Home » News » Mengenal Toxic Positivity yang Berbahaya bagi Anak

Mengenal Toxic Positivity yang Berbahaya bagi Anak

Yuni Camelia Putri

News

Bincangperempuan.com- Setiap orang tua tentu ingin memberikan gaya asuh yang baik bagi anaknya, bukan?  Berbagai hal dilakukan oleh ibu untuk memenuhi kebutuhan anak. Dari aspek emosional, seorang ibu akan memberikan dukungan psikologis selama proses tubuh kembang anaknya. Meskipun demikian, sikap ini akan menjadi bahaya apabila dilakukan secara berlebihan.

Terkadang, seorang ibu berpikir dan melakukan berbagai hal positif kepada anaknya untuk menjaga stabilitas emosional si kecil. Tapi tahukah kamu, sikap positif yang berlebihan dapat menjadi ancaman yang merusak kebahagiaan anak dan ibu itu sendiri? Permasalahan ini dikenal dengan toxic positivity atau keyakinan bahwa setiap orang harus mempertahankan pola pikir positif dalam kondisi terburuk sekali pun. Biasanya, toxic positivity menolak semua emosi yang rumit dan memilih untuk bersikap ceria dan terlihat memaksakan pemikiran positifnya.

Dikutip dari Psychology today, toxic positivity mengarah pada generalisasi berlebihan yang tidak efektif dari keadaan bahagian dan optimis di berbagai situasi. Sikap optimis dan kepositifan ini justru menjadi bom waktu bagi mereka yang mempertahankannya. Pada anak, orang tua yang menganut toxic positivity tanpa sadar membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang selalu ingin bahagia dan egois tanpa memikirkan keadaan yang sebenarnya. Biasanya, efek ini akan terlihat ketika mereka beranjak remaja. Lantas, kenapa hal ini dapat menjadi masalah?

Singkatnya, sikap positif yang berlebihan dalam menanggapi emosi negatif anak-anak atau remaja selalu ditafsirkan oleh anak sebagai sikap meremehkan. Orang tua yang menganut toxic positivity tanpa sadar bersikap negatif yang membuat anak merasa tidak didengarkan dan kehilangan kepercayaan terhadap orang tuanya. Akibatnya, hubungan ibu dan anak akan renggang karena kurangnya keterbukaan dan komunikasi anak tentang masalah yang dihadapinya.

Toxic positivity membuat orang tua terkesan meremehkan emosi negatif anak yang menyebabkan anak mengalami peningkatan tekanan psikologis dan emosionalnya. Kasus-kasus yang kerap ditemui dari orang tua yang bersikap toxic positivity adalah peningkatan kecemasan, depresi, dan potensi penyakit kronis tertentu yang diderita oleh anak. Hal ini terjadi karena toxic positivity membuat orang tua mengabaikan anak ketika kesusahan, tidak mendapatkan dukungan untuk mengendalikan emosi anak itu sendiri hingga tekanan emosional yang terus bertambah.

Baca juga: Asam Manis, Jadi Jurnalis Perempuan di Bengkulu

Kapan sikap positif orang tua dinilai berlebihan dan berbahaya?

Bagi kebanyakan orang, sikap positif memang harus dilakukan untuk mengurangi kecemasan. Akan tetapi, sikap positif yang berlebihan justru akan menjadi permasalahan yang mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Orang tua yang menerapkan sikap positif yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan psikologis pada anaknya. Nah, kapan sih kepositifan ini dianggap berbahaya bagi anak?

Terlalu banyak melontarkan kalimat positif

Ketika anak menghadapi masalah, orang tua kerap menaggapinya dengan kalimat seperti “Segala sesuatu yang terjadi pasti ada alasan dan hikmah positifnya” atau “Tersenyumlah! Masalah yang kamu hadapi tidak seberat penderitaan anak diluar sana!”. Ungkapan ini merupakan tanda dari toxic positivity yang dianggap sebagai cara untuk menasihati dan menyamangati anak.

