Home » News » Kontroversi Sunat Perempuan di Indonesia

Kontroversi Sunat Perempuan di Indonesia

Yuni Camelia Putri

Event, News

Sunat Perempuan di Indonesia

Bincangperempuan.com- Sunat perempuan merupakan tradisi turun temurun di negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Tradisi sunat perempuan dilakukan pada anak perempuan berusia 0-11 tahun. Berupa praktik Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP). Tradisi ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang disinyalir dibungkus agama.

Menurut web Equality Now, prevalensi sunat perempuan pada anak berusia 0-11 tahun di Indonesia sebesar 49,2%. Kebanyakan sunat perempuan dilakukan dengan cara pemotongan atau penggoresan klitoris.

Wakil Ketua Kalyanamitra, Rena Herdiyani mengungkapkan bahwa tradisi sunat perempuan dilakukan masyarakat muslim di Indonesia karena dianggap sebagai tradisi sekaligus syariat agama, norma sosial yang harus dipegang teguh.

“Di Indonesia, masyarakat menganggap sunat perempuan sebagai tindakan yang diwajibkan oleh agama dan bagian dari tradisi. Ada beberapa kepercayaan di masyarakat kami, salah satunya mereka percaya bahwa untuk menjadi perempuan muslimah yang baik harus disunat,” kata Rena dalam “FGM/C in Asia and the Role of Media- A Workshop and Discussion Event with Journalists”, beberapa waktu lalu.

“Dan juga salah satu kepercayaan di masyarakat kalau itu (sunat perempuan,red) bisa menyucikan anak perempuan, membantu mereka mengendalikan nafsu seksual, dan mencegah mereka tumbuh sebagai perempuan yang bebas,” sambungnya.

Baca juga: Sunat Perempuan, Bentuk Diskriminasi Berbasis Gender

Hukum sunat perempuan di Indonesia masih diragukan

Hingga saat ini, belum ada hukum yang efektif dalam mengatasi kasus sunat perempuan. Bagi masyarakat Indonesia, sunat perempuan dianggap lazim hingga saat ini. Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia, khitan anak perempuan bersifat makrumah sehingga pelaksanaannya dianggap sebagai ibadah yang dianjurkan.

Rena menjelaskan bahwa praktik sunat perempuan sempat dilarang di Indonesia setelah keluarnya Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK 00.07.1.31047a tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan. Sayangnya, surat edaran ini ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2008 karena praktik sunat perempuan dianggap sebagai syariah dan tenaga medis harus memfasilitasinya.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyarankan sunat perempuan dilakukan sesuai dengan syariah dan melarang sunat yang berbahaya bagi kesehatan fisik dan psikologis anak.

Langkah Indonesia yang menyetujui sunat perempuan kembali menarik perhatian dunia. Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.6/2014 yang menjelaskan bahwa sunat perempuan tidak memberikan manfaat. Aturan ini mendesak Dewan Syariah Nasional Indonesia (DSN) untuk membuat prosedur sunat perempuan yang menjamin kesehatan dan keselematan anak perempuan dengan tidak melukai dan memutilasi alat kelamin.

Pemerintah Indonesia sendiri telah membuat peta rencana aksi pencegahan sunat perempuan tahun 2020-2030 yang memprioritaskan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat melalui pendidikan formal dan non formal tentang bahaya sunat perempuan. Selain itu, muncul indikator pencapaian pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2030-2034 yang mencegah praktik sunat perempuan.

Meskipun demikian, komitmen pemerintah Indonesia masih diragukan dalam aturan tersebut.

“Meskipun mereka (pemerintah Indonesia) punya peta rencana aksi pencegahan sunat perempuan, peta rencana aksi ini tidak ada monitoring dan targetnya tidak menghapuskan aturan Kementerian Kesehatan ini,” ujar Rena.

