Home » News » Lazy Girl Job, Semestinya Bukanlah Kemewahan

Lazy Girl Job, Semestinya Bukanlah Kemewahan

Delima Purnamasari

News

Bincangperempuan.com- Lazy girl job sempat menjadi tren di TikTok. Istilah ini merujuk pada pekerjaan dengan jam kerja yang lebih sedikit, bisa dilakukan di rumah, sekaligus memberikan gaji yang layak. Meski begitu, mendapatkan keseimbangan kehidupan kerja semestinya jadi hal yang wajar bagi semua orang.

Tren ini dimulai oleh Gabrielle Judge pada akhir Mei lalu. Perempuan berusia 26 tahun tersebut mengunggah video berjudul “The Lazy Girl Era”. Saat ini, video tersebut telah disukai lebih dari 344 ribu orang dan mendapatkan 3043 komentar. Tagar #lazygirljob di TikTok juga sudah ditonton lebih dari 22 juta kali. Banyak perempuan muda lain turut menggambarkan lazy girl job versi mereka sendiri. 

Dalam videonya, Judge menjelaskan strategi lazy girl job yang bisa membuat seseorang dapat membayar tagihan tanpa merasa kelelahan bekerja. Sehingga bisa memiliki lebih banyak hal menyenangkan untuk dilakukan. Profesi semacam ini tentu didambakan oleh kebanyakan orang. 

Prinsip Lazy Girl Job

Pemikiran lazy girl job ini muncul ketika Judge menghabiskan 50-60 jam dalam seminggu sebagai konsultan. Beban untuk menyelesaikan terlalu banyak pekerjaan tersebut mengikis kesehatan fisik dan mentalnya. Perempuan yang tinggal di Colorado ini akhirnya berpandangan bahwa penyakit dan kelelahan tidak seharusnya menjadi bagian dari dunia kerja. Terlebih, kesehatan mental telah menjadi prioritas dan fleksibilitas semakin memungkinkan seseorang untuk bekerja secara jarak jauh. 

Baca juga: Selaput Dara, Mitos Keperawanan yang Menghantui Perempuan

Pekerjaan non-teknis, seperti staf administrasi, staf pemasaran digital, hingga manajer layanan pelanggan adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan lazy girl job. Judge mengatakan pekerjaan semacam itu bisa berakhir tepat pukul lima sore dan menghasilkan sekitar US$60.000-80.000 (Rp900 juta-1,2 miliar) dalam setahun. Sebuah angka yang cukup untuk memenuhi kenyamanan manusia dewasa. 

Seorang perempuan lain bernama Victoria Bilodeau mengaku bekerja sebagai pemasar digital lepas. Ia hanya menghabiskan waktu tiga jam sehari untuk mempromosikan produk riasan dan perawatan kulit secara daring. Penghasilannya lebih sedikit dari profesi sebelumnya, yakni sebagai teknisi lingkungan. Akan tetapi, ia memiliki waktu melimpah untuk bermeditasi, berolahraga, bahkan bermain dengan kucingnya. 

Pengguna TikTok lain juga membuat konten soal lazy girl job versinya. Mereka mengaku hanya membuat email yang sama, menerima 3-4 telepon dalam sehari, dan memiliki istirahat yang lebih lama. 

Bentuk Kritik dari Generasi Muda

Penggunaan kata lazy di sini tentu menjadi istilah yang menarik perhatian. Pilihan kata ini adalah langkah cerdas untuk memulai wacana baru. Lazy girl job bukanlah peran yang akan membuat seseorang bisa bermalas-malasan. Karier yang memberi keseimbangan kehidupan kerja justru akan memberi dampak luar biasa sehingga seseorang bisa merasa seperti sedang malas. Di sini yang terjadi sesungguhnya adalah bekerja dengan kemampuan terbaik karena perusahaan jenis ini pasti memiliki standar perekrutan yang tinggi. Setelah itu, seseorang bisa menikmati ruang untuk melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia. 

