Bincangperempuan.com- Pemenuhan hak perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya atas pemulihan termasuk layanan aborsi aman semestinya harus tersedia secara memadai dan komprehensif. Hal ini karena layanan aborsi aman merupakan kebutuhan nyata dari korban perkosaan dan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) lainnya dan merupakan bagian dari sistem pemulihan yang harus tersedia untuk perempuan korban.
Menurut Komnas Perempuan, layanan ini dimaksudkan untuk mengurangi ancaman gangguan kesehatan mental pada korban akibat tekanan dari adanya kehamilan tidak diinginkan.
Kurun lima tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatat terdapat 103 korban perkosaan berakibat kehamilan yang melaporkan kasusnya langsung ke Komnas perempuan. Hampir seluruhnya tidak mendapatkan akses aborsi aman.
“Padahal, ketika layanan ini tidak tersedia, korban berisiko menempuh praktik aborsi tidak aman yang berakibat fatal pada dirinya, ataupun kemudian menempatkannya menjadi pihak berkonflik dengan hukum atas tuntutan aborsi menghilangkan nyawa janin yang baru dilahirkannya. Kondisi ini menjadikan korban TPKS semakin terpuruk,” kata Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan.
Baca juga: Melihat Aktivitas Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama
Kriminalisasi korban perkosaan
Sebagai contoh, kriminalisasi pada korban perkosaan terjadi di Jambi pada tahun 2018 terhadap seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri, hingga akhirnya korban dijatuhi hukuman 6 bulan oleh Pengadilan Negeri setempat. Di tingkat Pengadilan Tinggi, anak ini dibebaskan karena hakim berpendapat bahwa korban dalam kondisi terpaksa.
Menurut Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan, kasus kriminalisasi terhadap korban perkosaan memperlihatkan bahwa aborsi masih dipandang sebagai hal yang ditakuti, dikecam dan dilarang, dengan mengacuhkan fakta bahwa aborsi adalah salah satu prosedur medis.
Kedudukan perempuan sebagai korban perkosaan dan TPKS lainnya, seharusnya menjadi salah satu pertimbangan untuk tidak diberlakukan pemidanaan. Belum lagi jika korban perkosaan adalah anak yang seharusnya dilindungi tetapi justru harus berhadapan dengan penjara dan berpotensi kehilangan hak atas pendidikan karena harus meneruskan kehamilannya.
“Memidanakan korban tersebut berarti menempatkan perempuan dalam posisi kekerasan yang berlapis, yakni sebagai korban perkosaan, serta perempuan dan anak perempuan yang dikriminalisasi,” ujar Retty.
Hak atas layanan aborsi aman bagi korban perkosaan sesungguhnya telah dijamin melalui UU Kesehatan dan diatur pelaksanaan layanannya dengan PP No. 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. Aturan ini diperkuat melalui UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dan diperinci dalam Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2024. Aturan ini sejalan dengan amanat UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pada konteks pemulihan korban, UU TPKS Pasal 79 mengatur hak-hak korban atas penanganan, pelindungan dan pemulihan yang sebelumnya tidak diakomodir secara komprehensif dalam peraturan yang ada. Pemulihan korban perkosaan atau kekerasan seksual lainnya dilakukan untuk mengurangi dampak lebih jauh terhadap korban. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa pemulihan hingga pada keadaan semula untuk korban TPKS sungguh sulit, apalagi terhadap korban perkosaan, karena dampak kerusakan yang ditimbulkan sangat besar.
“Proses pemulihan terus berlanjut apabila layanan aborsi aman diberikan karena dampaknya juga bisa jadi berpengaruh pada kondisi psikologis korban ke depan. Oleh karena itu keterlibatan semua pihak untuk membantu korban dalam seluruh proses pemulihan menjadi krusial,” kata Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan.
Ajakan keterlibatan semua pihak ini sejalan dengan Hari Aborsi Aman Internasional 2024 pada tanggal 28 September yang bertema ‘solidarity in our community’ (solidaritas dalam komunitas kita). Tema ini bertujuan mengajak berbagai pihak untuk membangun solidaritas dalam pemenuhan hak layanan aborsi aman dan keadilan reproduksi.
Theresia Iswarini menyatakan bahwa pengintegrasian layanan pemulihan korban dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP) dapat menjadi terobosan respons negara untuk memperkuat layanan aborsi aman bagi korban perkosaan atau kekerasan seksual lainnya. Salah satu prasyarat penerapan SPPT PKKTP adalah kerja sinergis antara aparat penegak hukum (APH) dengan lembaga pemulihan baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat sipil.
Baca juga: Bayang-bayang Kekerasan Seksual Menghantui Perempuan dan Anak di Tanah Syariat
Mengacu pada UU Kesehatan dan Peraturan Pelaksananya serta konsep SPPT PKKTP ini, maka pemerintah dapat menyediakan/menunjuk layanan kesehatan penyedia layanan aborsi aman khusus untuk korban perkosaan atau kekerasan seksual lainnya. Sebaliknya bila korban bersedia meneruskan kehamilan, maka menjadi urgen untuk melakukan pemenuhan kebutuhan korban atas perawatan selama kehamilan, kelahiran bahkan hingga proses adopsi apabila diperlukan.
“Jika kedua hal tersebut tidak dapat dipenuhi maka hal ini menunjukkan pengabaian negara terhadap kebutuhan perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KtD). Undang-undang Dasar NRI pasal 28I ayat (4) mengatur bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama Pemerintah. Amanah ini kemudian diperkuat oleh CEDAW utamanya Rekomendasi Umum CEDAW No. 19, 24 dan 35,” pungkas Satyawanti.