Home » Tokoh » Menjadi Ketua KUPS Perempuan, Melawan Dominasi Laki-Laki

Menjadi Ketua KUPS Perempuan, Melawan Dominasi Laki-Laki

Bincang Perempuan

Tokoh

Bincangperempuan.com- Nama saya Yulanda Y. Sawal. Saya lahir dan besar di Desa Wanggalu, Kecamatan Paguyaman, Provinsi Gorontalo. Saya anak kedua dari enam bersaudara. Ayah saya bekerja sebagai petani dan ibu saya bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Saya terlahir dalam keluarga kurang mampu. Sejak kecil, saya tidak pernah punya cita-cita tinggi. Rumah dan sekolah saya lokasinya sangat berjauhan. Perjalanan yang jauh itu harus ditempuh dengan berjalan kaki. Hal itu membuat saya semakin merasa bahwa cita-cita yang ingin saya capai itu terasa sangat jauh. Setelah lulus SD, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Saya menikah pada usia 27 tahun dengan seorang suami yang berasal dari Desa Sansarino. Setelah menikah, saya menetap di salah satu dusun yang ada di desa tersbeut, namanya Dusun Kajuwou. Dusun ini letaknya tepat di lereng bukit, dekat dengan kawasan hutan desa, dan agak terpisah dari dusun lain di Desa Sansarino. Saat ini, saya sudah dikaruniai seorang anak yang berusia 3 tahun.

Suami saya bekerja sebagai buruh tani. Ia mengelola kebun seorang guru yang dipinjamkan kepada kami. Selain menjadi buruh tani, suami saya tidak punya pekerjaan tetap lain. Jadi, mau tidak mau, saya harus ikut membantu perekonomian keluarga. Salah satunya dengan menjadi pengumpul daun cengkeh. Daun cengkeh yang kami kumpulkan adalah daun cengkeh yang sudah jatuh ke tanah. Nantinya, daun cengkeh tersebut akan digunakan untuk membuat minyak cengkeh.

Mengumpulkan daun cengkeh adalah pekerjaan yang umum dilakukan oleh masyarakat Dusun Kajuwou, Desa Sansarino. Hal itu karena ada banyak sekali kebun cengkeh di sekitar dusun kami. Walaupun, ada juga kebun cengkeh yang lokasinya berada di kawasan hutan desa. Kebun cengkeh itu sebagian dimiliki oleh warga Desa Sansarino dari dusun yang berbeda, sebagian lagi dimiliki oleh orang luar desa yang memang memiliki lahan di dusun kami. Jarang sekali ada kebun cengkeh yang memang dimiliki warga dusun kami.

Harga jual daun cengkeh cukup menjanjikan. Biasanya, satu kilogram daun cengkeh dihargai sekitar Rp 1.200,00 – Rp 2.000,00. Kalau nasib sedang bagus dan cuaca tidak hujan, kami bisa mengumpulkan antara 15 – 20 kilogram daun cengkeh per minggu. Kalau cuaca hujan, hasil pengumpulan daun cengkeh akan sangat menurun drastis. Air hujan akan mengguyur kebun cengkeh. Itu artinya daun-daun cengkeh yang berguguran di tanah juga ikut basah. Daun cengkeh yang basah tidak bisa melalui proses penyulingan untuk dijadikan minyak cengkeh karena kandungan airnya terlalu banyak.

Baca juga: Sefrida Gora, Perempuan Penyelamat Hutan di Sulawesi Tengah

Daun cengkeh yang baik untuk diolah menjadi minyak cengkeh adalah daun cengkeh yang tidak basah, tapi juga tidak terlalu kering. Daun cengkeh itu akan melewati proses penyulingan yang berjalan selama kurang lebih 12 jam sampai akhirnya bisa menghasilkan minyak cengkeh berkualitas bagus.

Saat Sikola Mombine datang ke desa saya, saya senang sekali. Saya bergabung dengan salah satu KUPS, tepatnya KUPS Minyak Cengkeh Zanzibar. Pada awalnya, KUPS ini diketuai oleh Pak Taslim yang juga merupakan bagian dari pemerintah desa. Tapi, karena Pak Taslim diminta untuk membantu mengurus KUPS lain yang bergerak di bidang jasa lingkungan, KUPS Minyak Cengkeh mengalami kekosongan pemimpin.

Suatu hari, dalam sebuah diskusi kelompok, Ibu Rita yang merupakan Ibu pendamping dari Sikola Mombine yang bertugas di desa kami, mengusulkan agar saya menggantikan Pak Taslim untuk menjadi ketua KUPS. Menurut Ibu Rita, ia memilih saya karena saya cukup memiliki inisiatif dan aktif dalam berbagai kegiatan KUPS Minyak Cengkeh. Tanpa saya sangka, ternyata anggota KUPS Minyak Cengkeh lain yang kebanyakan laki-laki justru menyetujui usulan Ibu Rita yang memilih saya sebagai ketua. Walaupun, sebenarnya saya tidak percaya diri.

Setelah beberapa bulan saya bergabung, saya mendapat sangat banyak pengalaman yang bahkan tidak pernah saya bayangkan. Misalnya, saya bersama dengan empat orang perempuan lain diminta untuk mewakili Desa Sansarino pada Pelatihan Penentuan Tapal Batas Hutan Desa yang diadakan oleh TAF di Poso.