Tren ini sesungguhnya berupaya menentang budaya generasi sebelumnya yang gila kerja. Apabila dibandingkan dengan cara kerja tradisional, prinsip-prinsip lazy girl job jelas dapat dianggap sebagai kemalasan. Lazy girl job adalah revolusi sekaligus obat bagi dunia yang kacau karena glorifikasi lembur dan loyalitas berlebihan pada pekerjaan.  Kini, angkatan kerja tidak lagi bersedia menerima pekerjaan yang mengorbankan kualitas hidup mereka. 

Lazy girl job jadi semacam cara bagi generasi muda untuk menyindir generasi sebelumnya yang menyebut mereka malas. Padahal, sesungguhnya mereka hanya memperjuangkan persoalan kesehatan mental mengingat kelelahan di tempat kerja telah menjadi sebuah epidemi. 

Sebanyak 70% generasi Z menyebutkan kesehatan mental mereka adalah hal yang paling membutuhkan perhatian. Kelompok muda ini menjadi garda terdepan dalam melaporkan masalah kesehatan mental dibandingkan dengan kelompok demografi lainnya. 

Penolakan budaya kelelahan dalam pekerjaan ini menjadi sangat populer di kalangan perempuan muda. Mereka merasakan begitu sulitnya menjadi perempuan di masyarakat patriarki. Mereka melakukan jumlah pekerjaan yang sama, tetapi laba ataupun karier yang diperoleh lebih kecil dibandingkan laki-laki. Kekecewaan ini yang melahirkan keputusan untuk tidak lagi berpartisipasi dalam sistem tidak adil semacam ini. 

Di sisi lain, pengusaha yang gagal memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan, jelas akan kehilangan peluang untuk memperoleh talenta-talenta pegawai terbaik. Generasi Z tak akan takut berpindah perkerjaan sampai tuntutan tersebut dipenuhi. 

Semua Pantas Mendapatkannya

Menetapkan batasan investasi dalam karier yang mengorbankan kesejahteraan jadi semakin penting. Karena itu, tindakan bersama antara pemilik usaha, pekerja, bahkan negara dalam menciptakan lingkungan kerja yang seimbang demi memenuhi hak-hak pekerja perlu untuk diperhatikan. 

Baca juga: Perempuan Lokal, Tak Surut Merawat Tradisi Seklang Putung

Perubahan keinginan dari perempuan profesional ini tentu membuat mereka bisa lebih memberi perhatian pada kehidupan pribadi. Meski demikian, perubahan ini bukan hanya untuk perempuan. Laki-laki juga dapat merasa tertekan karena gaji yang rendah, desakan pekerjaan dari atasan, dan rasa takut untuk mengambil cuti. Perempuan maupun laki-laki berhak memperoleh pekerjaan yang memberi akses terhadap fleksibilitas, tunjangan, dan gaji untuk menjalani kehidupan yang memuaskan. Keinginan semacam ini tentu tidak lantas membuat seseorang menjadi malas. 

Bekerja juga tidak berarti selalu kelelahan. Ketika sebuah profesi membuat seseorang terus merasa lelah, frustrasi, dan tidak termotivasi, sudah sewajarnya mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru. Kesempatan untuk mencintai pekerjaan, menjalankan peran, dan pulang ke rumah pada jam normal adalah hal yang pantas didapatkan oleh semua orang. (Delima Purnamasari/eL)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Stigma Ungu Warna Ibu Tunggal atau Kebebasan

Stigma Ungu: Warna Ibu Tunggal atau Kebebasan?

Trauma dan Derita Ibu Hamil yang Melahirkan di Gaza

Trauma dan Derita Ibu Hamil yang Melahirkan di Gaza

Bengkulu Inspiring Women's 2023

Penghargaan untuk 6 Perempuan Menginspirasi

Leave a Comment