[Peringatan: artikel berikut mengandung kekerasan seksual dan dapat memicu pengalaman traumatis. Kami sarankan Anda tidak melanjutkan membaca jika dalam keadaan rentan]
Bincangperempuan.com- Putus hubungan dengan mantan kekasihnya bukan berarti Nur sudah benar-benar terlepas dari bayang-bayang trauma. Nur (bukan nama sebenarnya), perempuan berusia 25 tahun, menceritakan pengalamannya terjebak di dalam siklus kekerasan dalam pacaran selama dua tahun menjalin hubungan dengan mantan kekasih.
Dua tahun bagi Nur bukan waktu yang singkat. Banyak pengalaman traumatis yang Nur alami, mulai dari kekerasan psikis, verbal, hingga kekerasan seksual. Tidak pernah sebelumnya Nur membayangkan dirinya akan menjadi korban kekerasan, terlebih pelakunya adalah orang yang Nur cintai.
Masih terekam dengan jelas di ingatan Nur saat terduga pelaku memintanya untuk melakukan hubungan seksual. Nur menolak karena belum siap. Namun, terduga pelaku, yang mengetahui Nur memiliki ketakutan berlebih akan ditinggalkan, memanipulasi emosinya sehingga Nur merasa bersalah dan takut ditinggalkan jika tidak mengiyakan ajakan berhubungan seksual.
Pernah suatu saat siklus menstruasi Nur tengah berantakan dan ia telat datang bulan. Karena khawatir dirinya mengalami Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD), Nur pun bercerita kepada terduga pelaku dengan harapan ia dapat menenangkan Nur dan sama-sama mencari solusi. Jauh panggang dari api, terduga pelaku justru menyalahkan Nur dan mengambil keputusan sepihak untuk melakukan aborsi.
“Kekerasan seksual ini seperti merebut otoritas tubuh aku,” ujar Nur.
Hari demi hari menjalani hubungan pacaran, Nur semakin merasa kehilangan dirinya sendiri. Sebab, Nur sering menerima lontaran kata-kata yang merendahkan dirinya seperti “Lo nyusahin” atau “Lo terlalu emosional”. Hingga kini, meskipun hubungannya sudah berakhir, kata-kata itu masih terus terngiang di kepala Nur.
Baca juga: Negara Gagal Mengakhiri Femisida
“Dia (mantan kekasihku) suka memutarbalikkan fakta, jadi suatu kejadian kalau dibahas lagi berbeda dengan fakta yang sebenarnya terjadi,” ungkap Nur, menceritakan mantan kekasihnya yang kerap melakukan gaslighting dengan memanipulasi ingatan Nur setiap kali mereka bertengkar.
Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati Nur, ia sudah tidak kuat menjalani hubungan dengan terduga pelaku. “Aku gak kuat, aku mau mengakhiri ini semua. Antara aku mengakhiri ini (hubungan pacaran) atau aku mengakhiri hidupku sendiri.”
Ketika ia mencoba memutuskan hubungan, terduga pelaku kembali memanipulasi Nur. “Dia menangis dan bilang gak mau terlalu cepat pisah.” Di saat itu Nur luluh, hal itu membuat Nur merasa ada kesempatan bagi pelaku untuk berubah.
Meski sempat kembali menjalin hubungan dengan pelaku, pada akhirnya Nur berhasil keluar dari lingkaran kekerasan dalam pacaran. Meskipun begitu, sampai saat ini dampaknya masih dapat dirasakan oleh Nur, seperti merasa tidak berharga dan tidak pantas untuk dicintai secara sehat.
Nur merupakan salah satu korban yang berhasil keluar dari siklus kekerasan dalam pacaran.
Di Indonesia, Nur bukan satu-satunya korban KDP. Bahkan tidak jarang, ada yang berujung pada femisida.
Publik tentunya masih ingat dengan kasus penganiayaan berujung kematian oleh Gregorius Ronald Tannur (GRT) anak DPR RI yang dilakukan kepada DSA. Nahasnya, GRT mendapatkan vonis bebas dari segala dakwaan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Melansir The Conversation, berdasarkan data lembaga layanan dari Komnas Perempuan tahun 2023, angka kekerasan dalam pacaran menunjukkan prevalensi tertinggi di Indonesia. Jumlah laporan kekerasan dalam pacaran mencapai 3.528 kasus, melebihi kasus kekerasan terhadap istri (3.205 kasus) dan kekerasan terhadap anak perempuan (725 kasus), dengan bentuk-bentuk yang mencakup kekerasan fisik, emosional, verbal, sosial, dan seksual.
