Home » News » Memberdayakan Petani Perempuan Menghadapi Perubahan Iklim

Memberdayakan Petani Perempuan Menghadapi Perubahan Iklim

Bincang Perempuan

News

Memberdayakan Petani Perempuan Menghadapi Perubahan Iklim

Inisiatif berbasis masyarakat seperti usaha pertanian koperasi dan proyek konservasi air dapat memainkan peran penting dalam membangun ketahanan di kalangan petani perempuan.

Bincangperempuan.com- Nurhidayah, 42 tahun, adalah seorang petani kecil dan ibu tunggal dengan dua anak. Ia menghadapi kenyataan pahit akibat perubahan iklim setiap hari. Ladangnya seluas dua hektare di Lombok Timur sangat bergantung dengan air hujan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kekeringan yang berkepanjangan merusak produktivitas lahan perempuan petani ini.

Dulu ia dapat menanam jagung dan kacang-kacangan dari bulan Desember hingga Maret, namun perubahan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi membatasi masa bertaninya hanya empat bulan dalam setahun.

Dari pekerjaan sampingan dan berjualan makanan ringan, Nuhidayah mendapatkan penghasilan harian Rp25 ribu hingga Rp50 ribu. Tak cukup, ia pun beralih menjadi pembuat kerupuk di luar musim. Namun, hujan yang turun tiba-tiba dapat merusak hasil produksinya, sehingga mengurangi pendapatannya yang sudah tidak menentu.

Perubahan iklim sedang membentuk kembali dunia, dan hanya sedikit yang merasakan dampaknya lebih dari para petani perempuan.

Cuaca yang tidak dapat diprediksi , musim kemarau yang panjang, dan meningkatnya suhu telah menciptakan tantangan baru dalam pertanian, sektor yang sangat bergantung pada kondisi iklim yang stabil.

Di Pringgabaya, Lombok Timur, petani perempuan berada di garis depan perubahan ini. Daerah yang padat penduduk dan miskin di provinsi Nusa Tenggara ini merupakan rumah bagi perempuan yang berjuang setiap hari dengan keterbatasan akses terhadap tanah, keuangan, layanan kesehatan, dan pelatihan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, banyak perempuan mencari sumber pendapatan alternatif atau pinjaman yang memiliki risiko terjerat dalam siklus utang. Foto “Memeriksa Panen” oleh MoFCREC Monash University Indonesia CC 4.0

Baca juga: Rita Wati, Inspirasi Perempuan yang Memperjuangkan Hak Atas Hutan

‘Tiada hari tanpa utang’

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Nurhidayah mengandalkan pinjaman dari lembaga lokal seperti Bank Mekar dan Bank Rontok. Bank Mekar, yang mendukung wirausaha perempuan kurang mampu, menawarkan pinjaman dengan bunga tinggi , dengan persyaratan pembayaran mingguan. Bank Rontok, yang dikenal dengan pinjaman tunai cepatnya, mengenakan suku bunga tinggi dan menggunakan agunan sebagai jaminan.

Pinjaman ini, meski memberikan keringanan sementara, sering kali menjebak perempuan seperti Nurhidayah dalam siklus utang. Sebagai pencari nafkah utama, ia juga harus mengasuh anak-anaknya dan menafkahi orang tuanya. Di Pringgabaya, kemiskinan begitu meluas sehingga utang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dan tetangga bercanda, “Tidak ada hari tanpa utang.”

Perubahan iklim memperburuk ketimpangan yang ada dan bagi perempuan di bidang pertanian, taruhannya sangat tinggi.

Petani perempuan sudah menghadapi hambatan terkait kepemilikan tanah dan akses ke sumber daya. Tekanan tambahan dari perubahan pola cuaca akibat iklim hanya memperparah tantangan ini.

Di daerah seperti Lombok Timur, di mana pertanian sangat bergantung pada cuaca yang dapat diprediksi, terganggunya siklus tanam dan panen tradisional dapat menghancurkan mata pencaharian.

Kekeringan berkepanjangan dan curah hujan yang tidak menentu tidak hanya memengaruhi hasil panen tetapi juga membuat air menjadi sumber daya yang langka dan berharga, sehingga semakin mempersulit upaya pertanian.

Tantangan keuangan yang dihadapi perempuan seperti Nurhidayah banyak dan beragam.

Pinjaman berbunga tinggi dari lembaga seperti Bank Mekar dan Bank Rontok, meskipun tampak seperti penyelamat, sering kali menyebabkan kesulitan keuangan jangka panjang. Pinjaman ini tidak disesuaikan dengan keadaan unik petani kecil, yang menghadapi pendapatan yang berfluktuasi dan pekerjaan musiman.