Sebelumnya, sebagai perempuan, saya tidak punya banyak pengalaman dengan hutan. Walaupun saya sering pergi keluar masuk hutan untuk mengumpulkan daun cengkeh, saya tidak pernah pergi masuk ke hutan lebih jauh dari itu.

Makanya, ketika Sikola Mombine dan TAF mengadakan pelatihan tersebut, jelas bahwa itu menjadi pengalaman baru bagi saya. Apalagi, setelah pelatihan itu, kami diajak Ibu Rita untuk ikut serta secara langsung memasang tapal batas hutan desa di area hutan Desa Sansarino selama empat hari tiga malam. Ada enam perempuan yang pergi dan sisanya adalah dua belas bapak-bapak. Di sana, kami mempraktikan ilmu-ilmu yang kami pelajari selama pelatihan di Poso. Walaupun, peran kami lebih banyak menjaga lokasi tidur dan memasak air untuk membuat kopi bagi para bapak. Tapi, saya bangga bisa jadi bagian dari kegiatan ini. Di situ, saya mulai berpikir, ternyata perempuan juga bisa ikut ambil bagian.

Sejak izin Perhutsos terbit, saya bergabung dalam KUPS Minyak Cengkeh Zanzibar. Pada KUPS ini, saya dipercayakan sebagai ketua kelompok. Dalam menjalankan peran ini, saya selalu berusaha bagaimana caranya agar usaha kelompok minyak cengkeh ini bisa berjalan terus.

Saya sering mengajak berkumpul anggota kelompok saya untuk berdiskusi tentang tantangan tantangan yang dihadapi dalam memproduksi minyak cengkeh. Misalnya, harga daun cengkeh yang rendah, pemilik kebun cengkeh yang tidak mengizinkan daun cengkehnya untuk diambil, konflik antara sesama pengumpul daun cengkeh karena saling memperebutkan tempat, kebutuhan modal untuk membayar penyulingan minyak cengkeh, dan sebagainya.

Walaupun saya tidak selalu berhasil untuk menemukan solusi atas tantangan-tantangan yang dihadapi oleh KUPS Minyak Cengkeh, setidaknya masalah-masalah tersebut semakin membuat saya bertekad untuk selalu menyejahterakan masyarakat, khususnya anggota KUPS Minyak Cengkeh. Jadi, nantinya, KUPS Minyak Cengkeh ini benar-benar bisa menjadi wadah berkumpul dan bekerja bagi para pengumpul daun cengkeh.

Sebagai seorang perempuan yang menjadi ketua kelompok, saya sering merasa bahwa anggota kelompok laki-laki sangat mendominasi. Mereka ingin agar pendapat dan usulan mereka lebih didengar ketimbang pendapat dari anggota perempuan. Kalau sudah seperti ini, kadang nyali saya ciut juga. Saya tidak berani melawan dominasi para anggota laki-laki.

Tapi, Ibu Rita berulang kali meyakinkan bahwa saya adalah ketua kelompok. Saya harus berani. Keberanian itu harus dilatih. Menurut Ibu Rita, mengusulkan saya untuk menjadi ketua adalah cara untuk membuka jalan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin. Maka, kalau jalannya sudah dibuka, saya tidak perlu takut lagi. Saya hanya butuh untuk membuktikan kalau saya sebagai perempuan juga bisa.

Baca juga: Waithood: Fenomena Perempuan Milenial Menunda untuk Menikah

Selain itu, kegiatan pertemuan kelompok juga selalu menjadi tantangan buat saya sebagai ketua kelompok. Saya tidak terbiasa mengungkapkan pendapat saya di depan umum. Tapi, mau tidak mau, saya harus melakukannya untuk mengimbangi keberadaan orangorang yang dipimpin. Selama mengadakan pertemuan kelompok, saya belajar untuk mengambil keputusan dan menengahi diskusi. Saya belajar banyak tentang kepemimpinan perempuan melalui peran ini.

Terkadang, saya merasa tidak menyangka bisa ada di posisi ini. Sebelumnya, saya hanyalah ibu rumah tangga biasa yang pekerjaannya hanya itu-itu saja. Saya juga termasuk orang yang jarang berorganisasi atau mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di desa. Tapi, setelah saya mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Sikola Mombine, berpartisipasi dalam pelatihan dan menjadi ketua KUPS, dunia saya jadi semakin terbuka lebih luas lagi. Ternyata, ada hal lain yang bisa saya lakukan selain aktivitas saya sebagai ibu rumah tangga. Semoga ke depan, saya selalu bisa mengemban amanah sebagai pemimpin perempuan yang mau terus berkembang dan belajar.(**)

**) Tulisan ini direpublikasi dari Kisah perempuan pengelola perhutanan sosial di Sulawesi Tengah : Mengabdikan Perjuangan, Menggapai Kesetaraan yang diterbitkan Yayasan Sikola Mombine dan didukung The Asia Foundation.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Karina Audia Pitaloka, Perempuan dengan Profesi Kameramen

Kolima Aktif Lestarikan Budaya Berejong di Bengkulu

Kolima, Aktif Lestarikan Budaya Berejong

Lima Perempuan Hebat di Jajaran TNI

Leave a Comment