Baca juga: Film Vina, Kekerasan Seksual Berbasis Gender dan Femisida
CATAHU Komnas Perempuan juga menemukan bahwa korban kekerasan dalam pacaran didominasi oleh perempuan. Hal ini karena adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan yang menjadi akar permasalahan. Kerap kali meskipun sudah mengalami kekerasan, perempuan masih memilih untuk bertahan di dalam hubungan.
Melansir Psychology Today, terdapat beberapa alasan yang membuat perempuan terjebak dalam hubungan toxic atau tidak sehat, di antaranya perempuan kerap menerima ancaman dari pasangannya, mengharapkan pasangan dapat berubah, menyalahkan diri sendiri, mengorbankan diri sendiri, rusaknya harga diri, dan kurangnya dukungan dari orang terdekat. Kondisi ini membuat perempuan kerap terjebak dalam hubungan yang tidak sehat.
Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Nur, kerap kali merasa harus mengorbankan dirinya untuk orang yang ia sayangi. “Aku paling benci banget kalau harus ninggalin orang yang aku sayang. Aku lebih memilih bertahan daripada ninggalin orang,” kenang Nur.
Norma gender menjadi akar femisida
Melansir European Institute for Gender Equality, norma gender merupakan gagasan tentang bagaimana perempuan dan laki-laki seharusnya bersikap dan bertindak. Norma gender mengatur perilaku, identitas gender, dan interaksi antara laki-laki dan juga perempuan. Dampak dari norma gender yakni adanya stereotip gender sehingga dapat mengarah pada ketidaksetaraan.
Di dalam masyarakat, norma gender laki-laki selalu diidentikkan dengan kekuatan dan agresivitas. Menurut Alfred Adler (Yanuarius You, et al., 2019), relasi kekuasaan dalam struktur sosial penting untuk dipahami terkait maskulinitas dan femininitas. Jika laki-laki tidak bisa berkompromi dan takut terlihat lemah atau feminin, mereka cenderung menunjukkan agresi berlebihan terhadap perempuan. Untuk laki-laki, citra maskulin dengan otoritas kuat dicapai dengan menekan kelemahan dan ketergantungan. Perempuan dianggap sebagai ancaman karena bisa mengungkap kelemahan laki-laki dan meruntuhkan klaim mereka atas superioritas. Hal ini membentuk ikatan maskulinitas yang didasarkan pada kekuasaan dan prestise.
Dalam praktik sosial, norma gender memiliki kecenderungan membentuk struktur sosial yang merefleksikan dominasi patriarki dimana laki-laki lebih dominan daripada perempuan dalam berbagai aspek termasuk hubungan asmara. Dominasi ini, menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Dampaknya, patriarki melembagakan subordinasi, ketergantungan, atau pengandalan perempuan kepada laki-laki di dalam masyarakat.
Dalam kasus Nur, dominasi terduga pelaku sangat dirasakan oleh Nur selama menjalin hubungan. Nur menuturkan selama berhubungan Nur selalu mengikuti perintah dari pelaku. “Aku hanya mengikuti yang dia inginkan, karena di satu sisi aku sayang dia dan aku gak mau kehilangan dia. Aku mau nyenengin dia.” Hal ini dilakukan Nur karena terduga pelaku membuat Nur memiliki ketergantungan emosional kepadanya.
Kondisi seperti ini dapat berujung pada femisida, yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan intimnya. Ketika perempuan berada dalam posisi subordinat dan bergantung secara emosional, mereka menjadi lebih rentan terhadap kekerasan yang mematikan. Dominasi patriarki dan ketergantungan emosional yang dialami oleh Nur adalah contoh nyata bagaimana norma gender yang tidak setara dapat berujung pada kekerasan ekstrem terhadap perempuan.
Data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan terhadap kasus femisida selama 4 tahun terakhir. Pada 2020, terdapat 95 kasus yang diindikasikan kuat adalah femisida. Jumlah kasus pun meningkat di tahun 2021 menjadi 237 kasus, 307 kasus di tahun 2022, dan 159 kasus hingga pertengahan 2023.
Selain patriarki sebagai akarnya, belum adanya hukum khusus yang mengatur tentang femisida di Indonesia juga menjadi faktor penting mengapa femisida marak terjadi. Mengutip IDN Times, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyoroti belum adanya perlindungan khusus tentang femisida.
“Untuk perlindungan secara hukum belum ada hukum khusus tentang femisida, namun merujuk pada pasal-pasal pembunuhan atau pasal-pasal pembunuhan atau penganiayaan yang menyebabkan kematian,” pungkasnya.