Bincangperempuan.com- Ricuh setelah antre beberapa jam terjadi di Gandaria City Mall baru-baru ini. Puluhan orang dewasa rusuh dan berebut ingin membeli Labubu, boneka hasil karya seniman asal Hongkong, yang saat ini menatap di Belgia, Kasing Lung. Peristiwa ini tentunya cukup menarik perhatian. Pasalnya yang berebut ini orang dewasa BPer’s, bukan usia anak-anak lagi.
Labubu dengan telinga panjang, senyum yang lebar dan menampilkan deretan gigi tersebut menjadi begitu viral sejak dipamerkan personel girl grup Korea Selatan, Lisa Blackpink. Meskipun dibandrol dengan harga yang cukup fantastis namun tidak menyurutkan semangat sebagian kalangan untuk memiliki boneka karakter fiksi berbentuk elf tersebut.
Seakan “takut ketinggalan” atau FOMO (Fear of Missing Out), orang-orang rela meronggoh kocek ratusan hingga jutaan untuk memiliki Labubu. Terkesan terobsesi untuk mengikuti tren terbaru, alih-alih malah menimbulkan kesan hedonisme, di mana seseorang mencari kebahagiaan melalui kesenangan materialistik dan konsumsi barang-barang mewah.
Kondisi ini juga didukung dengan media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi sumber utama informasi bagi banyak orang, terutama generasi milenial dan Gen Z. Setiap hari, mereka disajikan dengan gambar dan video orang lain yang selalu terlihat modis, kaya, dan bahagia. Alhasil mendorong munculnya fenomena Labubu, di mana orang merasa perlu mengikuti tren yang sama agar tidak tertinggal.
Fitur-fitur media sosial seperti “stories” yang hanya bertahan 24 jam dan postingan viral juga memicu rasa urgensi untuk selalu terlibat dan menjadi bagian dari momen tersebut. Ada tekanan untuk mengikuti tren, dari fashion hingga gaya hidup seperti travel, olahraga, atau bahkan jenis makanan yang sedang populer. FOMO memaksa orang untuk berpikir bahwa mereka harus segera membeli, berpartisipasi, atau mencoba sesuatu yang baru jika tidak ingin “ketinggalan zaman.”
Dampaknya? Orang menjadi konsumtif, sering membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan hanya demi tampilan di media sosial. Gaya hidup ini didorong oleh perasaan cemas bahwa jika mereka tidak ikut serta, mereka akan dianggap kurang “gaul” atau kurang “up-to-date” dibandingkan teman-temannya.
Baca juga: Belajar Pengasuhan dari Konflik Ibu-Anak, NM dan Lolly…
Mencari kebahagiaan melalui materi
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menekankan bahwa kesenangan dan kenikmatan adalah tujuan utama hidup. Dalam konteks Labubu, hedonisme diartikan sebagai pencarian kebahagiaan melalui konsumsi barang-barang materialistik. Orang yang terjebak dalam fenomena ini seringkali meyakini bahwa memiliki barang-barang mahal atau mengikuti tren terkini adalah jalan menuju kebahagiaan.
Namun, ada perbedaan antara kebahagiaan yang sejati dengan kebahagiaan sementara yang diperoleh melalui konsumsi barang-barang. Menurut penelitian, kebahagiaan yang diperoleh dari barang-barang material cenderung bersifat sementara. Misalnya, seseorang mungkin merasa sangat bahagia ketika pertama kali membeli ponsel terbaru atau pakaian dari merek ternama, namun kebahagiaan itu seringkali memudar dengan cepat. Mereka kemudian merasa perlu membeli barang baru lagi untuk merasakan kebahagiaan yang sama.
Hedonisme yang terus-menerus ini bisa menjadi siklus yang tidak berujung, di mana seseorang terus-menerus mencari kebahagiaan melalui konsumsi tanpa pernah merasa benar-benar puas. Akibatnya, mereka sering merasa cemas dan tidak puas dengan hidup mereka, karena kebahagiaan yang dihasilkan oleh konsumsi materi selalu bersifat sementara.
