Bincangperempuan.com- Kasus kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) mencuat di Bengkulu, Juni 2022. Seorang PRT mengaku mendapatkan kekerasan fisik, dan gaji yang tidak dibayarkan majikan. Ini menjadi gambaran minimnya perlindungan diri dan hak ekosob pada korban. Seperti disampaikan Direktur Yayasan PUPA (Pusat Pendidikan Untuk Perempuan dan Anak), Susi Handayani.
Ia mengatakan hingga saat ini belum ada payung hukum yang melindungi kerja PRT. Tidak sedikit pemberi kerja menganggap PRT adalah pembantu. Padahal ketentuan standar dalam Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT Pasal 1, ditegaskan penyebutan PRT sebagai pekerja bukan pembantu, asisten rumah tangga atau sebutan lainnya. Catatan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) tidak kurang dari 2.570 kasus kekerasan dialami oleh PRT.
“Karena dalam hubungan kerja tidak melalui proses perjanjian kerja yang mengatur tugas- tugas, hak dan kewajiban PRT. Sehingga kejelasan kerja maupun hak dan kewajibannya tidak jelas. Padahal harus ada pengesahan sistem kerjanya seperti apa untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya eksploitasi dan kekerasan. PRT bisa bekerja lebih dari 12 jam sehari dengan upah yang rendah,” kata Susi usai melakukan audiensi bersama Bapemperda DPRD Provinsi Bengkulu bersama koalisi Perempuan Peduli Hak Asasi Manusia (PPHAM) Bengkulu dan Jaringan Peduli Perempuan Bengkulu (JPPB) Bengkulu.
Di Bengkulu, hingga saat ini tidak ada orang yang melapor mempekerjakan orang lain dalam RT mereka. Akibatnya kondisi PRT tidak ada data, termasuk belum ada agen pelatihan dan penyaluran PRT.
“Praktik yang terjadi PRT bekerja atas hubungan kekeluargaan, akibatnya tidak jelas upah dan ruang lingkup jenis pekerjaan. Membantu pekerjaan di rumah tangga dengan kompensasi melanjutkan sekolah dan lain-lain,” imbuh Susi.
Berdasarkan survey ILO tahun 2015, Jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 Juta dengan mayoritas perempuan. Selain itu PRT belum diakui sebagai pekerja, belum mendapat perlindungan hukum dan standar kerja yang layak. Jam kerja PRT panjang dengan upah rendah, beban kerja berlapis, serta tidak ada standar keamanan dan keselamatan kerja. Rentan ekspliotasi dan kekerasan.
Kurun tahun 2012-2019 ada 3,219 kasus yang dialami oleh PRT. Seperti eksploitasi, kekerasan; fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi. Sebanyak 89% PRT tidak mendapatkan BPJS Kesehatan, dan 99,9% (4, 253 orang) PRT tidak mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) rata-rata upah nominal PRT (2021) hanya 425 ribu rupiah. Angka tersebut tentu masih jauh dari kata layak.
Susi mengharapkan Pemerintah Provinsi Bengkulu melalui DPRD Provinsi dapat mendorong adanya kebijakan perlindungan hukum bagi PRT. Mengingat RUU PPRT telah diadvokasi
sejak 2004, serta sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, namun belum ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR.
“Kami berharap ini menjadi hak inisiatif DPRD Provinsi Bengkulu, mengingat saat ini ada dokumen Pergub DIY dapat juga menjadi rujukan dalam penyusunan rancangan Perda/Pergub PPRT di Provinsi Bengkulu,” imbuh Susi.
Susi menambahkan pentingnya payung hukum bagi perlindungan kerja PRT, sesuai dengan Pancasila yakni sila ke 2 dan ke 5 serta amanah UUD 1945. Dimana negara harus mengakui nilai ekonomis dari kerja-kerja yang diidentikkan sebagai kerja reproduktif perempuan.
“Ini juga terkait isu kesetaraan bagi setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Dasar Manusia. Dimana PRT diakui sebagai bagian dari pekerja), dan akan meminimalisir kekerasan, eksploitasi, TPPO dan pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Serta memberi perlindungan relasi kerja dan kepastian hukum terhadap kedua pihak yaitu PRT dan Pemberi Kerja,” papar Susi.
Sementara itu, anggota DPRD Provinsi Sujono SP mengakui hingga saat ini memang belum ada payung hukum bagi PRT. Meskipun sudah ada Undang-Undang Ketenagakerjaan, namun didalam konteksnya belum menyentuh hak-hak para PRT. Akibatnya dijumpai praktik sewenang-wenang antara pemberi kerja dengan PRT.
“Kami menerima dan akan melaporkan pada pimpinan DPRD. Ini akan dilakukan rapat internal untuk melakukan pembahasan terkait usulan ini kepada anggota Bapemperda yang lainnya. Jika ada persepsi yang sama, maka ada kemungkinan usulan tersebut akan menjadi perda inisiatif DPRD. Sementara bisa saja Pergub dulu, namun ke depan tetap harus dituangkan dalam Perda, karena Pergub ini tidak ada sanksi pidananya dan sifatnya hanya sementara,” pungkas Sujono. (**)