Bincangperempuan.com- Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) resmi menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap sebagai ketua merangkap anggota KPU, Hasyim Asy’ari, Rabu (03/07/2024). Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi keputusan DKPP atas atas perkara pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) Nomor 90/PKE-DKPP/V/2024.
Komnas Perempuan menilai bahwa keputusan tersebut di atas merupakan langkah maju penyelenggara pemilu dalam melaksanakan komitmen penghapusan kekerasan seksual sejalan, dengan mandat UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Sanksi tegas yang dijatuhkan tidak hanya akan menguatkan proses pemulihan korban, namun juga menguatkan korban-korban lain pada peristiwa serupa untuk melaporkan kasusnya, dan menjadi pesan kuat DKPP kepada seluruh penyelenggara pemilu untuk tidak melakukan kekerasan seksual,” ungkap Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam rilis pernyataan sikapnya, Kamis (04/07/2024).
Menindaklanjut putusan tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan perbaikan sistematis melalui penegasan larangan setiap bentuk kekerasan berbasis gender dan seksual dalam KEPP, membangun kebijakan, pedoman dan mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual (SOP PPKS) di lingkungan KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DKPP, serta peningkatan kapasitas analisis gender dari pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan mekanisme tersebut. Dalam upaya tersebut KPU perlu menegaskan kembali Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2021 khususnya Pasal 90 ayat 4 yang mengatur bahwa Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dilarang: (a). melakukan perbuatan yang tercela, dilarang atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku di masyarakat; (b). melakukan pernikahan dengan sesama penyelenggara Pemilu selama masa jabatan; (c). melakukan pernikahan siri dan tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah; dan (d). melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan. Juga menambahkan larangan melakukan segala kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Bincang Perempuan Circle: Calling Out Health Warrior
Keterlibatan aktif penyelenggara pemilu dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia adalah bagian dari pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1984 yang memuat ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi pada Perempuan (CEDAW). Secara khusus di dalam Konvensi tersebut disebutkan:
Pasal 2 huruf (d) : “[negara] Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini”.
Pasal 5: “Negara-negara Pihak harus mengambil tindakan-tindakan yang tepat untuk mengubah pola-pola tingkah laku sosial dan budaya para laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka dan kebiasaan-kebiasaan serta semua praktek lain yang berdasarkan atas pemikiran adanya inferioritas atau superioritas salah satu gender, atau berdasarkan pada peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan”.
Pemenuhan atas CEDAW ini merupakan amanah Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28I (4) yang menyatakan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah.
Penguatan penerapan UU TPKS terkait pencegahan dan pemulihan korban juga menjadi krusial dalam penyelenggaraan pemilu ke depan. Penyediaan layanan pemulihan bagi para korban kekerasan seksual perlu ditegaskan dan menjadi bagian dari putusan DKPP terkait kasus kekerasan seksual. Tujuannya adalah untuk mendukung korban mendapatkan akses keadilan dan pemulihan sebagaimana amanat UU TPKS, dan juga Rekomendasi Umum CEDAW No. 33 tentang Akses Perempuan terhadap Keadilan.
Baca juga: Ulas Konten Anak Lewat Screen Score
Komnas Perempuan juga menyerukan kepada semua pihak, termasuk media, pengamat, praktisi hukum dan masyarakat untuk turut mendukung upaya penguatan akses korban pada keadilan dan pemulihan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengenali lapis relasi kuasa atas peristiwa yang terjadi sehingga terhindar dari sikap menormalisasi tindak kekerasan seksual sebagai hubungan konsensual, melecehkan, menyalahkan dan menghakimi korban. Perlindungan atas identitas korban untuk tujuan keamanan dan dukungan pemulihan juga perlu diperhatikan.
Komnas Perempuan juga mengapresiasi keberanian dan mendukung langkah korban untuk mengklaim hak keadilan dan pemulihannya atas kekerasan seksual yang dialaminya dalam pekerjaannya sebagai Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN). Ini adalah satu dari empat kasus yang telah dilaporkan ke DKPP dan dalam pantauan Komnas perempuan. Tiga lainnya adalah kasus H dengan teradu Ketua KPU Hasyim Asy’ari, kekerasan seksual yang dilakukan Ketua KPU Manggarai Barat, dan juga aduan kekerasan berbasis gender oleh Ketua KPU Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang masih dalam proses pemeriksaan.
Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual dalam proses penyelenggaraan pemilu adalah puncak gunung es. Kekerasan yang dialami korban kerap tidak dilaporkan karena tebalnya relasi kuasa antara korban dan pelaku. Jenis kekerasan seksual juga beragam mulai dari kekerasan seksual fisik dan non fisik, berbasis online hingga pemerasan dan eksploitasi seksual. Perangkat hukum juga tidak serta merta memberikan perlindungan karena kondisi relasi kuasa ini. Akibatnya impunitas bagi pelaku terus terjadi, kasus berulang dan korban terabaikan dari proses pemulihan. Isu kekerasan seksual juga kerap diprasangkai sebagai hubungan suka sama suka yang mengakibatkan korban semakin terbungkam.