Home » News » Keterwakilan Perempuan dalam Afirmasi Semu

Keterwakilan Perempuan dalam Afirmasi Semu

Rifaldy Zelan

Data, News

Keterwakilan Perempuan dalam Afirmasi Semu

Bincangperempuan.com – Indonesia baru saja menyelesaikan hajatan politiknya.Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) digelar di tahun yang sama, tahun 2024. Di tengah riuh rendah isu yang mencuat, perbincangan tentang keterwakilan perempuan dalam kontestasi politik acap dipinggirkan. Padahal, hingga saat ini keterwakilan perempuan yang setara masih jauh dari angan. 

Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), sejatinya telah mensyaratkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di Pemilu. Namun, pada faktanya, masih banyak partai politik yang tidak menjalankan amanat tersebut. Misalnya, pada kasus Pemilihan Legislatif (Pileg) di daerah pemilihan Gorontalo tahun 2024 silam, Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemungutan suara ulang karena tidak semua partai politik menjalankan ketentuan 30% keterwakilan perempuan.

Ini menunjukan meskipun kebijakan afirmasi telah dijamin oleh peraturan perundang-undangan, masih terdapat tantangan untuk mewujudkan kuota 30% keterwakilan perempuan. Tantangan tersebut mencakup kekerasan terhadap perempuan dalam politik, baik dalam bentuk kekerasan seksual, verbal, digital, ekonomi, maupun struktural, yang kerap membuat mereka enggan bertahan. Selain itu, tingginya biaya politik juga menjadi penghalang bagi perempuan untuk maju sebagai kandidat.

Perempuan Rentan Alami Kekerasan dalam Politik

Dalam penelitian oleh Women Research Institute (WRI) yang didukung WFD, terhadap 275 responden politisi perempuan, ditemukan 82 persen responden melaporkan bahwa Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik (KTPP) di Pemilu 2024 meningkat dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.

Bentuk-bentuk KTPP yang dialami oleh para politisi perempuan antara lain mencakup kekerasan seksual (52%), kekerasan verbal (51%), kekerasan digital (45%), kekerasan ekonomi (42%), dan kekerasan struktural (38%).

Dalam penelitiannya, WRI menemukan bahwa politisi perempuan mengalami objektifikasi, baik di ranah digital maupun dalam interaksi langsung. Di ranah digital, misalnya, dengan menyunting gambar wajah mereka agar seolah-olah muncul dalam konten pornografi. 

Sementara itu, dalam interaksi langsung, mereka mengalami pelecehan fisik salah satunya dari senior partai, seperti disentuh tanpa persetujuan, dengan alasan bahwa politisi tidak boleh ‘kaku’. Kemudian, ketika politisi perempuan itu melawan atau menyampaikan rasa keberatannya, mereka akan dihina dengan perkataan ‘sok moralis’.

Kekerasan ini berdampak negatif pada kinerja politik politisi perempuan. Dalam penelitian tersebut, ditemukan dampak kekerasan mencakup dampak psikologis dan emosional, seperti hilangnya kepercayaan diri dalam ruang politik. Tak hanya itu, kekerasan juga berdampak pada partisipasi politik politisi perempuan, yakni dengan menurunnya minat perempuan untuk terlibat dalam politik.

“Jadi, akhirnya perempuan yang tadinya sudah mau maju, dia kehilangan kepercayaan diri, dia jadi minder,” jelas Edrianna Noerdin atau Nana, Direktur Program WRI dalam seminar publik bertajuk Refleksi dan Evaluasi Keterwakilan Perempuan di Tahun Politik pada Senin (17/03/2025), yang diselenggarakan oleh Westminster Foundation for Democracy (WFD) di Universitas Atma Jaya, 

Dampak lainnya ialah dampak inkonstitusional, yakni terhambatnya representasi substantif perempuan di parlemen karena perempuan menjadi tidak berani berpendapat, dan berkurangnya jumlah perempuan yang mau terlibat dalam politik. Terakhir, terdapat dampak sistemik, yaitu terhambatnya pencapaian target keterwakilan perempuan minimal 30 persen. 

“Itu (KTPP) sudah jelas melemahkan kualitas demokrasi kita, karena kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah kesetaraan perempuan, (seperti) masalah pendidikan dan kesehatan, kehilangan suara perempuan di dalamnya,” tegas Nana.

Baca juga: Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Politik dan Faktor Penyebabnya

Biaya Politik yang Mahal Bebani Perempuan

Faktor lain yang menghambat keterwakilan perempuan dalam politik adalah tingginya ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencalonkan diri dan berkampanye. Nana menceritakan satu kasus, dimana salah seorang calon legislatif perempuan kalah dalam Pemilu, meskipun ia merupakan seseorang yang terpandang di daerahnya.

Perempuan tersebut, dikisahkan Nana, aktif dalam pemberdayaan sosial. Ia selalu hadir dalam berbagai kegiatan masyarakat, seperti membantu warga yang berduka hingga menghadiri pernikahan. Popularitasnya membuat banyak partai politik tertarik untuk merekrutnya sebagai calon legislatif.

“Wah, partai politik ngiler dong, semua partai melakukan pendekatan kepada dia,” ujar Nana.

Akhirnya, perempuan itu menerima tawaran dari salah satu partai yang berjanji akan membiayai kampanyenya. Namun, setelah namanya resmi masuk sebagai kandidat, dukungan yang dijanjikan tak pernah datang.

