama beberapa hari, mereka mendatangi satu per satu rumah warga untuk mengecek apakah ada kayu yang disimpan di sekitar rumah warga. Bila ada warga yang menyimpan kayu, maka warga tersebut akan dimintai keterangan. Bila kayu yang disimpan tidak memiliki tanda dari depot kayu, maka kayu akan dianggap diambil dari hutan larangan. Sehingga, kayu akan diambil oleh petugas kehutanan, dan warga yang menyimpan atau memilikinya akan ditindak.
Ulah petugas kehutanan tersebut membuat hampir semua bapak-bapak atau kaum laki-laki ketakutan, kendati tidak semua warga menyimpan dan memiliki kayu. Sehingga, ketika mendapatkan informasi bahwa petugas kehutanan baru tiba di desa, bapak-bapak langsung meninggalkan rumah, dan pergi entah kemana. Hanya ibu-ibu dan anak-anak yang tidak meninggalkan rumah dan tidak merasa ketakutan untuk bertemu dengan petugas kehutanan.
Selain itu, saya juga pernah mendengar beberapa orang warga Desa Pal VIII yang menggarap hutan larangan dan membawa kayu dari hutan larangan yang ditangkap dan dipenjara, termasuk mendengar cerita tentang pondok kebun di hutan larangan dibakar, dan tanaman kopi yang ditanam oleh penggarap hutan larangan ditebang oleh petugas kehutanan.
Orang yang pertama kali mengajak saya untuk membentuk KPPL Maju Bersama adalah Ibu Rita Wati. Lalu, saya bersama perempuan lainnya menghadiri pertemuan di Balai Desa Pal VIII untuk bermusyawarah membentuk kelompok pada 9 Juli 2017. Saat itu, kami bersepakat membentuk kelompok yang diberi nama KPPL Maju Bersama, dan saya dipercaya menjadi Anggota Pengawas KPPL Maju Bersama. Namun, setelah ada pergantian pengurus pada tahun 2020, saya dipercaya menjadi Ketua Pengawas KPPL Maju Bersama.
Baca juga: Perempuan Petani Kopi di Desa Batu Ampar Menghadapi Perubahan Iklim
Tidak lama setelah terbentuk, KPPL Maju Bersama mengadakan peresmian kelompok dengan mengundang banyak pihak antara lain Wakil Bupati Rejang Lebong, Pak Iqbal Bastari, pihak dari Balai Besar TNKS dan lainnya pada 12 Agustus 2017. Selain peresmian, pada saat bersamaan KPPL Maju Bersama juga belajar dan praktik membuat pupuk organik. Setelah mengikuti kegiatan peresmian, saya juga ikut belajar dan praktik membuat pupuk organik yang menggunakan sekam padi, sekam kopi dan sisa potongan sayur. Selain untuk membuat kebun sayur organik, sebagian pupuk organik yang dihasilkan akan digunakan untuk pembibitan.
Saya mulai sering berkegiatan dengan pihak Balai Besar TNKS pada tahun 2018 seperti membuat peraturan kelompok, memilih jenis hasil hutan bukan kayu di hutan TNKS yang akan dimanfaatkan, melakukan pemetaan, menyusun rancangan PKS, RPP dan RKT, membuat pembibitan, belajar mengolah kecombrang dan pakis, dan lainnya. Setelah sering berkegiatan tersebut, saya mulai menyadari arti penting kelestarian hutan untuk perempuan, dan perempuan mempunyai hak-hak terkait hutan dan lingkungan hidup seperti hak untuk mengelola hutan dan memanfaatkan hasil hutan seperti yang diperjuangkan oleh KPPL Maju Bersama terkait hutan TNKS.
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, akhirnya KPPL Maju Bersama berhasil menandatangani perjanjian kerjasama kemitraan konservasi dengan Balai Besar TNKS untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa kecombrang dan pakis pada 5 Maret 2019. Adapun luas areal kerjasama antara KPPL Maju Bersama dan Balai Besar TNKS adalah 10 hektar. (**)
**) Tulisan ini direpublikasi dari Membangun Jalan Perubahan: Kumpulan Otobiografi Perempuan Pelestari Hutan Larangan yang penerbitannya didukung Perkumpulan Wahana Pelestarian dan Advokasi Hutan Sumatera (Walestra) dan Perkumpulan Lembaga Kajian, Advokasi dan Edukasi (LivE).