Home » Budaya » Buku » Membaca Realitas Lewat “Narasi Disabilitas dan Ketidaksetaraan” 

Membaca Realitas Lewat “Narasi Disabilitas dan Ketidaksetaraan” 

Ais Fahira

Buku, News

Membaca Realitas Melalui “Narasi Disabilitas dan Ketidaksetaraan”

Bincangperempuan.com- Seringkali banyak dari kita tidak menyadari bahwa isu disabilitas adalah isu bersama. Semua orang punya potensi menjadi disabilitas. Hari ini kita sehat dan baik-baik saja, tapi tidak ada yang tahu kalau besok, lusa, tulat, tubin kita tidak beruntung dan mengalami kecelakaan hingga berdampak ke pekerjaan kita.”

Begitu bunyi salah satu kutipan dalam buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan yang cukup menohok dan menyadarkan saya terhadap realitas yang sering diabaikan. Buku ini diterbitkan pada Desember 2024 oleh Anagram dan ditulis oleh Muhammad Hambali, seorang pengajar di sebuah sekolah luar biasa (SLB) di Jakarta. 

Kumpulan esai dalam buku ini bukan berusaha menyuarakan apa yang dirasakan oleh penyandang disabilitas. Tetapi ini menjadi semacam tamparan bagi masyarakat non-disabilitas yang masih jauh dari sikap inklusif. Melalui esai-esainya, saya merasa diomeli bahwa isu disabilitas seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas individu atau kelompok tertentu.

Baca juga: Hati-Hati! Ucapan Sepele Bisa Jadi Microaggression

Usaha Inklusif yang Masih Sebatas Eufemisme

Dalam salah satu esainya, Hambali mengungkapkan bahwa upaya menciptakan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas masih sebatas eufemisme. Artinya, perubahan yang terjadi masih bersifat permukaan, hanya sebatas pergantian istilah seperti dari “cacat” menjadi “difabel” atau “disabilitas.” Namun, dalam praktiknya, terutama di dunia pendidikan, akses inklusif masih sangat terbatas.

Misalnya, anak-anak penyandang disabilitas sering kali dicap sebagai “spesial” atau “luar biasa,” tetapi label tersebut justru membuat mereka terpinggirkan dari sistem pendidikan yang sama dengan anak-anak lain. Hambali menyoroti bagaimana kebijakan pendidikan yang seharusnya inklusif justru tidak menyediakan akses yang memadai. Sekolah inklusif seharusnya dilengkapi dengan buku huruf braille, juru bahasa isyarat, dan alat bantu audio atau visual lainnya agar pembelajaran dapat diakses oleh semua murid.

Di luar dunia pendidikan, tata ruang kota juga masih jauh dari kata inklusif. Infrastruktur yang seharusnya mendukung mobilitas penyandang disabilitas sering kali tidak tersedia atau tidak berfungsi dengan baik. Misalnya, jalur pemandu untuk pejalan kaki yang mengalami gangguan penglihatan masih minim atau bahkan tidak ada di banyak kota di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa inklusivitas belum benar-benar menjadi perhatian utama dalam kebijakan pembangunan.

Pengaruh Budaya Populer terhadap Narasi Disabilitas

Salah satu aspek menarik yang dibahas dalam buku ini adalah bagaimana budaya populer atau pop culture turut membentuk stigma terhadap penyandang disabilitas. Dalam berbagai film, novel, dan media lainnya, disabilitas sering digambarkan sebagai ketidaksempurnaan yang patut dikasihani. Misalnya, karakter orang buta yang sering diasosiasikan dengan profesi tukang pijat, sementara disabilitas lainnya digambarkan sebagai individu yang harus “berjuang lebih keras” agar dianggap setara dengan orang lain.

Muhammad Hambali berargumen bahwa narasi yang memuja kesempurnaan ini dipengaruhi oleh kolonialisme, yang menanamkan standar tertentu tentang fisik dan kemampuan manusia. Namun, menariknya, dalam budaya pewayangan Indonesia, ketidaksempurnaan justru digambarkan sebagai sesuatu yang berdaya. Tokoh-tokoh seperti Punakawan—Gareng yang pincang, Petruk yang tinggi kurus, Bagong yang gendut dengan mulut lebar, hingga Semar yang bungkuk—semuanya memiliki peran penting dalam cerita dan tidak dipandang sebelah mata. Pewayangan menjadi bukti bahwa dalam narasi lokal, disabilitas bukanlah sesuatu yang harus dikasihani, melainkan sesuatu yang tetap bisa berdaya dan dihormati.

Kebijakan dan Narasi Media yang Ableist

Buku ini juga menyoroti bagaimana kebijakan dan pernyataan tokoh publik sering kali bersifat ableist, yaitu mengandung bias terhadap penyandang disabilitas. Sebutan seperti “anak istimewa” atau “khusus” mungkin terdengar positif, tetapi dalam praktiknya justru semakin memperkuat stigma bahwa penyandang disabilitas berbeda dari masyarakat umum. Media juga kerap mengkomodifikasi penyandang disabilitas sebagai “objek inspirasi,” seolah-olah keberadaan mereka hanya bermakna jika bisa menjadi bahan pelajaran bagi orang lain.

Hal ini mengingatkan saya terhadap tren di media sosial yang sering menjadikan kehidupan penyandang disabilitas sebagai konten yang menginspirasi orang non-disabilitas untuk “lebih bersyukur.” Seolah-olah, penyandang disabilitas hanya berfungsi sebagai pengingat bagi orang lain agar menghargai kehidupan mereka sendiri. Padahal, mereka memiliki kehidupan dan perjuangan mereka sendiri yang tidak seharusnya dijadikan bahan eksploitasi.

Baca juga: Benarkah Laki-Laki Hidup Lebih Singkat? Ini Penjelasannya!

Buku yang Memantik Kesadaran tentang Inklusi

Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan karya Pak Aang (begitu murid-muridnya menyapanya) adalah bacaan yang menggugah kesadaran bahwa masyarakat kita masih jauh dari sikap inklusif terhadap disabilitas. Banyak orang yang masih memandang disabilitas sebagai ketidaksempurnaan, bukan sebagai bagian dari keberagaman ciptaan Tuhan. Pandangan ini tercermin dalam berbagai bentuk diskriminasi yang masih marak terjadi, baik di dunia pendidikan, budaya populer, maupun kebijakan publik.

Gaya bahasa dalam buku ini cukup personal dan tidak terlalu sulit dipahami, sehingga cocok dibaca oleh berbagai kalangan. Selain itu, referensi yang digunakan juga cukup kaya, memberikan wawasan yang lebih luas tentang bagaimana disabilitas dipandang dalam berbagai konteks budaya dan sosial.

Buku ini sangat layak dibaca, terutama bagi masyarakat non-disabilitas, agar lebih memahami bahwa inklusi bukan hanya soal perubahan istilah atau belas kasihan. Namun juga memastikan bahwa setiap orang—terlepas dari kondisi fisiknya—memiliki hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Memberdayakan Petani Perempuan Menghadapi Perubahan Iklim

Memberdayakan Petani Perempuan Menghadapi Perubahan Iklim

Perawatan Ketiak Alami untuk Mengurangi Bau

Perawatan Ketiak Alami untuk Mengurangi Bau

Keperawanan Mitos yang Menghantui Perempuan

Selaput Dara, Mitos Keperawanan yang Menghantui Perempuan

Leave a Comment