Bagi anak, ungkapan ini dianggap telah meremehkan permasalahan mereka sehingga tidak ada pesan positif dan empati yang dipelajarinya. Untuk itu, orang tua dapat menggantinya dengan merespon permasalahan anak seperti, “Tidak apa-apa, kamu boleh menangis karena hal ini” atau “Permasalahanmu pasti sangat sulit ya, nak? Maaf ya, Ibu tidak bisa bantu menyelesaikannya”. Ungkapan ini dinilai jauh lebih memahami situasi anak sehingga mereka dapat merasakan keterikatan yang kuat untuk membangun rasa percaya terhadap orang tua.

Berpikir bahwa kesedihan dan kemarahan adalah hal buruk

Orang tua yang menganut toxic positivity secara tidak sadar menolak emosi negatif seperti marah atau sedih karena dianggap buruk. Biasanya, orang tua yang mengedepankan hal ini menekan anaknya untuk selalu berpikir positif dan menyembunyikan emosi negatifnya. Akibatnya, anak tumbuh menjadi sosok yang dipenuhi dengan kesedihan, kemarahan, atau ketakutan untuk mengekspresikan dirinya.

Toxic positivity yang ditanamkan orang tua kepada anaknya justru menyebabkan anak sulit untuk mengendalikan emosi hingga dewasa. Alih-alih terus menekan anak untuk berpikir positif, orang tua seharusnya bersikap lebih hati-hati untuk merespon kesedihan dan kemarahan anak agar tidak meninggal dampak negatif.  

Tidak dapat menoleransi kegagalan

Kegagalan adalah bagian dari proses pertumbuhan seseorang untuk menjadi lebih baik. Ironinya, orang tua yang menganut toxic positivity menganggap bahwa kegagalan tidak pernah ada di hidupnya. Biasanya, mereka akan mendorong anaknya untuk bersikap perfeksionis untuk mencegah kegagalan di masa depan. Akibatnya, anak tumbuh menjadi pribadi yang egois dan perfeksionis yang justru membahayakan masa depannya.

Baca juga: Perempuan Lokal, Tak Surut Merawat Tradisi Seklang Putung

Tips Menghindari Toxic Positivity

Toxic positivity yang dianut oleh orang tua dapat menjadi racun bagi anaknya. Mereka yang tumbuh dengan ajaran ini memiliki sikap yang egois dan gangguan kesehatan mental karena dituntut untuk sempurna dan menyimpan emosinya. Meskipun demikian, kamu tentu tidak ingin hal ini dialami oleh anakmu, kan? Nah, beberapa tips ini dapat kamu lakukan untuk menghindari toxic positivity, lho!

  • Dengarkan anak hingga mereka selesai bicara.
  • Ajarkan mereka untuk mengidentifikasi emosinya melalui pertanyaan singkat seperti, “Kamu kenapa? Apa yang membuatmu terlihat tidak bersemangat hari ini?”.
  • Berusahalah untuk memahami kondisi terburuk yang dialami oleh anak dengan menerima ekspresi atau ungkapan kemarahan atau kesedihan yang ditunjukkan sang anak.
  • Berikan validasi pengalaman atau perasaan yang ditunjukkan oleh sang anak melalui kata seperti “Kedengarannya kamu ketakutan banget, ya? Maaf ya, ibu tidak menyadari kesusahanmu”.
  • Cobalah untuk mendiskusikan konsekuensi dan permasalahan yang dimiliki oleh anak. Hal ini dilakukan untuk menyampaikan informasi yang tepat dan membangun keterikatan kuat dengan anak.

 Sumber:

  • Adam A. Rogers Ph.D., 2022. “How Toxic Positivity Can Affect Your Child”, dalam Psychology Today
  • Kait Hanson, 2021. “What is toxic positivity, and why is it dangerous for kids (and parents)?”, dalam Today.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, Toxic Positivity

Artikel Lainnya

Waithood Fenomena Perempuan Milenial Menunda untuk Menikah

Waithood: Fenomena Perempuan Milenial Menunda untuk Menikah

Perempuan dan Akses Pendidikan yang Setara

Menanti Akses Pendidikan yang Setara

Dilema Ibu Sekolah Lagi

Dilema Ketika Ibu Memutuskan Sekolah Lagi

Leave a Comment