Tekanan mental dan kesejahteraan
Dorongan untuk terus mengikuti tren dan menjalani gaya hidup hedonis dapat memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesejahteraan mental. Orang yang terus-menerus merasa harus “up-to-date” dapat mengalami stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Ini terjadi karena mereka selalu merasa tidak cukup baik atau tidak cukup keren jika tidak memiliki barang terbaru atau tidak menjalani gaya hidup yang dianggap “ideal” oleh masyarakat.
Selain itu, adanya perbandingan sosial yang konstan di media sosial juga memperburuk keadaan. Orang cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain, terutama mereka yang tampak lebih sukses atau lebih bahagia di media sosial. Padahal, banyak dari konten yang ditampilkan di media sosial tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan. Orang hanya menampilkan sisi terbaik dari hidup mereka, dan ini menciptakan ilusi bahwa hidup mereka selalu sempurna.
Akibatnya, banyak orang yang terjebak dalam fenomena Labubu merasa tidak pernah cukup dan selalu mengejar standar yang tidak realistis. Ini dapat menyebabkan perasaan tidak puas yang mendalam dan bahkan menurunkan rasa percaya diri.
Baca juga: Kamus Bahasa Gen Z: Very Demure, Very Mindful, Very Cutesy
Konsumerisme yang berlebihan
Fenomena Labubu juga mencerminkan perubahan dalam pola konsumsi masyarakat. Konsumerisme yang berlebihan menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari, di mana orang terus-menerus membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan hanya untuk mengikuti tren. Hal ini berdampak tidak hanya pada kesejahteraan pribadi, tetapi juga pada lingkungan.
Konsumsi berlebihan ini berdampak pada meningkatnya jumlah sampah dan limbah yang dihasilkan dari produksi dan konsumsi barang-barang konsumen. Pakaian fast fashion, misalnya, sering kali hanya digunakan beberapa kali sebelum dibuang. Ini menyebabkan masalah lingkungan yang serius, seperti meningkatnya limbah tekstil dan polusi akibat produksi massal.
Selain itu, konsumsi berlebihan juga dapat menyebabkan masalah ekonomi. Banyak orang yang terjebak dalam gaya hidup ini menghabiskan uang lebih dari yang mereka miliki, bahkan berhutang untuk membeli barang-barang yang dianggap “tren.” Ini dapat menyebabkan masalah keuangan jangka panjang, seperti kebangkrutan pribadi atau kesulitan membayar tagihan.
Untuk keluar dari siklus Labubu, penting bagi individu untuk mengembangkan kesadaran diri dan kemampuan untuk menahan dorongan konsumtif. Salah satu cara efektif untuk melawan fenomena ini adalah dengan menerapkan gaya hidup yang lebih minimalis, di mana seseorang fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dan bermakna dalam hidup mereka, daripada sekadar mengejar tren.
Menumbuhkan kesadaran akan dampak negatif dari konsumsi berlebihan, baik pada diri sendiri maupun lingkungan, juga penting. Pendidikan mengenai dampak sosial dan lingkungan dari konsumsi dapat membantu orang untuk membuat keputusan yang lebih bijak dalam mengelola keuangan dan konsumsi mereka.
Fenomena Labubu sebagai hedonis dan takut ketinggalan tren adalah cerminan dari tekanan sosial yang semakin intens di era digital. Media sosial berperan besar dalam memunculkan rasa takut untuk ketinggalan dan mendorong gaya hidup konsumtif yang sering kali tidak sehat, baik dari segi psikologis maupun finansial. Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan kesadaran diri yang kuat dan pengendalian diri dalam menghadapi godaan konsumtif. Hanya dengan begitu, kita bisa terlepas dari siklus konsumsi yang tidak berujung dan menemukan kebahagiaan yang lebih bermakna.