Sistem keuangan tradisional sering kali mengecualikan perempuan, sehingga menyulitkan mereka untuk mengakses kredit yang adil. Pengecualian ini diperparah oleh kurangnya literasi dan kesadaran finansial, yang membuat banyak perempuan rentan terhadap praktik peminjaman yang eksploitatif.

Baca juga: Khatijah dan Kartini, Perempuan yang Luput dari Cerita Konservasi

Peran masyarakat dan pemerintah

Pemberdayaan petani perempuan memerlukan pendekatan komprehensif yang mencakup dukungan masyarakat dan intervensi kebijakan.

Inisiatif berbasis masyarakat dapat memainkan peran penting dalam membangun ketahanan. Misalnya, usaha pertanian koperasi dan proyek konservasi air dapat memberikan dukungan dan sumber daya bersama, membantu petani beradaptasi dengan kondisi yang berubah.

Intervensi kebijakan sama pentingnya.

Pemerintah perlu memprioritaskan kebutuhan petani perempuan, memastikan mereka memiliki akses ke lahan, sumber daya, dan platform pengambilan keputusan. Kebijakan yang mempromosikan kesetaraan gender dalam pertanian dapat membantu menghilangkan hambatan sistemik, menyediakan perempuan dengan perangkat yang mereka butuhkan untuk berhasil.

Pelatihan dalam praktik pertanian tangguh iklim sangat penting untuk membantu petani seperti Nurhidayah beradaptasi dengan tantangan baru.

Dengan mempelajari teknik pertanian berkelanjutan, konservasi tanah, dan pengelolaan air, para wanita ini dapat meningkatkan hasil panen mereka dan mengurangi kerentanan mereka terhadap perubahan iklim.

Program pendidikan yang berfokus pada literasi keuangan juga dapat memberdayakan perempuan untuk membuat keputusan yang tepat tentang pinjaman dan investasi. Memahami ketentuan dan implikasi perjanjian keuangan dapat membantu mencegah siklus utang yang dialami banyak orang.

Meningkatkan jaring pengaman sosial merupakan komponen penting lainnya dalam mendukung petani perempuan.

Program yang menyediakan bantuan darurat selama masa krisis dapat mengurangi ketergantungan pada pinjaman berbunga tinggi. Selain itu, jaring pengaman sosial dapat menjadi penyangga terhadap guncangan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan iklim, memastikan keluarga memiliki bantalan pengaman selama masa-masa sulit.

Perempuan seperti Nurhidayah bukan hanya penyintas; mereka adalah tulang punggung masyarakat.

Mengatasi tantangan yang mereka hadapi akibat gender, perubahan iklim, dan eksklusi finansial sangatlah penting. Memberdayakan para perempuan ini dengan perangkat dan dukungan yang mereka butuhkan dapat membantu menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil.

Perjalanan menuju ketahanan bukanlah perjalanan yang dapat ditempuh oleh petani perempuan di Pringgabaya sendirian. Hal ini memerlukan upaya kolektif dari masyarakat, pemerintah, dan organisasi.

Bekerja bersama untuk mengatasi tantangan unik yang dihadapi petani kecil perempuan dapat memastikan bahwa mereka tidak hanya bertahan hidup tetapi juga berkembang dalam menghadapi perubahan iklim.

Pendekatan komprehensif ini akan membangun masyarakat yang lebih kuat, meningkatkan ketahanan pangan, dan mendorong stabilitas ekonomi di daerah seperti Lombok Timur dan sekitarnya. (Miya Irawati, Ridho Verdiansyah S.Hub.Int, dan Sharyn Davies)

  • Miya Irawati adalah peneliti pascadoktoral di Herb Feith Indonesian Engagement Centre, Universitas Monash dan Asisten Profesor di Universitas Monash, Indonesia.
  • Ridho Verdiansyah S.Hub.Int adalah peneliti junior di Pusat Studi Asean, Universitas Mataram.
  • Sharyn Davies adalah direktur Herb Feith Indonesia Engagement Centre dan Associate Professor Studi Indonesia di Universitas Monash.

Artikel ini diterjemahkan dari Empowering women farmers in the face of climate change yang sudah tayang terlebih dahulu di 360info.org

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Redefinisi Keintiman : Mengapa Hubungan Asmara Era Masa Kini Mudah Rapuh?

Anak Mantan Kombatan GAM,Berjibaku Pulihkan Trauma

Hentikan Kriminalisasi terhadap Perempuan Pembela HAM

Leave a Comment