“Ternyata dia tidak dibiayai, ketika namanya sudah masuk, ketua partai yang dihubungi itu nggak ada satu pun yang mau angkat telepon,” kata Nana.

Tanpa dukungan dana, ia menghadapi tantangan besar dalam berkampanye. Masyarakat yang sebelumnya sangat menghormatinya mulai mempertanyakan kehadirannya karena tidak memberikan bantuan materiil ketika berkampanye. Mereka menganggap kehadirannya sia-sia jika tidak membawa sesuatu, seperti yang biasa dilakukan calon lain. 

Tekanan ini semakin berat hingga akhirnya ia merasa tidak lagi diterima di kampung halamannya. “Yang tadinya dia merasa dihormati oleh masyarakatnya, sampai akhirnya dia tidak berani pulang ke kampung,” kisah Nana. 

Kekalahan dalam Pemilu tidak hanya membuatnya kehilangan kesempatan untuk berkontribusi di politik, tetapi juga merenggut posisi dan harga dirinya di komunitas yang selama ini ia layani.

Kisah yang diceritakan oleh Nana menggambarkan betapa mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh perempuan ketika mengikuti kontestasi politik. Hasil penelitian oleh WFD mencatat, rata-rata perkiraan biaya kampanye yang diberikan oleh tujuh responden dalam penelitian, mencapai sekitar Rp5 miliar. 

Ravio Patra, Direktur WFD Indonesia, menyebut jumlah tersebut cukup fantastis apabila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata warga Indonesia, khususnya perempuan. 

“Indonesia itu (pendapatan rata-rata pertahun) Rp36 juta. Kalau ditarik datanya hanya perempuan, pendapatan rata-ratanya turun menjadi Rp31 juta,” papar Ravio. “Perempuan dari akar rumput yang ingin maju, boro-boro politik, untuk urusan ekonomi sehari-hari saja dia sudah kalah duluan,” 

Ia menjabarkan, jika rata-rata biaya politik dibandingkan dengan rata-rata pendapatan warga Indonesia pertahun, maka dibutuhkan waktu sekitar 140 tahun bagi warga Indonesia agar bisa mencalonkan diri di Pemilu.

Baca juga: Tiga Periode Pemilihan, Afirmasi Politik Perempuan di Bengkulu Tak Kunjung Terpenuhi

Urgensi Revisi Aturan Pemilu Agar Inklusif terhadap Perempuan

Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi politisi perempuan, dari kekerasan hingga mahalnya biaya politik, kebijakan afirmasi yang ada masih belum cukup untuk menjamin keterwakilan perempuan secara substansial.

Saat ini, revisi UU Pemilu sudah masuk ke dalam Prolegnas 2025. Momentum revisi UU Pemilu saat ini seharusnya menjadi kesempatan untuk memperkuat aturan keterwakilan perempuan. Namun, menurut Khoirunnisa Nur Agustyati atau Nisa, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), isu ini kerap dianggap minor di tengah perdebatan lain yang lebih dominan, seperti sistem pemilu terbuka atau tertutup serta ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

“(Isu keterwakilan perempuan) itu minor, ketinggalan di belakang,” ujarnya. 

Padahal, setiap aspek dalam sistem Pemilu memiliki dampak langsung terhadap representasi perempuan di politik.

Nisa memperingatkan bahwa tanpa kebijakan yang lebih progresif, kesetaraan gender dalam politik masih akan menjadi perjalanan panjang. Ia merujuk pada laporan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) tahun 2019 yang menilai kondisi demokrasi global, dimana salah satu aspek yang mengalami perlambatan adalah pencapaian gender parity atau kesetaraan gender dalam politik. 

“Menurut International IDEA saat itu, jika tidak ada kebijakan yang lebih progresif, dibutuhkan sekitar 46 tahun untuk mencapai kesetaraan gender dalam politik,” jelas Nisa. 

Kini, pada 2025, angka itu telah berkurang menjadi 40 tahun, tetapi tetap saja, itu adalah waktu yang terlalu lama jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan.

Oleh karena itu, Nisa mendorong semua pihak untuk mengawal pembahasan revisi UU Pemilu agar dapat diselesaikan di tahun 2026. Jika pembahasan tertunda hingga melewati tahun tersebut, dikhawatirkan akan berbenturan dengan intensitas politik menjelang Pemilu 2029, yang dapat membuat diskusi substansial tentang keterwakilan perempuan semakin terpinggirkan. 

“Kalau sudah lewat 2026, tahapan Pemilu 2029 sudah semakin dekat, dan intensi politik di internal partai pun akan semakin tinggi. Ini tentu bukan kondisi yang ideal untuk membahas revisi Undang-Undang,” tambahnya. 

Nisa berharap, diskusi-diskusi seperti ini dapat mendorong lebih banyak suara dari kelompok perempuan untuk mempercepat pembahasan revisi UU Pemilu, agar keterwakilan perempuan dalam politik tidak lagi sekadar angka di atas kertas, tetapi benar-benar terwujud dalam sistem politik yang lebih adil dan inklusif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Slut Shaming Kekerasan Verbal yang Merendahkan Perempuan

Slut Shaming: Kekerasan Verbal yang Merendahkan Perempuan

Stigma Bau Ketek pada Perempuan

Mengapa Bau Ketek Perempuan Masih Menjadi Tabu?

Local Media Summit dan Dukungan Untuk Media Perempuan

Local Media Summit dan Dukungan Untuk Media Perempuan 

Leave a Comment