Bincangperempuan.com– Secara personal mengamati tren di media sosial yang menunjukan sisi “terang” perempuan dengan menyebutnya sebagai high value women, tidak hanya dilakukan satu orang tetapi mayoritas perempuan. Belakangan istilah ini berkembang seiring dengan tren postingan perempuan yang menjadi sangat percaya diri membagikan suara dari hati.
Perempuan mengingat kembali, membagikan cerita mengenai proses menggapai prestasi, melawan sistem patriarki yang membelenggu, hingga cerita kegagalan di segala lini. Proses ini dilakukan secara sukarela oleh perempuan dari berbagai latar belakang. AMAZING!
Arus pemikiran feminisme yang disuarakan aktivis perempuan dan ahli gender, dapat dikatakan berhasil menyebar kepada perempuan di segala penjuru. Meskipun secara nomenklatur, masih banyak pihak yang “alergi” saat mendengar/membaca istilah feminisme.
Baca juga: Apakah “High Value Women” Berarti Sempurna?
Namun tidak bisa dipungkiri, spirit kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dari segala belenggu menjadi inti dasar feminisme. Menariknya, banyak praktisi feminisme, pada hakikatnya telah bertindak untuk mendukung, membela, mendiskusikan hingga melindungi perempuan dengan cara masing-masing. Perempuan bukan lagi OBJEK.
Untuk konteks Bengkulu, sikap like and dislike dalam upaya memperjuangkan kesetaraan untuk perempuan, masih berlaku. Sibuk, mereka melontarkan pertanyaan dan pernyataan picisan, “Sudah setara, lalu apalagi?” Seolah menolak kenyataan bahwa sistem patriarki sudah sedemikian mengakar dan meregenerasi pola-pola toxic terkait upaya mendiskriminasi perempuan, tindak kekerasan, stereotype, pemaksaan, penelantaraan, dan sebagainya.
Makin banyak, kasus kekerasan muncul di berita seolah hanya angka kuantitatif. Bukan pada upaya kolaboratif untuk menyelasikan kekerasan dari hulu hingga hilir, selama ini minim pencegahan tetapi denial dengan meningkatnya kasus kekerasan.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Mengubah Industri Fast Fashion
Apa yang terjadi pada perempuan saat ini adalah upaya kolaborasi lintas generasi sehingga perempuan dapat menyuarakan mimpi-mimpi, ideologi, prestasi, dan mengakses hak atas dirinya yang seharusya diberikan oleh negara.
Gayatri Spivak mempertanyakan “Can the Subaltern Speak?” Dapatkah perempuan yang selama ini “dikuasai” oleh pihak tertentu, untuk menyuarakan dirinya, personal maupun mewakili kolektif/komunitas.
Maka, kita patut berbangga untuk menjawab, ya perempuan mampu, perempuan bisa, melalui banyak sarana dan kata sesederhana apapun.