Bincangperempuan.com-B’Pers, pernahkah kamu mendengar ungkapan seperti, “Percuma cantik tapi nggak bisa masak,” atau, “Cantik ya kok belum ada pasangan?”
Mungkin terdengar seperti guyonan biasa, tapi tahukah kamu bahwa ungkapan-ungkapan seperti itu bisa menjadi salah satu bentuk microaggression? Meski sering kali tidak disadari, komentar seperti ini dapat menyakitkan dan memiliki dampak yang signifikan terhadap individu yang menjadi targetnya. Jadi, apa itu microaggression dan mengapa kita perlu peduli?
Apa Itu Microaggression?
Melansir dari Psychology Today, istilah microaggression pertama kali diperkenalkan oleh Chester Pierce, seorang psikiater dari Harvard Medical School, pada tahun 1970-an. Pierce menggunakan istilah ini untuk menggambarkan penghinaan halus yang ia saksikan dalam interaksi antara mahasiswa kulit putih dan mahasiswa Afrika-Amerika. Gagasan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Jack Dovidio dan Samuel Gaertner. Kemudian istilah ini kembali populer pada tahun 2007, ketika Derald Wing Sue, seorang psikolog dari Teachers College Columbia University, mulai membahasnya melalui tulisan-tulisannya. Sejak saat itu, konsep ini menjadi bahan diskusi, penelitian yang lebih luas.
Microaggressions adalah tindakan atau komentar yang secara tidak langsung menunjukkan prasangka atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok yang termarjinalkan. Biasanya, microaggressions terselip dalam percakapan sehari-hari dan dilakukan tanpa kesadaran pelakunya. Padahal bagi mereka yang menjadi target, dampaknya bisa sangat menyakitkan dan merusak.
Baca juga: Humor Seksis Bukan Lelucon, Itu Bentuk Kekerasan Verbal
Jenis-jenis Microaggression
Menurut artikel di Medical News Today, berikut ini adalah beberapa jenis microaggressions yang umum terjadi:
1. Racial Microaggression (Berdasarkan Ras/Etnis)
Microaggressions ini terjadi ketika seseorang membuat pernyataan atau tindakan yang meremehkan kelompok ras atau etnis tertentu. D negara multietnis seperti Indonesia, hal ini sering terjadi tanpa disadari.ri.
- Contoh:
- “Orang Jawa kan sopan, kok kamu judes?”
- “Orang Tionghoa itu suka hidup eksklusif, makanya susah berbaur“
- Dampak:
Komentar seperti ini menonjolkan stereotip etnis. Seseorang akan merasa berbeda atau tidak sepenuhnya diterima di lingkungannya.
2. Misogynist Microaggression (Berdasarkan Gender)
Ungkapan ini memperkuat stereotip terhadap gender, terutama perempuan.
- Contoh:
- “Sebagai perempuan, kamu harusnya lebih lembut.”
- “Perempuan sukses itu biasanya nggak menikah, ya?”
- Dampak:
Membuat perempuan merasa terbatas pada peran tradisional yang ditetapkan oleh masyarakat. Sehingga mengurangi kepercayaan diri mereka dalam mengeksplorasi potensinya.
3. Ableist Microaggression (Berdasarkan Disabilitas)
Jenis ini melibatkan komentar atau tindakan yang meremehkan orang dengan disabilitas.
- Contoh:
- “Kamu pakai kursi roda? Kamu sakit apa?”
- “Kamu kan sudah biasa hidup dengan kondisi itu, jadi nggak apa-apa dong!”
- Dampak:
Ungkapan seperti ini mengasumsikan bahwa seseorang dengan disabilitas “kurang” dibandingkan individu lain, memperkuat stigma, dan menciptakan penghalang sosial.
4. Microaggression terhadap Orientasi Seksual
Komentar yang memperkuat stereotip atau prasangka terhadap individu dengan orientasi seksual tertentu.