“Jadi, (fokusnya) lebih ke pencegahan agar meningkatkannya kewaspadaan dan juga untuk mendorong indikator pencapaian pemerintah dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional. Jadi, perlu adanya pengawasan terhadap regulasi peraturan pemerintah dan pengimplementasian dalam mencapai tujuannya,” tambahnya.

Baca juga: Di Balik Stigma Menstruasi: Pengalaman Perempuan Indonesia

Tantangan yang harus dihadapi

Kebijakan pemerintah yang kurang tegas dalam mencegah sunat perempuan menjadikan praktik ini masih terus dilaksanakan. Masyarakat seakan enggan untuk menanggapi peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan rencana pembangunan jangka panjang nasional yang mencegah praktik sunat perempuan.

Di Indonesia, angka sunat perempuan tetap mengalami kenaikan yang tinggi karena kentalnya kepercayaan masyarakat setempat. Tantangan ini hanya segelintir dari tantangan yang harus dihadapi kedepannya.

Rena menjabarkan bahwa terdapat tantangan lain seperti kurangnya data yang komprehensif terkait sunat perempuan, kentalnya keyakinan adat, kurangnya liputan media, dan kurangnya pemahaman masyarakat terkait kesehatan reproduksi yang menjadi faktor pelanggengan sunat perempuan di kalangan masyarakat.

Peran media akhiri praktik sunat perempuan

Dalam workshop dan diskusi bersama jurnalis Asia tentang sunat perempuan di asia dan peran media, Rena menyinggung tentang pentingnya keterlibatan media dalam mengakhiri praktik sunat perempuan. Menurutnya, masih sedikit media lokal yang tertarik untuk mengangkat isu ini karena dianggap kurang menarik.

“Jadi di Indonesia, media lebih tertarik untuk membahas kehidupan seseorang, pemilu yang akan dilakukan tahun depan, korupsi, dan ekonomi. (Jadi) menurut mereka isu sunat perempuan bukan isu seksis bagi media dan pembaca,” ungkap Rena.

Media memiliki pengaruh yang kuat dalam meningkatkan kesadaran dan mengubah pola pikir masyarakat tentang mitos dan kesalahpahaman terkait sunat perempuan yang masih dipercayai oleh masyarakat.

Dalam hal ini, media dapat menyoroti dampak sunat perempuan terhadap kesehatan mental dan reproduksi anak perempuan atau hak-hak seksual anak perempuan yang telah direnggut. Langkah ini sebagai upaya untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat sekaligus melindungi anak perempuan dari praktik-praktik yang berbahaya.

Menanggapi hal ini, Rena memberikan beberapa saran yang dapat dilakukan oleh media untuk turut terlibat dalam mengakhiri praktik sunat perempuan di Indonesia. Menurutnya, media dapat meningkatkan kesadaran masyarakat melalui berbagai platform media, membuat konten edukasi tentang bahaya dari sunat perempuan, mewawancarai tenaga ahli dan berkolaborasi dengan LSM yang ada di Indonesia.

“Jadi meskipun kita (Indonesia) tidak memiliki undang-undang yang tegas dalam melarang sunat perempuan, kalau ada upaya atau aksi dari tokoh masyarakat atau organisasi setempat pasti bisa mengakhiri praktik sunat perempuan. Dan sangat penting untuk memanfaatkan media sosial sebagai platform kampanye dan promosi secara luas,” pungkasnya.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Female Genital Mutilations, kekerasan seksual, kesehatan reproduksi perempuan, sunat perempuan

Artikel Lainnya

Pelaksanaan UU TPKS di Perguruan Tinggi Perlu Dukungan Banyak Pihak

Pelaksanaan UU TPKS di Perguruan Tinggi Perlu Dukungan Banyak Pihak

Lenny N. Rosalin, Wakil Menteri untuk Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;

Perempuan Indonesia Masih Diharuskan Meninggalkan Pekerjaan yang Berbayar untuk Memenuhi Kebutuhan Perawatan

Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media – Mendobrak Stigma, Mendorong Kuasa

Leave a Comment