- Contoh:
- “Aku nggak masalah sama LGBT, asalkan mereka nggak deketin aku.”
- “Jadi kamu belum ketemu orang yang bikin kamu berubah, ya?”
- Dampak:
Membuat individu merasa bahwa orientasi seksual mereka tidak sepenuhnya diterima, bahkan dalam lingkungan yang tampak “toleran.”
Setelah memahami berbagai jenis microaggression ini, coba ingat-ingat, apakah kamu pernah tanpa sadar mengucapkannya? Atau justru pernah menjadi korban dari komentar semacam ini?
Baca juga: Trope Seksis: Ketika Perempuan Jadi Alat supaya Laki-Laki Terlihat Keren
Microaggression adalah Bentuk Bias Implisit
Microaggression adalah bentuk prasangka yang halus. Komentar atau tindakan ini sering kali merugikan anggota komunitas yang termarjinalkan. Orang yang melakukannya sering tidak menyadari dampak negatif dari ucapan atau tindakannya.
Bias implisit itu seperti prasangka yang kita punya tanpa kita sadari, bisa jadi kita mendukung atau malah menentang seseorang atau kelompok tanpa tahu alasannya. Microaggression itu salah satu contoh prasangka yang tidak disadari. Tapi kalau kita sudah sadar bahwa apa yang kita ucapkan itu termasuk microaggression dan tetap melakukannya, berarti itu sudah jadi bias eksplisit—prasangka yang sengaja dikeluarkan untuk terus memperkuat stigma dan budaya diskriminasi.
Dampak Microaggression
Meskipun tampak sepele atau tidak disengaja, microaggression dapat memberikan dampak yang signifikan, terutama bagi individu atau kelompok yang sering menjadi targetnya. Berikut beberapa dampaknya:
- Dampak Psikologis
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mereka yang mengalami microaggression cenderung merasa direndahkan atau tidak dihargai, yang dapat memicu kecemasan, stres, bahkan depresi. Selain itu, hal ini juga membuat seseorang merasa terasing dari komunitasnya. - Hubungan Sosial yang Terganggu
Sulit bagi korban microaggression untuk membangun kepercayaan terhadap lingkungan sekitarnya karena mereka merasa terus-menerus dinilai atau dihakimi. - Penguatan Diskriminasi Sistemik
Microaggression memperkuat budaya diskriminasi yang sudah ada, sehingga membuatnya sulit dihapuskan dari sistem sosial.
Bagaimana Menghindari Microaggression?
Sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan, kita dapat belajar untuk menghindari microaggression dengan langkah-langkah berikut:
- Refleksi Diri
Selalu evaluasi cara berbicara kita, dan pastikan tidak ada stereotip yang tersirat dalam komentar atau tindakan kita. - Belajar dan Edukasi Diri
Perbanyak membaca, mendengarkan pengalaman orang lain, dan pelajari cara mendukung kelompok termarjinalkan tanpa merendahkan mereka. - Dengarkan dengan Empati
Jika ada yang mengingatkan bahwa ucapan kita menyakitkan, dengarkan dengan terbuka tanpa sikap defensif. - Gunakan Bahasa Netral
Hindari pernyataan yang menilai seseorang berdasarkan gender, ras, atau kemampuan mereka.
B’Pers, mungkin kita pernah tanpa sadar melakukan microaggression, tetapi tidak ada kata terlambat untuk belajar dan berubah. Dengan lebih bijak dalam berkomunikasi, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan nyaman bagi semua orang. Yuk, mulai lebih berhati-hati dengan bahasa yang kita gunakan!
Referensi:
- Medical News Today. (n.d.). Microaggressions: What are they and how to avoid them. Medical News Today. Diakses dari https://www.medicalnewstoday.com/articles/microagressions#racial
- Psychology Today. (n.d.). What is a microaggression?. Psychology Today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/intl/basics/microaggression#:~:text=What%20Is%20a%20Microaggression?,unconsciously%20they%20may%20act%20differently